Lebih baik kamu tidak bercerita kepada siapapun selain kepada Tuhan, ibumu bisa mati karenanya. Begitu kata hatiku. Hati yang gundah gulana. Dalamnya berombak besar karena badai kecemasan yang melanda.
Memang harus begitu. Angin-angin masalah penyebab badai ini tidak perlu kukisahkan kepada seorang manusia pun. Tidak juga kepada binatang dan tumbuhan. Besar, membunuh, angin-angin itu. Bencana.
***
Bahwasanya hidup itu anugrah. Bahwasanya masalah itu adalah ujian. Bahwasanya kesalahan itu normal.
“Kau pikir dengan melompat dari ketinggian seperti ini, kau akan hidup?!” Dia berteriak dari bawah sana, dalam kerumunan, di hari yang gelap dengan hujan berbutir kecil.
“Aku yakin seperti itulah adanya. Aku yakin akan hidup dengan begini. AKU YAKIN!!” Ku balas teriakannya sekuat hati.
Aku tidak mendengar irama tak teratur di dalam hatiku menjadi merdu karena perbuatan ini. Aku juga tidak merasakan kesepakatan dari seluruh anggota tubuh akan keputusanku. Sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana keadaan jiwaku kini. Akalku berserakan.
“Kau gila, ya?” Dia kembali. “Aku tau cerita tentangmu. Semua orang di sini pasti juga tau. Kau gila!!”
Aku meliriknya. Kosong. Bukan tatapanku, tapi hati dan pikiranku.
***
Saat itulah semua bermula. Pisau telah menembus dada. Darah merembes. Wajah manusia di depanku pucat, demikian pula wajahku. Tragedi. Aku bahkan tidak ingat dalam rangka apa menikamkan pisau.
Aku berlari. Dan terus berlari. Tidak peduli apapun juga. Dalam pikiranku hanyalah menjauh sejauh-jauhnya dari tempat itu.
Malam. Sepi. Rasa bersalah. Takut. Lelah. Lalu kesadaranku pun lenyap.
Ketika mataku terbuka selanjutnya, pikiranku langsung bekerja mencari tempat pelarian yang tepat dan aman. Semestinya ada satu: pemuka agama.
***
“Kau itu pembunuh! Dan tidak hanya satu orang. Korbanmu itu sampai saat ini ada sepuluh orang!! Dan bagaimana mungkin semua orang yang menjadi korbanmu adalah pemuka agama?! Kecuali satu, kecuali korbanmu yang pertama.”
Hujan melebat. Langit menggelap. Kerumunan di bawah sana mulai menyingkir. Tapi, dia tetap berdiri di sana. Kutatap.
“Coba katakan,” teriakku padanya, “apa aku masih mungkin berkeinginan hidup jika keberadaanku di dunia ini tidak ada gunanya lagi?” Aku menumpahkan padanya. Dia diam.
***
Ah, kenapa saat itu aku memilih pemuka agama? Kenapa saat itu memilih orang-orang yang kegiatannya hanya ceramah saja sepanjang hidupnya, sebagai tempat pelarianku? Kenapa aku mendatangi orang-orang yang hidupnya tergantung dari ceramahnya? Kenapa mendatangi orang-orang yang tidak meresapi isi ceramahnya sendiri? Bahkan kelakuan mereka tidak – sama sekali tidak – sedikitpun mendekati orang-orang alim dalam cerita legenda.
“Menjauh dariku! Aku tidak sudi berdekatan denganmu.”
“Dasar pendosa! Kau tidak akan diampuni.”
“Aku tidak punya waktu untuk berbicara dengan orang sepertimu.”
“DI DUNIA INI, KAU TIDAK ADA GUNANYA LAGI!”
Cih, pemuka-pemuka agama itu, tukang ibadah bermulut busuk berhati batu.
***
“Tapi, biar kuberi tau kau sesuatu.” Angin menderu, mungkin benar-benar akan datang badai.
“Jiwaku masih ingin hidup! Aku menentang, aku menentang ketidakbergunaanku di dunia ini!”
“Apa maksudmu?” Dia bertanya.
“Aku masih ingin hidup untuk memperbaiki kesalahan,” suaraku mulai bergetar. Air hujan mengalir di pipiku. Ataukah itu tangis?
“Coba katakan, apakah aku diampuni?” Lagi, berteriak pada dia yang berdiri di bawah sana dalam hujan, yang kini, tumpah deras. Sementara orang-orang lain dalam kerumunan memilih untuk berlindung.
“Kalau kau bertanya seperti itu, aku tidak bisa memberikan jawaban pasti apa pendapat manusia. Tapi kalau Tuhan, aku yakin Dia Maha Pengampun,” dia menjawab lantang.
Suara kami seharusnya sayup, dikalahkan hujan. Kerumunan orang yang berlindung pastilah kini tidak dapat mendengar kami. Apakah telinga dan pita suara yang berfungsi sekarang hanya milikku dan miliknya?
“Tidak begitu! Mereka, pemuka-pemuka agama, mengatakan aku pembunuh. Kesalahanku sangat besar. Aku kesal pada jawaban-jawaban itu. Kubunuh saja mereka.” Heh, entah mengapa sekilas dalam hati aku merasa puas. Tapi sekejap.
Cuma sekejap. Kosong kembali menyerang.
“Salah. Kau memang pembunuh. Pemuka agama-pemuka agama korbanmu itu benar. Tapi Tuhan Maha Pengampun,” balasnya, tak menyerah.
“Bagaimana kau bisa begitu yakin?” Aku meraung.
Pastilah yang terlihat oleh kerumunan saat ini adalah dua orang yang saling bersahut-sahutan, berjauhan. Atas dan bawah. Sahutan-sahutan yang tidak dapat mereka dengar. Hujan masih deras. Lalu deru angin mereda.
“Karena keyakinan ini berasal dari-Nya. Percayalah!” Dia mengatakan dengan raut muka dan suara yang benar-benar yakin.
***
Dulu, aku pernah mendengar legenda. Tentang orang-orang alim dengan hati purnama. Mereka ini punya pengetahuan yang luas. Perilaku mereka menenangkan. Ibadah mereka? Tidak usah ditanya. Sikap hidup mereka merupakan ejawantah dari pengetahuan, tidak sekedar ucapan. Mereka bisa jadi dijumpai di sawah, di pasar, di tempat-tempat belajar, atau tempat-tempat mana saja. Tetapi, orang-orang awam menganggap mereka banyak ditemukan di antara pemuka agama.
Ah, kupikir itulah penyebab. Sebab aku berpikir, dalam sepersekian detik, seperti orang awam. Sayang, saat itu, sepersekian detik itu adalah sepersekian detik yang salah.
Aku merasa ada yang kembali mengisi hati. Aku merasakan kehidupan di jiwaku. Kehidupan itu merespon pernyataan dia yang berteriak di bawah sana dalam hujan deras, sendirian. Sementara orang-orang lain dalam kerumunan memilih untuk berlindung. Benarkah apa yang dikatakannya?
“Begitukah?”
“Kau bisa percaya padaku. Tapi lebih dari itu, kau bisa percaya pada Tuhan Yang Maha Mendengar. “ Dia mengatakan dengan yakin.
Badai di hatiku perlahan mereda. Badai yang menerbangkan jiwaku. Kini jiwaku tenang di hati. Ia tersenyum.
“Kau hanya harus bertobat dengan benar pada-Nya. Memohon ampun dengan sesungguh. Menyesali, tidak mengulangi, dan terus memperbaiki dirimu.”
“Hanya itu?” Tak yakin ku bertanya. Kali ini suaraku keluar dengan bahagia, tapi.
“Ya, hanya itu.” Akhirnya.
Hujan tetap lebat. Namun langit menjadi cerah. Aku tidak tahu bagaimana bisa terjadi. Yang ku tahu kini, Tuhan itu Maha Kuasa dan aku hanya harus percaya kepada-Nya.
Dan hatiku kah itu yang mengatakan, hanya sekian yang bisa kita pelajari kalau ingin tetap hidup? Benarkah?