Apa arti bebas di hari libur baginya? Tidak setiap hari Minggu menjadi hari libur. Ketika tumpukan pekerjaan yang diabaikan karena kesibukan di hari kerja harus dikerjakannya pada hari libur, Minggu tak kalah Senin yang sibuk. Namun tidak demikian kali ini. Dadanya terasa lapang karena tugas domestik yang dirasanya paling menguras energi dan waktu sudah tertangani.
Pagi ini benaknya terasa longgar karena tidak punya tumpukan baju kerja dan seragam anak yang harus disetrika. Tinggal menunggu tukang laundry datang siang nanti, pakaian seragam mereka selama satu pekan aman.
Ia juga tak perlu bangun dini hari untuk memasak. Sudah ada nasi, pepes ikan, dan sambal goreng dari ibunya yang tinggal ia panaskan. Setiap akhir pekan berkunjung, ia pasti membawa pulang hasil masakan ibunya. Ia berkali menolak namun berkali pula ibunya mendesak. Sungguh ingin sekali ia utarakan kalau kedatangannya cukup melihat ibunya sehat dan bisa bertemu cucu. Ia tidak meminta makan, ia ingin sampaikan itu namun tentu itu terlalu kasar. Ibunya sangat kecewa jika ia dan keluarganya datang tanpa mengabari. Merasa tidak bisa memberi suguhan selayaknya, ibunya sangat kecele. Di rumah ibunya,ia dan keluarga kecilnya harus makan. Harus. Dengan lauk seadanya pun.
Maka bangun tidur, seperti biasa, ia akan menjerang air. Selepas subuh, ia masih bisa rebahan sembari membaca satu dua cerpen dari buku yang dibelinya pekan lalu sembari menunggu air mendidih. Ketika gelap mulai tersibak cahaya, ia letakkan bukunya.
Jerit teko nyaring terdengar dari dapur. Rutinitas paginya selalu, mengisi 2 termos air, menyeduh teh, dan membuat air lemon hangat. Setelahnya, ia mulai mengumpulkan gelas-gelas kotor dan sisa-sisa tempat makanan di meja makan. Sekalipun seharian berada di rumah ibunya dan semalam mereka tidak makan, tetap saja ada alat-alat makan yang kotor.
Ia membereskan bakul berisi sembako di meja makan dan menata isinya ke dalam lemari penyimpanan bahan makanan. Seperti tadi malam saat menerima dari suaminya saat pulang kenduri syukuran rumah baru tetangganya, lagi-lagi ia merasa sangat beruntung mendapatkan itu. Apa yang sekarang ia dan keluarganya alami tentu jauh dengan ketika ia bocah. Jam berapapun , ia dan keluarganya menanti bapak pulang kenduri. Berkat dalam besek disantab bersama. Semua lauk dibagi 2 rata dengan adiknya, sekalipun sebuah perkedel.
Zaman sudah berubah, ia dan anak-anaknya tidak pernah antusias menantikan makanan yang datang terlalu malam.
Ia sering berpikir, seperti dirinya saat ini, orang-orang pasti lebih senang mendapat berkat sembako. Paket sembako dalam wadah bakul itu bisa menyambung hidup seisi rumah beberapa hari alih-alih paket nasi kotak yang habis sekali makan. Ada beras 1/4 kilo, teh 1 buah, gula 1/2 kg, minyak 1/2 liter, telur 2 butir, mie instan 2 bungkus dan kadang kala kecap. Sembako itu cukup menyambung hidup keluarganya saat akhir bulan isi lemari mulai kosong.
Usai merapikan meja makan, ia mendekati bak cuci piring. Gemricik air keran bersahutan dengan senandungnya mengikuti lagu yang diputar di radio kampus kotanya sementara tangannya cekatan menggosokkan spons pada gelas piring dan membilasnya. Begitu rampung, matanya menjurus pada tumpukam baju kotor di depan kamar mandi. Ia menimbang apakah akan dikerjakannya cucian itu. Andai semua pekerjaan rumah harus ia selesaikan sekarang, ia tak akan menikmati hari libur. Tugas demi tugas selama sepekan, baik pekerjaan di kantor maupun kerja domestik membuat energinya seakan terkuras. Gesekan-gesekan kecil dan harapan-harapan yang jauh dari realita membuat mentalnya diuji bertubi-tubi. Bagaimana ia akan menghadapi Senin lagi jika lelahnya masih belum berlabuh. Ia butuh hormon endorfin.
Maka ia berbicara dengan suaminya. Ia membuat kesepakatan untuk memilih rute bersepeda. Mereka bersepakat setelah sarapan, bersepeda. Ia menghangatkan makanan-makanan dari ibunya. Sarapan bersama secukupnya, suaminya kemudian mempersiapkan sepeda sementara ia menyiapkan bekal bersepeda untuk anaknya.
Ia tidak begitu peduli dengan rumah yang masih porak-poranda dengan segala isinya yang menunggu dibereskan. Itu bisa dipikirkannya nanti. Tubuh dan seluruh jiwanya membutuhkan kesegaran dan hangatnya matahari pagi
Rute singkat yang dipilih suaminya nyatanya menghabiskan 90 menit bersepeda. Suaminya yang gemar menjelajah memilih rute memutar memasuki desa desa sekitar hingga menyusuri kali. Ia merasakan seluruh tubuhnya meregang dan rileks. Pori-pori tubuhnya berkeringat, kulitnya basah. Dadanya dipenuhi udara segar.
Sekembali dari bersepeda, ia menjerang air untuk mandi. Pori-pori tubuhnya makin terbuka. Selepas mandi,rasa kantuk menyerang. Ia abaikan sisa pekerjaan rumah yang belum disentuh. Suami dan anaknya sudah telentang pulas. Merasa kesempatan baik untuk rehat, ia rebahkan diri di sofa ruang tengah. Buku kumpulan cerpen yang tadi pagi dibacanya menanti untuk dikhatamkan. Ia menyambarnya dan sembari berbaring mulai membaca. Hitungan menit, buku itu terjatuh dari tangannya.
Ia dibangunkan oleh sengatan terik matahari yang jatuh lewat jendela. Ada suara-suara ribut di belakang. Langkah kakinya ia seret ke sumber suara. Rupanya sulung dan adiknya sedang menyiapkan makan siang. Aroma telur ceplok dari penggorengan memenuhi ruang. Memang, sebelum tidur tadi perut mereka kosong.
Ia bergabung dengan anak-anaknya untuk makan siang. Suaminya menyusul mendengar hiruk pikuk. Mereka cukup menikmati makanan yang ada.
Siang yang tenang tanpa kesibukan di dapur. Adakalanya ia mengisi libur dengan bebas memasak sebab pada hari biasa ia bekerja dan anak-anak bersekolah, benaknya disesaki segala tetek bengek untuk sarapan dan menyiapkan bekal. Namun, ada kalanya di waktu senggang ia harus maraton memasak memenuhi permintaan anak-anak dan suami. Hari libur yang seperti itu menyisakan kelelahan bahkan hingga esok harinya harus berjibaku dengan awal pekan.
Piring kotor kembali memenuhi bak. Sembari membereskan piring-piring bekas makan siang, ia bisa mencuci pakaian kotor yang menggunung. Kesibukan sepertinya mulai mengejar. Mendadak deretan pekerjaan rumah memenuhi benak. Kejar mengejar inginnya segera disudahi agar ia bisa kembali bersantai.
Ia menyortir sendiri semua yang berkelebat di benak. Apa yang bisa diatasi sembari mengerjakan tugas lainnya ia lakukan segera. Setelah mencuci piring, ia bisa beberes beberapa bagian rumah sementara mesin cuci menuntaskan pekerjaannya.
Ketika tubuhnya sudah memberi kode untuk jeda, ia memilih menunda deretan pekerjaan yang belum usai. Yang penting sandang dan piring yang menumpuk habis ditangani. Yang lain bisa ditunda.
Saatnya menikmati sore dengan bersantai, gumamnya. Sungguh ia ingin menghabiskan sisa hari libur dengan membaca atau menyelasaikan beberapa draft tulisan di laptopnya. Ia mendaratkan pantatnya ke sofa dan menarik buku kumpulan cerpen di meja depannya.
Tok… tok…, suara ketukan membuatnya urung membuka buku dan mendekati pintu. Perempuan seusianya berdiri di depan pintu dengan pakaian rapi.
“Berangkat dawis tidak, Mbak Yuni?” sapanya ramah.
Ia terperangah, hatinya mencelos. Ia masuk ke dalam untuk berganti pakaian dan mengambil dompet—dawis, dasa wisma, waktunya membayar aneka iuran warga–. Sepertinya, untuk merasakan libur seutuhnya,ia harusnya tidak berada di rumah pada hari Minggu.