Selama ini, tugas ayah terbatas pada mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga secara material. Padahal sejatinya peran ayah lebih luas dan esensial daripada itu. Dalam Fitrah Based Education disebutkan beberapa peran ayah sebagai pembuat visi dan misi keluarga, pemimpin yang membangun akidah, pembangun profesionalisme, pembangun sistem ego, pembangun struktur berpikir dan rasionalitas, pensuplai maskulinitas, penanggungjawab pendidikan, dan raja tega.
Adriano Rusfi, seorang psikolog, menyebutkan bahwa sebagian besar tokoh pendidikan anak di dalam Al-Qur’an adalah laki-laki seperti Nabi Muhammad, Nabi Ibrahim, maupun Lukman Hakim. Lebih lanjut, dari 17 dialog antara orang tua dan anak di dalam Al-Qur’an, 14 di antaranya adalah dialog ayah dan anak. Hal ini menunjukkan bahwa ayah mempunyai peran sentral dalam pengasuhan. Akan tetapi, fakta yang terjadi di lapangan sungguh memprihatinkan. Beberapa keluarga kehilangan peran ayah dalam pengasuhan.
Ketiadaan peran ayah di dalam keluarga ini bisa jadi secara fisik ataupun psikis. Ada ayah yang hadir secara fisik tapi tidak membersamai anak secara psikis. Ada juga ayah yang disibukkan dengan pekerjaan sehingga hampir tidak punya waktu untuk anak. Beberapa ayah menganggap bahwa mendidik anak adalah tugas ibu, sehingga merasa tidak perlu turun tangan dalam pengasuhan. Hal seperti ini disebabkan karena ketidaktahuan atau keengganan sebagian ayah untuk menimba ilmu pengasuhan.
Ketidakhadiran ayah dalam pengasuhan berdampak pada fenomena lapar ayah, yakni kerusakan psikologis yang diderita anak karena tidak hadirnya sosok ayah. Efeknya, anak akan mengalami masalah sosial dan kognitif, masalah kesehatan seksual, eksploitasi dan pelecehan, sulit menyesuaikan diri, masalah akademis, kesehatan fisik dan mental hingga masalah tanggung jawab. Sebaliknya, keterlibatan ayah dalam pengasuhan memiliki beberapa dampak positif untuk anak. Anak yang dekat dengan ayahnya menjadi lebih mandiri, kompeten, memiliki keterampilan sosial, linguistik, dan prestasi belajar yang baik (Birdy, 2020).
Meski demikian, ada beberapa kondisi yang menyebabkan seorang ayah harus menjalani hubungan jarak jauh dengan keluarganya. Sebut saja Nabi Ibrahim yang harus meninggalkan Ismail kecil karena memenuhi perintah Allah. Ada pula anak yang kehilangan sosok ayah karena ditinggal wafat sejak kecil. Pada kondisi seperti ini diperlukan figur pengganti ayah sebagai pendidik, bisa kakek, paman, atau kerabat dekat yang lain. Seperti halnya Nabi Muhammad yang tidak kehilangan figur ayah dalam pengasuhan karena ada kakek dan paman yang mengasuhnya.
Ayah hendaknya meluangkan waktu untuk membahas visi misi keluarga dan bersinergi dengan ibu dalam mendidik anak. Jika ibu adalah guru yang terjun langsung dalam pendidikan anak, maka ayah adalah kepala sekolahnya. Ayah bisa memperbanyak ngobrol dan mendengarkan curhatan anak, bermain dan beraktivitas bersama serta tak canggung memberikan ekspresi sayang berupa pelukan dan ciuman kepada anak. Upaya ini bisa diperkuat dengan meningkatkan kapasitas keilmuan melalui keterlibatan ayah dalam mengikuti seminar parenting yang selama ini masih didominasi oleh para ibu. Optimalisasi peran ayah di dalam keluarga ini diharapkan dapat membentuk karakter baik anak dan menciptakan keluarga yang tangguh. []