Bab 1
Misi Akhir Zaman
“Dari mana saja kau?”
Setengah membentak aku bertanya. Lebih sejam aku menantinya. Waktu yang setara dengan puluhan purnama di bumi.
“Aku mempersiapkan segala sesuatunya untuk perjalanan kita.”
Dia menjawab tenang.
“Bukankah kita bisa melakukannya sambil jalan? Aku bahkan belum tahu kemana tujuan kita.” protesku. Ya. Bukankah sebaiknya kita tahu dulu kemana akan melangkah, barulah mempersiapkan segalanya?
Namun, dia tetap saja tenang. Tatapannya jernih. Sejernih laut Wakatobi. Laut yang hanya ada di planet paling subur bernama bumi itu.
“Kita tidak punya banyak waktu, sobat. Bumi sudah renta. Dajjal sudah tak sabar untuk menebar petaka di muka bumi. Akan lebih efisien jika kita bersiap-siap terlebih dahulu. Toh kemanapun kita menuju, persiapan yang dibutuhkan tidak jauh berbeda. Sekarang, lihatlah kemari. Lalu tunjukkan padaku negeri mana yang kau pilih.”
Dia membentangkan sebuah peta dengan gerakan jemarinya. Itu bukanlah peta biasa. Melainkan sebuah hologram. Didalamnya kau bisa melihat kondisi alam, demografi penduduk, potensi dan keunggulan, juga statistik ekonomi suatu negeri cukup dengan mengarahkan jemarimu ke tempat yang kau inginkan.
“Kau dan aku memilih satu negeri. Negeri yang sesuai dengan ekspektasi kita masing-masing akan rahmatal lil ‘alamin yang ada di sana.” usulku.
“Sepakat,” Dia mengangguk. “Kau duluan.”
Aku mengamati peta itu sejenak. Tidak terlalu sulit untukku memilih negeri yang akan kudatangi. Perhatianku langsung terfokus pada sebuah negeri yang luas membentang. Terdiri atas pulau-pulau kecil dan besar. Dikelilingi oleh samudera biru dan dilintasi kapal-kapal dengan berbagai bendera. Dan di dalam peta ini, negeri ini terlihat begitu hijau. Tidak ada negeri lain yang sehijau negeri ini.
“Aku memilih ini.” Aku menunjuk tegas.
Namun, dia malah menatapku ragu. “Kenapa?”
“Siapapun yang melihat, pasti akan jatuh hati. Dia seperti gadis dengan kecantikan di atas rata-rata diantara ratusan perempuan biasa. Dan kecantikannya sungguh alami. Lihatlah hijaunya yang anggun, pertanda kekayaan alamnya yang asri. Cermati demografinya. Mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Tentu, semakin banyak pemeluknya, semakin besar rahmatal lil alamin yang mereka bawa, bukan? Toh secara historis, mereka bisa hidup berdampingan dengan baik dengan para pemeluk agama lain. Memang, beberapa kali pernah terjadi konflik. Namun tidak sampai membuat mereka hancur dan terpecah.”
Dia menarik ujung bibirnya di ujung “khotbah”ku. Tersenyum sinis. “Sepertinya kau mencari jalan pintas, Sobat. Tetapi, instingku tetap mengatakan, bahwa kenyataan yang terbentang di sana, berbeda dengan apa yang baru saja kau katakan.”
Aku mengedik bahu. ”Terserah. Lalu, yang mana pilihanmu?”
Pandangan kami kembali tertuju kepada peta. Kali ini dia terlihat lebih serius. Beberapa kali matanya mengitari semua bagian bumi yang tampak di situ. Hingga akhirnya, jemarinya menunjuk pada sebuah bidang kecil. Sangat kecil hingga nyaris terlihat seperti sebuah noktah.
“Aku memilih ini.”
Jika tadi dia menatapku bimbang atas negeri pilihanku, kali ini aku memberinya tatapan heran. Luar biasa heran.
“Itu ‘kan hanya sebuah negeri kecil. Negeri yang kian hari wilayahnya kian tergerus. Hampir tiada hari tanpa dentuman senjata, darah mengalir dimana-mana, dan tangis para ibu yang harus kehilangan anggota keluarganya.”
“Tapi ini tanah para Nabi.” Dia menjawab tegas. “Sampai kapan pun, dan dalam kondisi apapun jua, tanah para nabi tetaplah tempat yang mulia.”
“Hmm, baiklah. Tidak ada gunanya kita berdebat. Jadi sekarang, kita akan pergi ke negeri mana dulu?”
Dia mengulurkan ponselnya. Ponsel dengan teknologi paling mutakhir. Teknologi yang memungkinkanmu lebih dari sekadar berkomunikasi, browsing, mendengar lagu, menonton film, rapat atau membaca buku, tetapi juga berfungsi seperti robot pribadi yang siap melakukan apapun perintahmu.
Seperti saat ini, dia cukup mendekatkan benda itu ke bibirnya, mengucapkan sesuatu, dan hanya dalam hitungan detik, layarnya telah menampilkan bidang datar dengan dua warna. Satu berwarna biru, satu berwarna merah.
“Kau pilih warna apa?”
“Merah.”
“Kalau begitu, aku yang biru. Kita mulai?”
Aku mengangguk. Dia lalu menekan satu tombol. Kedua warna itu kini saling membaur. Menjelma potongan-potongan segi empat yang mengecil, kemudian kembali membesar dan berakhir dengan kemunculan satu bidang dan satu warna. Merah.
“Kita ke negeri pilihanmu dulu. Kau siap?”
“Siap. Insya Allah.”
Aku dan dia lalu masuk ke dalam pesawat khusus, yang akan membawa kami ke tempat tujuan demi melaksanakan misi ini. Sebuah misi akhir zaman. Jika misi ini berhasil, maka bumi akan bernapas lega. Begitu juga para penghuninya. Tetapi, jika gagal, hanya Sang Maha Penguasa Bumi yang tahu, apa yang akan Dia lakukan setelah itu.
Bab 2
Negeri Pilihan I
“Bagaimana?”
Aku tak langsung menjawab pertanyaannya. Kami telah tiba di negeri pilihanku. Mendadak aku merasa gerah. Pusing dan gelisah. Ini berbanding terbalik dengan yang seharusnya kurasakan. Negeri yang dinaungi oleh rahmat semesta alam, semestinya memberiku perasaan tenang, sejuk dan bahagia.
“Apakah kau merasakan seperti yang kurasakan?” Aku bertanya kepadanya.
“Jika yang kau alami adalah perasaan-perasaan negatif, akupun merasakannya. Mari kita cari tahu sebabnya.”
Dia menggamit lenganku, menuju sebuah tempat yang menebar aroma lezat. Dari luar, bangunannya tampak megah. Dindingnya berwarna merah bata dan bagian depannya berlapis kaca. Kami bisa leluasa melihat isi didalamnya. Ada begitu banyak meja dengan orang-orang yang duduk mengitarinya. Di depan mereka terhidang makanan dan minuman. Sebagian tampak menikmatinya tanpa bicara, tetapi ada juga yang sambil berkata-kata dengan lawan bicaranya. Membuat mulut mereka tampak menggembung, dan sang lawan bicara tampak kurang senang. Di beberapa meja, kami melihat piring-piring dengan sisa-sisa makanan. Bahkan ada yang sepertinya baru dimakan separuh. Tak sadar, aku menggeleng.
“Untuk apa mereka memesan jika tidak dihabiskan? Apakah guru atau orang tua mereka belum pernah mengajarkan tentang mubazir?”
Belum hilang rasa gusarku, mataku kini tertuju pada seorang perempuan. Dia mengenakan baju yang serupa dengan banyak perempuan lain di tempat ini. Mereka mendatangi meja, mencatat sesuatu, lalu pergi dan kembali lagi sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman. Namun, bukan rutinitas itu yang membuat kegusaranku kian bertambah. Perempuan itu mengenakan penutup kepala. Seperti juga yang dikenakan banyak perempuan di negeri ini. Tetapi, bajunya melekat begitu erat di tubuhnya hingga aku khawatir dia akan sesak napas. Dan separuh kakinya tertutup oleh kaus kaki panjang berwarna hitam. Kaus kaki yang justru menunjukkan lekuk-lekuk kakinya dengan begitu kentara.
“Sepertinya pemandangan dari sini membuatmu tambah pusing. Kita ke belakang saja?”
Aku menurut. Kami lalu melangkah ke belakang. Ke bagian gedung yang ramai oleh suara benda-benda yang saling bertemu. Dan aroma makanan yang kian mengekspansi radar penciuman.
“Kenapa sayuran itu tidak dicuci? Dan…..daging-daging itu, mereka mengambilnya dari lantai, bukan?” Aku memandang jijik. Sungguh tidak menduga, seperti ini cara mereka memperlakukan makanan sebelum dihidangkan.
“Kita pergi?” Dia sepertinya memaklumi ekspresiku. Aku mengangguk. “Aku mau ke pasar.”
Tanpa bertanya, dia mengikuti langkahku.
oOo
Suasana di pasar tampak sangat ramai. Orang-orang berlalu lalang. Menawar, membeli dan berlalu dengan tangan menenteng barang belanjaan. Dia mengajakku berhenti di tempat seorang penjual ayam. Sang penjual tampak sibuk memotong-motong ayam sesuai permintaan pembelinya. Keringatnya bercucur deras. Disekanya dengan handuk kecil yang tersampir di leher. Beberapa ibu mengantri dengan sabar. Sekilas, semua tampak normal.
Aku dan dia lalu berjalan ke bagian belakang sang tukang ayam. Dan insting kami sepertinya sepakat, terarah pada jarum timbangannya. Jarum itu bergeser beberapa derajat meninggalkan angka nol. Sang penjual menaruh beberapa ekor ayam diatasnya, lalu memutarnya menghadap pembeli. Menunjukkan angka yang kini bergerak oleh berat ayam diatasnya. Sang pembeli mengangguk.
“Sudah berapa lama dia begitu? Menipu pembelinya dengan menyetel jarum timbangannya?” Aku bergumam. Lalu menggeleng-geleng.
“Aku yakin, bukan hanya dia yang begitu.” bisiknya. “Mari kita keliling.”
Berdua, kami melakukannya. Mengelilingi seisi pasar. Mengamati setiap timbangan, juga melihat kondisi barang-barang yang dijual. Dan hampir semua yang kami temukan, tak urung membuatku terkaget-kaget. Dia benar. Bukan hanya si penjual ayam yang mengelabui pembelinya. Tetapi banyak sekali pedagang, melakukan hal serupa. Ada yang menyetel jarum timbangan, yang menyelipkan cabe layu dan sayuran berlubang pada belanjaan pembeli yang malas memilih, yang mempermak penampilan ikan busuk sehingga tampak seperti ikan segar.
“Kau belum capek ‘kan?” Dia bertanya.
“Belum, tapi aku ingin ke tempat yang lebih nyaman. Yang tidak harus bersesakan dan aku bisa menghirup udara segar.”
“Kalau begitu, kita ke taman kota saja. Aku juga ingin istirahat sebentar. Karena setelah ini, kita harus segera pergi ke negeri pilihanku.”
Kami lalu menuju taman kota. Duduk di salah satu bangkunya seraya memandang sekeliling. Dari luar, tempat ini memang nyaman, bersih dan sejuk. Namun dari tempat kami duduk, kami bisa mencium aroma busuk sampah, bau parit tersumbat, dan mendengar suara-suara yang kurang pantas dari balik rerimbunan. Padahal, saat ini matahari masih bersinar cerah. Tetapi, suara-suara itu, tak ubahnya suara-suara kala malam memekat, memecah sunyi dari balik bilik-bilik maksiat.
Aku mengusap tengkuk. Rasanya, sudah separuh hari kuhabiskan di sini, belum juga kurasakan rahmatal lil alamin yang sesungguhnya menaungi negeri ini. Teringat sesuatu, aku berkata kepadanya. “Kau punya ide, bagaimana kita bisa melihat tentang toleransi di negeri ini tanpa harus kemana-mana lagi? Aku sudah lelah.”
Dia menjentikkan jarinya. “Itu gampang.” Lalu, dia mengeluarkan ponselnya, mengusap-usapnya sejenak, dan dalam sekejap, layarnya telah menampilkan beberapa kanal sosial media. Jika hari ini ponselmu hanya bisa menampilkan satu kanal saja dalam satu tampilan, ponselnya bisa menampilkan sebanyak mana yang kau mau, lalu mengoperasikannya pada waktu bersamaan.
Aku menepuk jidat. Mendadak merasa bodoh. Tidak terpikirkan akan hal itu sampailah dia yang lagi-lagi mengeluarkan idenya. Tetapi….”Tunggu! Apa menurutmu ini efektif, dengan kita melihatnya hanya melalui interaksi mereka di sosial media?”
“Tentu saja!” Dia menjawab tanpa ragu. “Kau tahu? Lebih dari 170 juta jiwa penduduk negeri ini menggunakan internet. Dan tujuh puluh persen darinya adalah pengguna aktif sosial media. Statistik itu sudah lebih dari cukup untuk kita melihat seperti apa pola toleransi di sini.”
Dan tanpa menunggu responku, dia mulai mengecek semua kanal yang ada. Telunjuknya bergerak sangat aktif, mengetik tagar ini dan itu, menggeser ke atas dan ke bawah, sesekali berhenti pada status yang melampirkan video ataupun kolase foto.
“Bagaimana?” tanyanya setelah sekian menit berlalu, dan bangku yang kami duduki mulai berkurang hangatnya. Di langit, matahari sudah tak lagi garang. Sepertinya, sebentar lagi hari akan beranjak petang.
Aku menghela napas panjang. Kenyataan yang ada dibalik layar, tidak jauh berbeda dengan fakta yang kami temui di sekitar kami. Orang-orang sibuk berbalas status, saling cerca dan menghina. Menyebarkan berita yang entah hoax entah nyata, tentang aib dan dosa mereka yang berbeda keyakinan dengannya. Masing-masing merasa paling benar, dan yang berseberangan, adalah para pesakitan dan pendosa.
“Ini tidak mungkin!” Aku menggeleng-geleng. Nyaris putus asa. “Tidak mungkin semuanya kacau begini. Pasti ada beberapa tempat di negeri ini yang dicucuriNya rahmatal lil alamin. Kalau tidak, untuk apa jumlah mereka yang ratusan juta ini? Memeluk agama penuh rahmat tetapi tidak berhasil menghadirkan rahmat itu sendiri! Bahkan tidak juga di dalam diri mereka sendiri!”
“Tenang dulu kawan. Kau benar. Tempat-tempat itu masih ada. Orang-orang baik juga banyak. Hanya saja, keberadaan mereka dan tempat-tempat yang penuh rahmat itu, tertutupi oleh situasi buruk, yang jumlahnya jauh lebih banyak. Dan ini berbahaya. Lama-lama, rahmat itu akan menghilang sepenuhnya dari negeri ini. Orang-orang baik akan terkucil dan dianggap aneh. Sebaliknya, hal-hal buruk dianggap wajar, orang-orang jahat dianggap pahlawan.”
Aku terdiam. Akhirnya menyadari, bahwa jumlah bukanlah cermin. Yang banyak hanya akan menjadi buih, jika tidak menyimpan kekuatan dan ketaatan didalamnya.
“Aku ingin melihat negeri pilihanmu.”
Dia mengangguk. Mengepalkan tangannya ke udara. “Ayo berangkat!”
BAB 3
Negeri Pilihan II
Hawa gersang langsung menyambut kami saat menginjakkan kaki di bumi para nabi. Suasana tampak sepi. Bangunan-bangunan petak beratap datar seakan menjadi tonggak kesunyian. Tidak banyak penduduk sipil yang berlalu lalang. Bahkan mungkin hanya sedikit lebih banyak, dari orang-orang berseragam hijau dan menenteng senjata, hilir mudik dengan langkah perkasa.
Namun, aneh. Ini sungguh aneh. Dalam kegersangan ini, tubuhku justru seakan dipenuhi oleh sejuk angin. Dadaku lapang oleh udara segar. Dan penciumanku menghidu aroma bunga setaman. Bukan bau anyir darah seperti dugaanku sebelumnya. Mengapa bisa begini?
“Kita kesana?” Dia mengajakku ke sederet bangunan yang sepertinya adalah pertokoan. Pintu-pintunya terbuka. Dari dalam, para pria keluar. Melangkah tenang menuju tempat dimana terdengar suara azan. Memanggil-manggil mereka untuk shalat. Sepertinya, mereka adalah para karyawan toko. Mungkin juga termasuk pemiliknya. Toko ditinggalkan kosong. Juga terbuka. Aku mengamati saksama. Lima menit. Sepuluh menit. Tiga puluh menit. Toko tetap terbuka. Namun, tidak ada tamu tak diundang yang berminat untuk masuk. Mengambil satu dua barang-barang yang ada di dalam toko. Sampai para pria itu kembali, lalu menjalankan aktivitas sebagaimana layaknya, toko mereka tetap aman.
“Bahkan saat ada kesempatan, para pencuri enggan memanfaatkannya.” Aku bergumam. “Bukankah tidak hanya pencuri sungguhan. Mereka yang awalnya tidak berniat mencuri pun, akan terdorong untuk melakukannya saat ada kesempatan?”
“Mereka di sini pun tahu itu, kawan. Tetapi, mereka juga tahu, bahwa Sang Penguasa Alam selalu mengawasi mereka. Tidak lengah sedikit pun.”
Lidahku sudah gatal akan berkata, bukankah hampir semua penduduk negeri pilihanku juga mengetahui akan hal itu? Tetapi, jangankan saat lengang, di tengah keramaian pun, mereka sanggup menggeser jarum timbangan.
Aku memilih diam. Mengunci mulutku dan mengikutinya yang terus berjalan. Di sepanjang ruas jalan yang kami lewati, kami mendengar lantunan kitab suci. Bergema lirih hingga merdu, dari balik rumah-rumah sederhana bahkan reruntuhan tembok yang gagal menunjukkan bentuk sebelumnya. Di salah satu sudut jalan, di bawah tenda-tenda beratap terpal, di atas hamparan permadani tipis yang berlubang-lubang, beberapa remaja berkumpul, mengelilingi seorang pria berjubah dan berjenggot panjang. Satu per satu dari bibir para remaja itu, mengalir bacaan kitab suci. Kepala mereka tertunduk, kitab di hadapan mereka tertutup. Hanya kitab dalam genggaman sang pria berjubah, dalam kondisi terbuka.
“Mereka sedang menghapal kitab suci. Lalu menyetorkannya pada sang guru.” Dia menerangkan. “Sebagian besar mereka di sini melakukannya. Para pemuda itu. Karena mereka tidak tahu, besok atau lusa mereka masih hidup atau sudah meregang nyawa. Dan bacaan kitab suci, tidak boleh hilang dari dada mereka. Jika ada yang mati, bacaan itu akan tetap hidup di dada mereka yang belum ditakdirkan untuk menemui Tuhannya.”
Aku kembali memilih diam. Rasa malu mulai menjalariku, atas pilihanku dan dugaanku yang keliru. Namun, aku dan dia hanya punya satu pilihan. Tidak bisa direvisi atau diganti. Dan dia ternyata sudah tahu banyak tentang negeri pilihannya. Mungkinkah ini yang dilakukannya diam-diam saat “mempersiapkan segala sesuatu”? Dalam diam, kami kembali melanjutkan perjalanan. Melintasi bangunan-bangunan minimalis. Minimalis dalam makna yang harfiah.
“Tunggu!” Aku menahan tangannya saat kami melewati mulut sebuah gang sempit.
“Ada apa?”
Aku tak menjawab. Hanya menunjuk ke dalam gang. Dua orang wanita tengah berjalan perlahan. Yang satu tampak masih muda. Gamisnya terulur hingga hanya menyisakan ujung sepatu tipisnya. Jilbab panjangnya menutup hingga lutut. Dia memapah seorang wanita tua yang sedikit bungkuk. Uban menghiasi keseluruhan rambutnya. Sebelah tangannya menggenggam tongkat. Dan didadanya yang tertutup jaket rajut, sebuah kalung salib tergantung.
Beberapa kali wanita tua itu berhenti, memegang dadanya dengan wajah menahan sakit. Sang wanita muda ikut berhenti setiap kali dia berhenti. Menahan tubuh sang wanita tua dengan sebelah tangan. Dan tangan yang sebelah lagi menggosok pelan punggungnya. Begitu terus hingga langkah mereka terhenti di bangku kayu, tak jauh dari mulut gang. Wanita muda membantu wanita tua duduk. Membetulkan jaket rajutnya. Mengeluarkan botol minum dari dalam tas kain, mengucapkan bismillah, dan memberikannya pada sang wanita tua. Dan dari bibir sang wanita tua, beberapa kali terlahir ucapan terima kasih.
“Apakah ini terjadi hampir di setiap sudut negeri ini? Ataukah hanya satu dalam seribu peristiwa?” Aku bertanya kepadanya tanpa sedikit pun mengalihkan tatapanku dari kedua wanita itu. Kini mereka tengah berbincang-bincang. Sang wanita muda menawarkan makanan kecil dari wadah yang dibawanya – entah kacang atau buah-buahan kering – yang jelas, wanita tua itu tampak senang.
“Secara statistik, hal semacam ini biasa terjadi di negeri ini. Toleransi selalu ada dimana-mana. Dan mereka tidak merasa penting untuk menunjukkannya di sosial media. Apa yang terpenting, mereka tetap melakukannya, dalam kondisi sesulit apapun.”
“Statistik?” Aku mengernyit. “Tetapi, negeri pilihanku juga menunjukkan statistik yang baik dalam hal toleransi. Para minoritas bisa hidup damai. Nyaris tidak pernah terjadi konflik antar suku, agama dan ras yang mengancam persatuan. Dan demokrasi di sana juga relatif aman. Bebas dari kisruh dan demonstrasi yang menelan banyak korban.”
Dan tawa lepasnya, menjadi respon pertamanya sebelum dia berkomentar, ”Tidak semua negeri punya data yang akurat, Bung. Tapi, kau tidak perlu terlalu kecewa. Mudah-mudahan, kenyataan yang satu ini akan membuatmu optimis tentang negeri pilihanmu. Mari, ikut aku.”
Penasaran, aku mengikuti langkahnya yang kali ini lebih bergegas. Arlojinya mulai mengeluarkan cahaya merah yang berkedip-kedip, pertanda bahwa waktu kami hampir habis. Langkahnya berhenti saat kami mendekati perbatasan. Beberapa truk dan pick-up melintasi portal yang dijaga banyak tentara. Kendaraan-kendaraan besar itu berhenti di depan portal. Para tentara bergerak cepat. Menginterogasi para supir, lalu memerintahkan untuk membuka akses bagi mereka memeriksa barang yang diangkut oleh kendaraan. Menit-menit yang panjang berlalu hanya untuk meloloskan satu kendaraan. Untungnya, semua kendaraan itu diizinkan melewati portal.
“Kau tahu apa yang ada di dalam kendaraan-kendaraan itu?”
Aku menggeleng.
“Itu adalah paket-paket bantuan dari negeri pilihanmu. Dikirimkan oleh orang-orang baik untuk saudara-saudara mereka di sini. Bukan hal mudah untuk mendatangkan paket bantuan kemari. Tetapi, mereka tetap melakukannya. Sampai hari ini. Kupikir, karena adanya merekalah, dan kebaikan-kebaikan yang terus mereka tanam, negeri pilihanmu masih aman dari azab yang benar-benar dahsyat. Hanya sebatas teguran-teguran kecil dari Sang Maha Penguasa agar diantara mereka, tetap ada yang sadar untuk tidak tenggelam dalam tipu daya. Wallahu’alam.”
“Jadi, apakah negeri pilihanku masih punya harapan, untuk menggapai rahmatal lil ‘alamiin seperti negeri pilihanmu?”
“Tentu! Sangat mungkin!” Dia berseru lantang. Seruan yang dalam sesaat, cukup menaikkan harapanku yang nyaris tersungkur ke titik nadir. “Jika semakin banyak dari mereka yang bertobat, dan paham benar bagaimana menunjukkan agama penuh rahmat itu dalam setiap perbuatan dan perkataan, aku yakin, negeri pilihanmu akan menjadi negeri paling subur. Subur dalam makna yang holistik. Tidak hanya subur alamnya, tetapi juga subur penduduknya dan keimanannya.”
“Kau benar. Tetapi….seperti kau bilang. Waktu yang tersisa tidak banyak. Dan kita harus kembali sekarang.” Ujarku lirih.
“Kau benar. Mari kita pulang.”
Kami berdua bergegas bangkit, persis saat arlojinya menyalakan sinar merah yang kian benderang. Tidak lagi terputus-putus. Waktu untuk misi pertama kami sudah habis.
BAB 4
Misi Selesai
Beberapa minggu kemudian,
“Kau yakin, ini cara yang paling tepat?” Dia menatapku ragu, juga penuh khawatir. Aku baru saja mengungkapkan detil rencana sebuah tindakan yang sangat besar. Yang belum pernah terjadi selama ini di belahan bumi manapun.
“Aku tidak tahu. Itu murni menjadi rahasia Sang Penguasa Alam. Bahkan soal ini akan terealisasi atau tidak. Hanya Dia yang berhak menentukan. Tetapi, diantara berbagai rencana, aku memang tidak punya rencana lain yang lebih efektif dari ini.”
“Kau sudah pikirkan matang-matang akan resikonya? Ini tidak hanya akan terjadi di negeri pilihanmu. Tetapi juga di seluruh dunia. Termasuk negeri pilihanku.”
“Ya. Itu memang resiko terburuknya.” Aku menatap muram pada langit yang tampak mendung. “Tetapi, sudah tidak mungkin untuk rencana-rencana yang berjalan perlahan. Sang Penguasa Alam telah mengulur waktu yang begitu panjang. Namun, kesadaran mereka sepertinya bergerak terlalu lambat. Tidak mungkin menyamai waktu yang kian berpacu menuju akhir zaman.”
“Lalu, bagaimana dengan orang-orang shalih? Mereka juga tidak luput dari akibat rencana ini bukan?”
“Ya. Itu juga resiko terburuk lainnya. Tetapi, kalaupun mereka turut menjadi korban, mereka akan mendapatkan tempat mulia sebagai para martir syahid.”
“Lalu, bagaimana dengan kebanyakan dari mereka? Yang tidak bisa dikategorikan buruk, tetapi hanya melaksanakan ajaran agamanya sesuai apa yang mereka mau?”
“Mudah-mudahan, jika rencana ini terlaksana, mereka akan berubah kearah yang lebih baik. Jadi, kalaupun mereka harus mati, mereka punya peluang untuk mati dengan husnul khotimah. Bukankah setiap manusia akan dilihat dari bagaimana dia menghabiskan sisa hidupnya?”
Dia menghela napas panjang. Menatapku dalam-dalam. Seakan hendak membaca setiap sel dalam benakku, memastikan bahwa aku belum gila.
“Sesungguhnya aku masih ragu. Namun, aku tidak punya ide yang lebih baik. Dari mana akan kita mulai?”
Aku membentangkan peta hologram. Menunjuk pada satu titik besar diantara titik-titik yang lain. Titik itu, mengarah pada negeri dengan penduduk terpadat di muka bumi. Dengan penduduknya yang sedemikian padat, dan mobilitas mereka yang sangat tinggi bahkan lintas negara.
“Kita tidak perlu menggunakan tangan kita untuk menjalankan misi ini. Tetapi para elit dunia yang memang sudah tidak sabar ingin mengacaukan kondisi dunia saat ini. Selanjutnya, kita tinggal menunggu dan melihat hasilnya, jika memang Sang Maha Penguasa Alam mengizinkan ini terjadi.”
Dia mengangguk. Meski separuh wajahnya masih diliputi awan cemas.
oOo
Setahun kemudian,
Peta hologram itu kini terbentang dalam dimensi yang lebih besar. Aku dan dia berdiri didepannya. Mengamati saksama setiap pergerakan yang terjadi, dan perubahan drastis di sana sini. Mata kami nyaris tak berkedip. Semua yang kami saksikan, berlangsung begitu cepat. Massif. Penuh ketegangan. Hampir semua lintasan antar negara, antar kota bahkan antar pulau ditutup rapat-rapat. Dimana-mana, jalanan tampak sepi. Orang-orang berdiam di rumah. Kalaupun harus keluar, mereka menutup separuh wajah dengan masker. Kemanapun mereka pergi, mereka harus selalu mencuci tangan. Membawa cairan pencuci tangan di dalam botol-botol mungil. Setiap hari, acara televisi terus menerus didistorsi oleh penyajian grafik dan angka-angka. Dan anjuran pemerintah setempat agar semua warga tetap berada di rumah saja.
Dunia tengah dilanda pandemi raksasa. Dengan pemicunya sejenis virus yang bahkan diameternya hanya sebesar 125 nanometer. Tidak lebih besar dari kuman. Namun kekuatannya melesat jauh, mengalahkan ribuan jenis virus yang sudah lebih dulu ada. Kemampuan ekspansinya juga lebih dahsyat. Mampu menembus pertahanan tubuh hanya dari sentuhan sang pembawa ataupun sepercik liurnya yang beredar di udara. Hanya dalam tempo beberapa bulan saja, wajah dunia benar-benar berubah dibuatnya.
Aku menekan tombol zoom untuk melihat lebih jelas apa yang terjadi di negeri pilihanku. Mereka kini juga lebih banyak berada di rumah. Mengurangi bepergian. Menutup wajah dengan masker. Para pekerja dirumahkan. Anak-anak sekolah diliburkan. Saat perubahan itu baru bermula, anehnya, masker dan botol-botol cairan pencuci tangan sudah lebih dulu lenyap. Menghilang di pasaran, out of stock hampir di semua apotik dan farmasi. Saat benda-benda itu muncul kembali, harganya sudah naik berkali-kali lipat.
Sungguh, bukan efek semacam ini yang kuharapkan. Aku menekan lagi tombol zoom, berharap akan menemukan sesuatu yang lebih melegakan. Di beberapa daerah, langitnya tampak lebih biru, warga kota dapat melihatnya lebih jelas, begitu juga awan yang berarak. Pemandangan ini, sudah lama menghilang dari pandangan mereka, tertutupi oleh asap dan polusi tebal.
Di beberapa titik lokasi, aku melihat noktah-noktah berwarna hijau terus membesar, lalu menjalar ke lokasi-lokasi lainnya. Itu sebuah pertanda baik. Noktah hijau melambangkan tengah terjadi arus kebaikan dalam jumlah besar. Aku menekan tombol zoom pada noktah-noktah itu. Tampak di sana, sejumlah orang tengah melakukan aksi sosial. Menggalang donasi, mengumpulkan sumbangan, membagikan bantuan kepada yang membutuhkan. Dan virus kebaikan itu ternyata efek penularannya lumayan cepat, meskipun belum secepat ekspansi sang virus. Aksi sosial berlangsung di banyak tempat, menghasilkan tampilan noktah-noktah hijau yang terus membesar.
Dan noktah hijau itu tidak hanya diwakili oleh aksi sosial. Di beberapa tempat, aku melihat orang-orang mulai giat menanam. Bahkan seupil pekarangan mereka pun kini dijejali pot-pot tanaman. Mereka sibuk bertanam sayur, bumbu dapur dan tanaman obat. Di beberapa tempat pula, tempat dimana jumlah yang mati terus naik dengan signifikan, banyak orang mulai intens dalam beribadah, mengurangi berghibah, dan setiap kali mereka mendengar berita kematian, mereka akan tersungkur dalam sujud yang panjang.
“Bagaimana? Kau puas dengan hasilnya?” Pertanyaannya memecah konsentrasiku.
Aku bingung harus menjawab apa. Karena jika aku menjawab “puas”, berarti hatiku sudah mati. Aku tidak peduli pada nyawa-nyawa yang berakhir dengan kematian. Dalam kebingunganku, aku bertanya. “Bagaimana dengan negeri pilihanmu?”
Dia menunjuk pada titik yang mewakili negeri pilihannya. Aku ternganga. Negeri itu, dengan semua grafik dan angka yang ditunjukkannya, dan pergerakan masyarakat didalamnya, menunjukkan kalau mereka nyaris bebas dari pandemi!
“Bagaimana bisa?” Aku bergumam.
“Apanya yang tidak bisa, bung? Jika Sang Maha Penentu sudah memutuskan untuk melindungi mereka, sedahsyat apapun virus yang ada, tidak akan melukai mereka sedikit pun. Lagipula, rahmatal lil alamin telah menaungi mereka sejak dulu kala. Tidak tergoyahkan oleh konflik yang menelan jutaan nyawa dan menguras berliter air mata. Kita lihat saja, apakah negeri pilihanmu mampu melewati ini semua. Dan bagaimana para penduduknya melewatinya. Jika noktah-noktah hijau itu terus membesar, atau setidaknya bertahan, insya Allah, kebaikan yang mereka lakukan itu itu akan membawa rahmat bagi seisi alam. Tetapi, jika tidak, barangkali beberapa puluh tahun lagi, kita akan berdiri di sini untuk menyaksikan mereka menemui kehancuran.”
Tanganku bergetar. Dan lidahku mendadak kelu. Sempat terpikirkan olehku untuk mengakhiri saja semua ini. Tetapi, aku khawatir kalau noktah-noktah hijau itu juga akan berhenti saat aku mengakhirinya. Toh Sang Maha Penguasa Alam telah mengijinkannya terlaksana. Bahkan efeknya jauh melampaui ekspektasiku. Lantas, mengapa kini aku dilanda gamang, saat menyaksikan begitu banyak kematian? Bukankah setiap yang bernyawa akan mati? Dan bukankah kelak jika Sang Maha Penggenggam Nyawa menghendaki, Dia akan mengganti mereka dengan kehadiran umat yang baru?
Tanganku menyambar gawai. Jemariku bergerak lincah diatas keypadnya, menuliskan kode perintah bahwa aku akan melakukan pesan suara.
“Memangnya, kau mau menyampaikan apa? Dan kepada siapa?” Dia bertanya saat aku sudah bersiap-siap didepan perekam suara pada gawaiku.
“Aku ingin menyampaikan kepada mereka, melalui suara-suara para orang alim dan pendidik yang ihsan, kepada generasi-generasi yang akan datang dan generasi baik yang masih tersisa, tentang makna rahmatal lil alamin yang sesungguhnya. Aku tidak ingin lagi mereka salah memahami, keliru dalam melaksanakan, sehingga alih-alih rahmat itu akan mendekat, justru berpaling dan lari jauh meninggalkan mereka.”
“Baiklah. Selamat melakukannya. Semoga pesanmu akan sampai kepada mereka yang siap menerimanya, siap pula melaksanakannya. Aku pergi dulu.” Dan dia meninggalkanku. Misinya sudah selesai.
oOo
Pagi itu, sebuah pesan yang cukup panjang beredar melalui lintasan-lintasan komunikasi virtual, di sebuah negeri nan subur dan jumlah penduduk muslimnya terbesar di muka bumi. Beredar begitu cepat dan masif, hingga dalam tempo sekejap mata, segera menjadi viral. Beginilah kira-kira bunyi pesannya.
“Segala peristiwa, termasuk musibah dan bencana, hanya akan terjadi atas kehendakNya. Namun, menjadikan agama ini rahmatal lil alamin, rahmat bagi semesta alam, haruslah kita perjuangkan bersama-sama. Dalam apapun kondisinya. Tidak ada rahmat tanpa bersandar pada syariat. Oleh karenanya, segala yang kita pikirkan dan lakukan, syariatlah landasannya. Toleransi yang penuh rahmat, bukanlah toleransi yang membabi buta hingga mengabaikan akidah, tetapi toleransi yang berlandaskan syariat. Menjadi umat yang berhati lembut dan pengasih, bukan berarti melunak terhadap pelanggaran syariat. Menegakkan hukum dan aturan, juga harus berpegang pada syariat. Tidak sekadar mengandalkan logika, apalagi mencocok-cocokkan dengan aturan manusia. Dan ingatlah, rahmat bukanlah paksaan. Jangan berdakwah dengan memaksa, tetapi berdakwahlah dengan sikap, dengan perbuatan, dengan perkataan yang selalu terjaga dalam taqwa.“
Pesan itu, dalam sekejap menuai banyak silang pendapat. Dan berjuta tanda tanya. Orang-orang yang tengah dilanda pandemi itu, saling berusaha mengkonfirmasi kebenaran.
Siapa sang pengirim pesan?
Mengapa tidak tercantum nama sumbernya?
Apa hubungannya dengan ujian yang tengah mereka hadapi?
Jangan-jangan, ini hanya hoax? Seperti juga banyak kabar lainnya yang selama ini beredar di gawai-gawai.
Sementara itu, nun di sebuah negeri di padang pasir, noktah-noktah hijau itu telah meluber, memenuhi seisi negeri. Tidak ada ketakutan di negeri itu. Meski darah syuhada membanjir di setiap sudutnya. Dan letusan senjata mewarnai hari-hari mereka. Negeri para Nabi. Negeri bergelimang rahmatal lil alamin.
SELESAI
Seperti membaca hitam dan putih ya? Tinggi dan rendah. Begitu kontras, begitu nyata. Idenya keren.
Btw, aku dan dia itu siapa ya? Alien hijau? 😁😁