Ketika Rukuk Menyapa Sekuntum Rembulan

0
150

Sebuah Percakapan dan Sekuntum Rembulan

/I/
Di bawah matahari yang berdebu
Rindu hanya tinggal nama
Menyisakan kejayaan ditelan ombak sejarah
Di sepanjang garis pantai yang bisu
Diam-diam tsunami kita rancang bersama
O, Indonesia yang beku!

Dalam buku-buku waktu, pada daun-daun masa lalu
Orang-orang mengenal senyuman kita
Dari Sabang hingga Merauke
harum kesantunan menetes dari setiap langkah
Wahai Nusantara yang mulia!

Pulau-pulau hijau, mengepulkan kebencian
Hutan-hutan biru, disapu angin kematian
Pada matahari yang terbakar
Kita kehilangan cahaya nalar

Siapakah yang menyalakan api
Jangan tiup dan membiarkannya membesar

/II/
Suatu pagi kita terjaga dari mimpi
Ketika burung-burung menyusun aneka nyanyi
Dan mengepak ke jantung hari
Inilah awal bagi pohon-pohon
Tunas-tunas mencuat. akar-akar menguat
Segala panas diredam jadi tenaga
Segenap makar mencair seketika
Suatu malam mata enggan terpejam
Kita menatap langit yang sama
Lalu sekuntum rembulan menyala
Bintang-bintang kembali digdaya
Duhai Tanah Air yang kusayang!

Pukulan-pukulan akhirnya meleleh dalam percakapan
Gegap kesumat lalu pecah dalam jabat tangan
Siapakah yang menorehkan api
Kita nyalakan suluh dan bergerak dalam harapan.

Lamongan, April 2018

Ketika Rukuk

Ketika rukuk
segala gerak dikunci
pada satu makna
kebodohan dan sejarah lenyap dalam sunyi
ketika rukuk
aku kehilangan diri

ketika rukuk
kesombongan menjadi luka
dan rasa sakit tak lagi butuh nama

ketika rukuk
tak ada lagi beda
antara bumi dan matahari

Bogor, 2014

Hujan dan Rindu

hujan menyelamatkan rindu
yang tak pernah kau kenali
rasa sayang harus kembali ke benak gerimis
sebelum dingin memusuhi rasa sakit

ketika duka coba ditulis
masa depan tiba-tiba pecah
seperti kenangan yang mengiris-iris
seperti luka yang tak mungkin sembuh oleh tangis

hujan mempertegas sunyi
sehingga rindu harus kembali dimaknai
setelah kata-kata mandul
dan segenap bahasa menjadi tumpul

kerinduan yang lumpuh
dan kehangatan semu
akhirnya harus luruh. mengalir
dalam bening sungai bernama puisi
hanyut dalam hening kepak kupu-kupu yang terus bertasbih

hujan mengantarkan rindu
pulang ke makna terdalam
tentang cinta kepada sirah paling harum
tentang kisah yang membasahi semesta
lewat embun pada dedaun

hujan dan rindu saling menguatkan
seperti laut yang membutuhkan jarak
agar ia bisa disebut samudera

Gelap Bersemi

gelap bersemi
mencengkeram semesta begitu sunyi
ketika matahari pamit
menyisakan setitik nur tanpa bunyi
hanya daun-daun yang bertasbih
hanya pepohonan yang rukuk
mengaburkan kebiadaban kita yang canggih

genaplah ini nyeri
lalu karam kata-kata dalam nyanyi
saat bumi sakit
sebab kita terus bersembunyi
pada apa yang kita baca
namun tak pernah kita pahami

lelap di bumi
lelap ini hati
ketika matahari pupus
ketika cahaya perlahan mampus.


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here