Aku memanggil setan, bernegosiasi, dan meminta perlindungannya. Karena pilihan hidup tidak selalu mudah.
Tujuh malam yang lalu, langit sudah pekat seperti kain hitam. Suara tidak satupun terdengar, meski di emperan pertokoan lah aku bersandar. Kecuali suara dari perutku, yang menurut kata orang-orang, seperti keroncong.
Sorenya aku baru saja meninggalkan putri semata wayangku, satu-satunya cinderamata istriku yang telah berpulang duluan, di depan pintu asuhan. Aku tanpa selembar dan sekoin pun uang. Maka kupikir itulah satu-satunya jalan penyelamatan yang terbaik yang dapat kuberikan pada putriku. Setidaknya aku tidak seperti orang-orang dalam berita yang menghabisi anaknya.
Tidak satupun manusia berada di sekitarku malam itu. Bahkan para penghuni toko tak sudi melongokkan kepala mereka.
Sepertinya hanya makhluk halus yang bersedia bicara denganku.
Maka entah darimana pikiran itu datang, mulutku pun mengucap nama Melchom. Nama setan pemilik gudang kekayaan itu pernah kubaca di masa lalu dalam sebuah dokumen. Namun di waktu yang sama saat dokumen itu kubaca, rekan kerjaku dulu, ketika uang masih menyayangiku, ikut membacanya. Temanku itu, yang rajin sekali beribadah sehingga aku heran bagaimana ia masih sempat mengumpulkan kekayaan, lalu berkomentar, “Jangan sekali-sekali berurusan dengan setan, kawan. Mereka bukan makhluk yang dapat dipercaya.” Temanku kemudian mengambil dokumen kusam itu, melipatnya dua kali, dan merobeknya, dan menyulut sobekan-sobekannya dengan api rokok merek favorit kami.
Aku tidak pernah lagi ingat nama Melchom hingga malam itu. Dan ia datang, setelah tiga kali namanya kuucapkan, begitu saja dari udara kosong di depanku seolah sejak tadi ia telah berdiri di sana tapi tertutup tirai transparan.
“Salam, manusia. Ada yang kau butuhkan dariku?”
Mataku berkedip sedangkan mulutku ternganga. Dalam imajinasiku, setan berpenampilan mengerikan: bertanduk, bertaring, dan berdarah. Namun Melchom tampak seperti seorang eksekutif muda yang baru saja melakukan presentasi dengan kemeja dan jasnya. Sopan dan elegan.
“Aku lapar,” jawaban pertama yang kuberikan, diikuti senyum tipis Melchom, tapi cepat-cepat aku menggantinya begitu sadar saat itu mungkin kesempatan pertama dan terakhirku memanggil setan itu. “Berikan aku kekayaan.”
Melchom terdiam sejenak, lalu berkata, “Tentu kau tahu setiap permintaan yang dikabulkan memiliki harga.”
Sudah kuduga. “Apa yang kau minta? Sebutkan saja.” Sebenarnya aku sudah tidak punya apa-apa, tapi kupikir setan tentu tidak menginginkan sesuatu seperti uang.
“Setengah umurmu yang tersisa.”
“Baik. Ambillah.” Kemelaratan sudah begitu membungkusku sehingga umur panjang sudah tidak ada gunanya.
“Terima kasih, tetapi masih ada lagi.” Senyum setan itu semakin lebar.
Inilah yang kukhawatirkan. Setan itu serakah. “Apa lagi?”
“Umur orang tersayangmu.” Gigi Melchom yang tersusun rapi kini tampak jelas.
“Maaf, Melchom. Aku tidak bisa memberikannya.” Aku harus tegas untuk hal satu itu. Jantungku berdegup kencang karena negosiasi itu.
“Oh, baiklah. Bisa dimengerti.” Aku bersyukur karena setan itu ternyata tidak memaksa.
“Berarti aku tidak bisa memenuhi permintaanmu sekarang, dan harga nyawamu yang telah kuambil tidak dapat kukembalikan.”
Hatiku serasa copot. Meski umurku sudah tidak penting lagi, aku masih ingin tetap hidup. Karena itulah aku memanggil Melchom. Aku memberanikan diri menantangnya, “Lalu bagaimana? Setan terhormat sepertimu tidak merampok dari manusia kan?”
Senyuman hilang dari wajah Melchom, berganti mimik serius. “Aku bisa memberimu kesempatan. Aku akan meminjamkan sejumlah uang untukmu, ada harganya tentu saja, tapi tidak perlu kau pikirkan sekarang. Tapi dengan uang yang kupinjamkan, kau tidak boleh membeli dan memakan nasi, dan tepung, dan roti, dan jagung, dan ubi. Malam ketujuh dari sekarang, kita akan bertemu lagi, dan aku akan melihat apakah kau layak mendapat kekayaan.”
Aku curiga dengan persyaratan Melchom, tapi kemelaratan menjadikan kesepakatan itu terdengar bagus. Maka aku menyetujuinya, “Baik. Kuharap kau menepati janjimu.”
Masih dengan mimik serius, Melchom membalas, “Aku selalu menepati janjiku, manusia.” Dan ia lenyap begitu saja.
Dan inilah malam yang dijanjikan. Selama tujuh hari aku menggunakan uang yang cukup diberikan oleh Melchom untuk membeli makanan berupa buah-buahan, dan menyewa penginapan.
Di dalam kamar yang harum ini, Melchom tiba-tiba saja muncul seolah ia telah berada di sini sejak lama. “Terasa menyenangkan memiliki uang kembali, manusia?”
Dengan dada membusung, aku menjawabnya, “Kau tahu bukan hanya ini yang kuminta.”
“Ah, tentu saja. Kalau begitu, kita langsung saja ke harga pinjamannya.”
“Sebutkan.”
“Seluruh umurmu yang tersisa.”
Aku terkejut. “Bukan seperti ini kesepakatannya!”
“Memang begini, manusia.” Melchom tersenyum lebar. “Kau memenuhi persyaratanku, maka aku akan mengabulkan permintaanmu. Tapi pinjaman selalu memiliki harga, dan aku hanya mengambilnya darimu.”
Seketika itu juga, napasku terasa berat seolah ada yang menariknya dari saluran pernapasan. Namun aku masih mampu mengutuk Melchom.
Tetapi, apa gunanya? Sejak dulu sekali, setan memang terkutuk.
Selesai
Sumber inspirasi: Al Baqarah ayat 168-169