Pukul Sembilan Malam

10
236

Waktu di layar ponselku sudah menunjukkan pukul delapan malam. Aula Asrama Sylvasari–tempatku tinggal–sudah mulai ramai oleh penghuni asrama, baik laki-laki maupun perempuan. Asrama ini memang campuran, penghuninya adalah mahasiswa Fakultas Kehutanan. Walau bercampur dan berada di satu lingkungan, tapi gedung asrama laki-laki dan perempuan terpisah. Aula inilah yang menjadi pembatas sekaligus penghubung keduanya.

Malam ini semua penghuni asrama berkumpul untuk rapat darurat. Menurut info yang beredar rapat kali ini sangat penting dan genting. Dalam sepekan terakhir, sudah ada dua laporan yang sifatnya siaga satu bagi seluruh penghuni asrama.

Dua perempuan penghuni Sylvasari melaporkan telah mengalami pelecehan di jalan dekat asrama. Tepatnya di Jalan Pinus. Jalanan sepi yang sisi kanan kirinya ditumbuhi pohon pinus. Indah di siang hari namun menyeramkan ketika malam tiba.

Aku juga tak begitu paham pelecehan seperti apa yang dimaksud. Aku tak mau membayangkan apa yang sebenarnya terjadi pada mereka berdua. Saat ini, aku hanya perlu menyimak arahan dari pimpinan rapat nanti.

Seperti yang sudah-sudah, rapat yang dijanjikan dimulai pukul delapan malam ini belum dimulai juga. Kata para petinggi asrama, rapat akan dimulai kalau Bang Hendri sudah datang.

”Aish, senior itu lagi.” Aku menggerutu dalam hati.

Bang Hendri, senior absurd yang super sengklek itu memang selalu cari masalah. Dulu, aku pernah kena semprot kata-kata pedas level gilanya saat tak sengaja lewat begitu saja di depannya tanpa permisi.

Katanya, aku junior angkuh dan tidak tahu sopan santun. Padahal waktu itu aku benar-benar tidak melihat ada orang yang sedang duduk di depan asrama. Suasana sore di halaman asrama yang rindang ditambah mendung kala itu, membuat tubuh gelap senior gila hormat itu berhasil tersamarkan. Jadilah aku si penghuni baru harus menjalani ospek asrama berkepanjangan.

Sylvasari ini memang berbeda dan unik. Setiap orang yang ingin menjadi penghuninya harus melalui proses seleksi. Syarat mutlak yang harus dimiliki setiap penghuni adalah berasal dari Fakultas Kehutanan. Bagi siapa saja yang berhasil lolos akan mendapatkan fasilitas gratis biaya sewa dan ditambah gratis sarapan dan makan malam setiap week day.

Dengan tawaran seperti itu tentu saja menarik banyak mahasiswa Fakultas Kehutanan yang kebanyakannya mahasiswa rantauan. Tapi, tidak semua orang tertarik untuk jadi penghuni asrama ini. Biasanya, hanya orang-orang dengan keterbatasan ekonomi atau perhitungan macam aku ini yang berminat mendaftar. Lokasinya yang ada di dalam kampus dan terletak di balik rimbunnya pohon-pohon pinus, membuat sebagian orang yang tak suka keheningan merasa enggan mampir ke tempat ini.

“Bisa diam nggak, semuanya?”

Sebuah suara menggelegar mengejutkan aku dan juga semua orang yang ada di aula. Suara yang sudah jelas berasal dari mana. Suara yang berhasil membungkam dengungan lebah yang keluar dari mulut-mulut kami si penghuni asrama.

“Kita sudah di status siaga satu. Bahaya sedang mengintai penghuni Sylvasari, terutama penghuni putri,” ucap Bang Hendri berapi-api. “Bisa nggak kalian diam sebentar supaya kita bisa mulai rapat yang udah ngaret banget ini.”

“Laaah, yang bikin telat siapa coba??? Ah, iya. Lupa. Senior memang selalu benar.” Lagi-lagi aku menggerutu dalam hati.

“Kita harus meningkatkan keamanan. Harus saling jaga antar penghuni,“ kata Bang Hendri masih dengan kegarangannya tapi sudah mulai melunak sedikit.

“Mulai malam ini, telah diberlakukan aturan jam malam di Sylvasari.”

Kalimat itu disambut dengan sorakan serempak dari seluruh penghuni. Mereka menyayangkan keputusan itu karena dianggap akan membatasi gerak. Aku pribadi tidak ambil pusing dengan aturan itu. Toh selama ini aku memang tak pernah keluar sehabis magrib.

“Jam malam yang ditentukan adalah pukul sembilan. Diusahakan agar sebelum jam sembilan semua penghuni sudah ada di asrama. Lewat dari jam itu? Mending jangan pulang sekalian!”

“Bang, gimana kalau ada kegiatan yang harus banget maksa kita pulang setelah jam sembilan? Misal kuliah pengganti atau praktikum?” tanya laki-laki berkacamata yang sepertinya tipe mahasiswa rajin.

“Boleh, silakan. Asal konfirmasi, bilang ke gue dulu. Tapi ini hanya untuk urusan akademik. Selain itu? BIG NO! Balik sebelum jam sembilan,” titah Bang Hendri.

Suasana menjadi tidak kondusif. Dengungan lebah mulai terdengar lagi. Semua bisik-bisik, ada yang sudah setuju dengan aturan jam malam, dan ada juga yang masih berat menerima keputusan. Tak ada yang berani membantah keputusan senior sesepuh Sylvasari itu.

Dialah penghuni terlama asrama ini. Entah apa yang membuatnya menjadi penghuni tetap Sylvasari. Mungkin dia belum lulus. Soalnya kalau sudah lulus otomatis harus meninggalkan asrama ini.

Rapat malam ini ditutup dengan pengumuman-pengumuman dari para petinggi Sylvasari. Mereka mengingatkan akan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan semua penghuni selama sepekan ke depan. Mulai dari jadwal piket, jadwal senam bersama, dan tambahan jadwal ronda khusus untuk laki-laki.

Aku berjalan sedikit gontai. Rapat yang berakhir pukul sepuluh malam ini berhasil membuat kaki hampir mati rasa, kesemutan. Rasa kantuk yang sudah menyerang sejak tadi membuatku semakin sempoyongan. Aku terhuyung kehilangan keseimbangan, dan bruk, aku terjatuh tepat di hadapan sepasang kaki kekar.

Aku mendongak sambil mengucek mata yang hampir terpejam. Kulihat sosok laki-laki gondrong dengan aura menyeramkan menatap tajam ke arahku.

“Jalan hati-hati! Kalau ngantuk tidur di kamar! Jangan di sini!”

Lelaki horor itu berkata sambil berlalu begitu saja. Aku yang awalnya ngantuk parah langsung on lagi.

“Dasar senior sengklek,” ucapku nyaris tak terdengar.

***

Aku berlari sambil terus menatap jam di tangan. Jarum jam itu juga ikut berlari semakin mendekati angka sembilan. Masih sekitar 700 meter lagi jarak ke Sylvasari. Jarak yang tak begitu jauh sebetulnya, tapi malam ini terasa sangat jauh dan lama sekali aku menjangkaunya.

Jalan setapak yang dikelilingi pohon karet sudah aku lalui. Kini aku memasuki kawasan Fakultas yang paling bergengsi di kampus ini. Setelah ini tinggal melewati Jalan Pinus, dan selesai. Aku akan sampai di Sylvasari tepat waktu. Atau kalaupun terlambat tidak akan lama. Aku masih bisa aman.

Sebenarnya bisa saja aku meminta izin ke Bang Hendri. Izin pulang lewat jam sembilan malam. Dengan begitu Bang Hendri akan mengutus beberapa orang lelaki untuk menjemputku yang terpaksa pulang malam karena harus pengamatan malam di arboretum. Atau bisa saja aku pulang bersama penghuni Sylvasari yang pengamatan malam juga.

Sayangnya semua itu tidak bisa kulakukan. Ponselku lowbat sejak magrib tadi. Aku pun lupa membawa charger. Selepas pengamatan tadi, aku mampir ke laboratorium untuk mengambil modul yang tertinggal. Nahasnya, aku pun jadi ditinggal rombongan penghuni Sylvasari.

Sekarang, di sinilah aku. Sendiri, berlari-lari mengejar waktu yang semakin menipis. Terus berlari menembus malam di tengah rerimbunan pohon pinus. Brrrr, bulu kudukku merinding. Baru kali ini aku lewat jalan ini sendirian malam-malam. Mana sepi pula. Ternyata benar-benar menyeramkan.

Aku terus berjalan tanpa memerhatikan sisi kanan dan kiri. Tatapanku hanya tertuju pada pendaran cahaya lampu di ujung jalan sana. Lampu Sylvasari sudah terlihat, aku semakin percepat langkah walau nafas sudah tak beraturan. Sialnya, di saat seperti ini kaki kananku malah keram. Langkahku jadi melambat.

“Oke, Naya. Nggak apa-apa, pelan-pelan saja. Sylvasari sudah terlihat. Jadi sudah aman.” Aku berkata pada diri untuk menenangkan hati yang kalut.

Sejujurnya aku benar-benar takut sekarang. Ingin teriak sekencang mungkin dan meminta tolong. Aku takut bukan pada apa yang tak terlihat. Tapi aku takut pada derap langkah yang kian mendekat. Langkah itu berasal dari belakangku. Aku merasakannya dengan jelas. Aku takut akan jadi korban yang ketiga.

“Allah, tolong aku.”

Di saat takut yang memuncak seperti ini, kakiku seolah mati rasa. Keduanya tak bisa diajak berjalan lagi. Aku berdiri mematung. Menunduk, dan air mataku mulai jatuh. Aku menangis. Awalnya hanya terisak dan kini berubah jadi histeris, ketakutan.

“Tolong jangan ganggu. Aku nggak punya apa-apa untuk dirampok. Pakaianku juga sudah menutup aurat dan sopan, jadi tolong pergi dan jangan lecehkan aku.”

Entah apa yang merasukiku sampai meracau seperti itu. Aku tak lagi memikirkan apa yang keluar dari mulut.

“Hahaha… ya, ya, ya. Gue tau kamu nggak punya apa-apa. Udah kelihatan.”

Deg. Suara itu. Senior sengklek.

Aku langsung menoleh ke belakang. Lelaki di belakangku itu ternyata Bang Hendri. Dia sedang puas menertawakanku yang sedang banjir air mata. Kejam.

“Ayo pulang! Udah jam sembilan lebih dikit. Masih bolehlah pulang ke Sylvasari.”

Lelaki gondrong itu berlalu melewatiku sambil menyeret ransel yang masih menggantung sempurna di pundakku. Rupanya dia tahu aku terlambat pulang, karena hanya aku yang tidak ada di antara penghuni asrama yang juga pengamatan malam ini.

“Temen sekelasmu tadi laporan kalau satu orang belum balik, jadilah gue susulin ke fakultas tadi. Tapi saking buru-burunya kamu bahkan nggak sadar kalau tadi kita sempat papasan di depan gerbang fakultas,” ujarnya menjelaskan.

Anehnya, aku masih diliputi rasa takut sekarang. Tapi rasa takut kali ini berbeda. Bedanya aku takut ada yang salah dengan hati. Tiba-tiba saja semua rasa jengkelku pada senior satu ini menghilang. Berubah jadi rasa canggung yang entah apa.

“Gawat, harus segera pindah asrama. Ini nggak aman.”


10 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here