Aku dan Dendi – Cerita Anak

0
80

Bel pulang sekolah berbunyi. Siang yang cerah, matahari bersinar dengan terik. Anak-anak kelas 4 berhamburan keluar kelas. Teman-teman menuruni tangga lantai dua tempatku belajar, saling berdesakan untuk berebut sampai di tempat parkiran sepeda duluan. Ingin segera pulang ke rumah masing-masing.

Tapi, ada pemandangan yang tak biasa. Siang itu teman kami, Dendi, tidak beranjak dari tempat duduknya seperti teman-teman yang lain. Kuhampiri Dendi yang masih duduk sendiri di bangkunya.

“Dendi, kamu kenapa tidak pulang?” Aku mendekati Dendi yang duduk sendirian.
“Iya, Maher. Aku nunggu jemputan.
“Oh, kalau begitu ayo kita turun bareng. Nunggu jemputannya di bawah saja.” Kuajak Dendi untuk turun bersamaku.
“Tidak bisa Maher. Punggungku sakit. Aku harus digendong untuk turun.”

Aku terkesiap. Rupanya Dendi tidak bisa turun sendiri, bahkan berjalan pun dia harus digendong.
“Maaf, tadi aku tidak tahu waktu kamu masuk kelas. Aku kira kamu berjalan sendiri ke kelas tadi.” Aku benar-benar kaget mendengar jawaban Dendi tentang sakitnya.

“Aku kemarin jatuh Maher, dan punggungku sakit. Tapi sudah berobat kok.” Senyum tegar Dendi menenangkanku. Dendi tidak cengeng. Aku salut sekali padanya. Akhirnya aku menemani Dendi sampai ibunya datang menjemput.

Dua minggu berselang, Dendi tak kunjung bisa berjalan sendiri. Kami bergantian membantu Dendi Ketika dia mau ke kamar mandi atau ingin jajan. Biasanya dia titip belikan jajanan kesukaannya pada jam istirahat. Kami tak keberatan karena Dendi teman kami dari kelas satu. Kami sekelas sudah dekat dengannya. Tentu saja kami merasa iba melihat kondisi Dendi seperti sekarang.

Suatu hari ada pelajaran olah raga dan Dendi hanya bisa melihat kami dari lantai dua. Kami asik bermain bola. Suasana riuh saat salah satu dari kami berhasil mencetak gol ke gawang lawan. Dendi terlihat murung, mungkin ingin juga Dendi ikut bermain di lapangan bersama kami.

Aku melirik ke arah Maki sambil melihat ke arah Dendi. Maki tahu apa yang kumaksud kemudian kami berdua berlari menaiki tangga menuju tempat Dendi. Tanpa bertanya, aku dan Maki langsung memapah Dendi untuk mengajaknya turun. Dendi awalnya terkejut, namun kemudian mengikuti ajakan kami. Dia duduk di dekat lapangan. Sesekali kami melemparkan bola ke arahnya. Dia akan menyundul atau melemparkan kembali ke lapangan. Wajahnya tak lagi suram. Gelaknya kadang pecah dan kami merasa lebih bahagia karena semua teman kami bisa bermain bersama tanpa kecuali.

Hari-hari berikutnya kami sudah terbiasa dengan Dendi yang tidak bisa melakukan banyak hal seperti kami yang bebas berlari ke sana ke mari. Tapi kami semua bergantian menemaninya. Jadi, dia tidak merasa kesepian. Bu Mala selalu menekankan pada kami bahwa Dendi adalah bagian dari kami. Tidak boleh membiarkan Dendi sendirian. Kami pun mengiyakan nasihat Bu Mala tersebut.

Hari itu aku harus pulang lebih cepat. Ibuku akan berkunjung ke rumah Mbah dan aku harus ikut karena barang bawaannya cukup banyak. Sebelum pulang, aku sudah berpesan pada Maki kalau aku tidak bisa menemani Dendi sampai ibunya menjemput. Maki mengangguk dan aku dengan langkah ringan pulang terlebih dahulu. Pikirku Maki sudah mengerti. Sore itu gerimis turun dan aku dengan ibu tetap pergi ke rumah mbah. Tak ada pikiran buruk waktu itu.

Keesokan harinya, waktu masuk kelas, teman-temanku diam duduk di kursi masing-masing. Kusapu pandangan ke seluruh ruangan. Tak ada suara gaduh seperti biasanya ketika bel masuk belum berdentang. Semua seperti patung. Kuangsur langkahku menuju meja Dendi karena kulihat kursinya kosong padahal bel masuk segera berbunyi.

“Di mana Dendi?” Aku tanya entah pada siapa. Tak satu pun teman yang menjawab pertanyaanku. Kutatap Maki yang menunduk. Tatapku menyelidik.
“Maki, jawab.” Firasatku ada yang terjadi kemarin sewaktu aku pulang duluan.

“Den…. Dendi kemarin jatuh.” Lututku lemas sepreti engselnya copot. Aku terduduk. Ada yang mendesak-desak di dalam dadaku. Sesak. Kepalaku seolah berputar membayangkan tubuh lemah Dendi jatuh berguling-guling dari tangga sampai bawah. Mataku memanas.
“Maafkan aku Maher. Kemarin itu aku buru-buru pulang. Ternyata Dendi jemputannya telat dan dia turun sendiri karena di atas sudah tidak ada temannya.

Aku tergugu, punggungku terguncang. Beberapa temanku mendekat untuk menenangkanku. Ingin sekali kuputar hari itu. Tak kan kubiarkan Dendi sendirian. Aku akan izin pada ibu untuk menemani Dendi sampai jemputan datang. Tapi semua itu tak mungkin terjadi. Nyatanya, sekarang Dendi tidak masuk sekolah dan aku tak tahu bagaimana kondisinya. Membayangkan pun aku tak mampu.

Setelah kejadian itu, hubunganku dan Maki merenggang. Ada rasa tidak suka dan aku beranggapan kalau Dendi bertambah sakit karena Maki. Setiap kali berpapasan dengan Maki aku akan membuang muka. Tidak bisa aku menutupi rasa kecewa atas peristiwa itu.
Sudah dua hari Dendi tak juga terlihat masuk sekolah. Aku ingin menjenguk ke rumahnya. Kuajak Ranti, Doni, dan Rina. Mereka juga ingin sekali bertemu dengan Dendi. Sengaja aku tidak mengajak semua temanku karena aku tidak mau pergi Bersama Maki.

Kami berempat bersepeda ke rumah Dendi. Sampai di rumahnya, kami memasuki pekarangan yang asri. Warna-warni bunga dan tanaman hias yang ditanam dalam pot. Halaman pun hijau ditumbuhi rumput jepang yang rapi. Pagarnya dari bahan kayu tak begitu tinggi. Kami bisa melihat dengan jelas rumah Dendi dari luar pagar.

Kami duduk di teras setelah beberapa kali mengetuk pintu namun tak ada jawaban. Tak berselang lama, datang sebuah mobill mendekat kemudian memasuki halaman rumah. Jantungku berdegup kencang, tubuhku terasa menggigil. Kulihat wajah teman-teman pucat.

Pintu mobil dibuka. Ibu Dendi turun dengan memapah Dendi yan terlihat lemah. Di belakangnya Maki menyusul turun dari mobil itu. Kami berhamburan mendekat.

“Tante..”
“Iya, Dendi sudah apa-apa kok. Minggu depan Dendi akan operasi. Doakan ya semoga lancer dan Dendi bisa bersekolah lagi.” Ibu Dendi mengajak kami masuk ke dalam rumah. Aku memandang ke arah Maki dan kami saling melempar senyum.

Ternyata Maki lebih dulu menjenguk Dendi bahkan ikut mengantarkannya ke rumah sakit. Hari itu juga, aku memutuskan untuk memafkan Maki.


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here