Dimsum Kentang

2
110

Nadia tersenyum puas. Kreasi kue buatannya sudah jadi. Dimsum kentang!
Nadia memang suka sekali memasak. Tak rugi pagi-pagi tadi ia ikut Ibu berbelanja. Ia membeli kentang, kulit pangsit, dan bumbu krispi. Sampai rumah ia minta izin ibu memakai dapur. Ia langsung mencuci kentang dan mengukusnya hingga lunak. Kentang kukus dikupas kulitnya, lalu ditumbuk hingga lumat sambil dicampur dengan bumbu krispi dan garam. Setelah itu dibungkus sedikit demi sedikit dengan kulit pangsit hingga bentuknya menyerupai dimsum yang biasa dijual di toko kue. Kemudian digoreng.

Hmm, membayangkan dimsum kentang itu dimakan dengan saus membuat Nadia menelan liur. Tetapi Nadia ingin ayahlah yang mencicipi kue itu untuk kali pertama. Kebetulan ayah Nadia sudah seminggu ini ke luar kota dalam rangka pekerjaan. Rencananya hari ini pulang. Nadia ingin membuat sedikit kejutan untuk ayah. Selama ini ayah begitu baik kepadanya. Ayah selalu membelikannya buah tangan sepulang bepergian.

“Ibu, Nadia mandi dulu, ya,” kata Nadia sambil menaruh kue buatannya di meja makan dan menutupinya dengan tudung saji.
“Dapur sudah bersih? Peralatan memasak sudah dicuci?” tanya Ibu sambil masih sibuk menjahit baju Nadia yang sobek.
“Sudah, Bu. Nadia ingin kelihatan cantik dan bersih saat ayah pulang nanti,” jawab Nadia.
“Oke, Nadia,” sahut Ibu sambil tersenyum.

Nadia buru-buru menyambar handuk dan ke kamar mandi. Segar sekali rasanya mandi setelah memasak di dapur. Bau minyak langsung rontok oleh sabun dan air.
Selesai Nadia mandi, rumah sudah ramai. Oh, rupanya beberapa sepupu Nadia datang. Ada Mai dan Bram, anak Tante Nia, serta Nana dan Oki, anaknya Tante Murni. Mereka sedang asyik bermain di ruang keluarga. Seperti biasa, mereka akan menyerbu kotak berisi mainan. Mereka memang sering berkunjung ke rumah Nadia saat libur begini bersama ibu mereka.

Nadia menjemur handuk basah di belakang lalu buru-buru melangkah ke kamar hendak sisiran.
“Halo Kak Nadia, kuenya enak! Masih hangat,” sapa Oki senang, lalu melanjutkan keasyikannya bermain.
Glek. Langkah Nadia terhenti seketika. Ia memperhatikan apa yang dipegang Oki, Mai, Bram, dan Nana. Astaga! Dimsum kentang itu!
“Ibuuu!” seru Nadia seketika. Mukanya pucat pasi.
“Ada apa, Kak? Bude masih mengobrol di teras bersama bundaku dan bundanya Nana,” jawab Mai.

Nadia buru-buru menghampiri meja makan, lalu membuka tudung saji tempat ia tadi menaruh kue buatannya itu. Piringnya kosong!
Seketika Nadia terduduk lemas. Matanya berkaca-kaca.
“Ada apa, sih, Kak?” tanya Mai sambil bangkit.
“Kue itu … itu buat Ayahku,” sahut Nadia terbata-bata.
“Hah? Ya Allah! Kami telanjur memakannya!” balas Mai sambil menutup mulut. Ia merasa bersalah.

Nana ikut menghampiri, sementara Bram dan Oki masih asyik bermain.
“Kak Nad, maafkan, kami tak tahu. Kami tadi soalnya habis berenang. Lapar banget. Kami kira kue itu boleh dimakan siapa saja seperti biasanya. Apalagi Oki dan Bram tuh, habis banyak!” imbuh Nana penuh sesal.
“Enggaklah, banyaknya sama dengan Kak Nana,” protes Bram.
“Iya, kita semua bersalah karena memakan kue itu tanpa izin,” kata Mai.

Nadia terdiam. Ia bingung, padahal sebentar lagi ayah akan pulang, sekitar jam 11 siang. Jadi sekitar satu jam lagi. Apa yang ia siapkan untuk menyambut Ayah telah habis tak berbekas.
“Kak … masih ada bahannya, enggak?” tanya Nana tiba-tiba.
Nadia mengangguk lesu.
“Bagaimana kalau, Kakak bikin lagi, tetapi kami semua bantu, Kak, biar cepat,” usul Nana.
“Memang kalian bisa bantu?” tanya Nadia tak yakin.
“Ah, Kak Nadia kok enggak percaya. Aku sudah bisa menggoreng telur sendiri,” kata Nana.
“Aku bisa masak nasi,” sahut Mai.
“Oki biasa bantu Mama cuci piring,” tambah Oki.
“Bram bagian mengaduk-aduk kalau Bunda bikin kue,” imbuh Bram.

“Oh, oke! Ayo!” sahut Nadia. Tiba-tiba ia merasa bersemangat.
Mereka berlima pun segera ke belakang. Karena dapurnya tak besar, maka meja di teras belakang dipakai juga untuk memasak.
“Bikin yang agak banyak, Kak, biar kita semua puas makannya,” pinta Oki.
“Lho, katanya buat Ayahku,” sahut Nadia.
“Kan banyak, Kak. Ayahnya Kak Nadia makan beberapa saja pasti kenyang. Nah sisanya bisa buat kita semua,” jawab Oki senang.
“Oki modus deh, enggak ada kenyangnya, ” celetuk Nana.
“Oh, baiklah,” kata Nadia sambil tertawa.

Setelah kentang dikukus hingga lunak, mulailah mereka bekerja cepat. Nadia sibuk membagi tugas. Oki dan Bram bagian menumbuk dan mencampur bumbu. Setelah selesai, Mai dan Nana bagian memasukkan isian kentang ke dalam kulit pangsit dan membentuknya. Nadia segera memasukkanya ke dalam wajan penggorengan. Sambil bekerja, mereka bergantian mencuci peralatan memasak.
“Asalamualaikum!”
Anak-anak serentak menoleh.
“Ayah!” seru Nadia senang. Buru-buru ia menghambur memeluk ayah. Rindu sekali seminggu ini tak bertemu ayah. Sementara itu Mai mengambil alih tugas menggoreng Nadia agar tak gosong.

“Mana jawaban salamnya?” tanya ayah mengingatkan sambil masih dipeluk Nadia.
“Waalaikumsalam!” Anak-anak serentak menjawab.
“Wah, Pakde baru datang, pasti masih lelah,” kata Nana. “Ajak ke depan dulu, Kak Nadia, sambil dibuatkan minuman.”
“Tenang, Pakde sudah minum, Nana. Pakde penasaran saja, kenapa di ruang tengah sepi dan di belakang ramai? Sedang apa, sih? Memasak sama-sama? Masak apa?” tanya Ayah penasaran.
“Eits! Ayah tunggu di ruang tengah, ya!” pinta Nadia sambil mengedipkan mata ke sepupu-sepupunya. Ia segera menarik tangan ayahnya. Jangan sampai Ayah masuk ke dapur. Ayah diajaknya duduk di depan televisi sambil disuguhi minuman.

Beberapa saat kemudian dari arah belakang …
“Selamat datang kembali, Pakde!”
Ayahnya Nadia tampak kaget.
“Ayah, ayo cicipi dimsum kentang buatan kami semua,” kata Nadia gembira.
“Wah! Pasti lezat! Baunya saja sudah harum sedari tadi,” balas Ayah sambil mengambil piring berisi saus dan kentang yang disodorkan Nadia kepadanya.
Ibu, Tante Nia, dan Tante Murni ikut masuk.
“Tadi pagi-pagi Chef Nadia sudah sibuk sendiri di dapur untuk memasakkan Ayah,” kata Ibu riang.
“Tetapi ini hasil masakan kami semua, Bu. Kue yang tadi Nadia masak sendiri, dihabiskan mereka,” kata Nadia sambil menunjuk ke arah sepupu-sepupunya. “Jadi ini hasil memasak ulang.”
“Oh, jadi kalian memasak bersama. Bagus. Belajar dari Nadia,” puji Tante Nia.
“Enak!” puji Ayah.
“Nah, karena memasaknya ramai-ramai dan Pakde udah mencicipi, sekarang giliran kami mencicipi juga, ya,” pinta Oki.
“Oki oh, Oki!” sahut Nana sambil tertawa.
“Ayo serbu!” imbuh Bram.
Mereka tertawa mendengarnya.
“Sebelum mulai, jangan lupa baca sama-sama doa sebelum makan,” pinta Nadia.
“Allahumma bariklana fimaa rozaktanaa wakina adza bannaar.”


2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here