“Bunda, Panji ke masjid dulu ya,” ucap Panji sambil mencium tangan ibunya.
“Hati-hati ya! Di masjid, kamu jangan bercanda dan jangan ngobrol kalau khatib sedang ceramah.“
“Siap Bunda.”
Ternyata teman-teman Panji seperti Apri, Andre, Ahmad sudah menunggu di teras rumah. Mereka berempat pun berjalan menuju masjid dengan riang gembira.
Seperti di Jumat-Jumat sebelumnya, Panji ingin salat di lantai bawah agar bisa menuruti nasihat bundanya. Tapi bocah berambut agak ikal itu tidak bisa berkutik karena Apri yang badannya paling bongsor mengajak Andre, Ahmad dan dirinya salat Jumat di lantai atas.
“Salat Jumat di lantai bawah apa enaknya sih? Kita ngobrol sedikit saja pasti ada Pak Karso yang kumisnya lebar, badannya besar, mengkode agar kita diam seperti patung. Huh!“ tukas Apri sambil menarik lengan Panji menuju lantai atas.
Kebebasan secara mutlak mereka berempat hanya mereka dapat ketika tiba saatnya salat Jumat. Di saat jamaah lain salat, mereka berempat akan bertingkah semaunya. Sebenarnya, Panji ingin berubah, ingin salat khusyu seperti jamaah lainnya. Tapi pasti Apri akan mengancam tidak akan berteman.
Saat takbiratul ikhrom, mereka berempat pura-pura bertakbir. Tapi setelah ruku, Apri naik-turun tangga, Andre dan Ahmad main pukul-pukulan seperti petinju yang sedang bertanding. Panji seperti biasa membuntuti Apri, naik-turun tangga masjid. Mereka berempat melakukan hal tersebut hingga tahiyat akhir. Begitu terdengar salam dari imam salat jumat, Panji dan teman-temannya akan lari menuju rumah masing-masing.
Karena perutnya melilit, Panji pergi ke toilet untuk buang hajat.
Selesai dari toilet, ketiga temannya sudah tidak di halaman masjid. Masjid sudah agak sepi. Para pengurus masjid nampak berkumpul membentuk lingkaran, seperti biasanya sedang mengumpulkan dan menghitung uang dari kotak infak.
Panji melihat Oom Agus dan putranya yang katanya mondok di daerah Kuningan, Jawa Barat. Putra Om Agus itu bernama Rizki, usianya sepantaran dengan Panji.
“Oom, tangan Rizki kenapa? Kok digips ?” tanya Panji penasaran melihat tangan Rizki yang terbalut gips.
“Ooh, kata pengurus pondok, saat hendak beli sesuatu di pasar dekat pondok, Rizki tak hati-hati dan sepedanya disrempet motor dengan kecepatan lumayan tinggi,” jawab Om Agus. “Gara-gara kecelakaan tersebut, mondoknya libur dulu sampai dia sembuh.”
“Insyaallah nanti jika sembuh, saya berangkat ke Kuningan lagi. Doain ya agar cepat sembuh,“ tukas Rizki.
Panji menganggukkan kepala sambil tersenyum
“Eh, kenapa nggak salat di rumah saja. Kalau ada halangan katanya bisa,“ celetuk Panji.
“Hmm… Abdullah bin Ummi Maktum yang matanya tidak bisa melihat saja salat jamaahnya selalu di masjid. Masa’ saya yang matanya sehat, malas salat Jumat di masjid. Lagian kan ada ayah yang selalu ada untuk anaknya yang ganteng ini. Hehe,“ pungkas Rizki sembari tersenyum.
Jawaban itu membuat muka Panji memanas. Mungkin warnanya seperti kepiting rebus. Rizki yang sedang sakit saja masih rajin ke masjid, dan dia tidak berisik seperti dirinya dan teman-teman. Dalam hati, Panji berjanji tidak akan bercanda, tak akan lalai salat Jumat lagi. Insyaallah .
Penulis : Sutono Adiwerna. Penulis cerita anak tinggal di Tegal
terimakasih kakak kakak Filmi. Barakallah ya