Ternyata sudah satu windu sejak senja itu. Anehnya, bayang-bayang siluet hari itu tak terlupa barang sedikit pun dalam memoriku. Padahal tak banyak yang dia ucapkan, hanya sepintas kata “Terima kasih, Kak.” Lantas dia berlalu dengan cepat tanpa mengizinkanku melirik selain rona merah pipi yang nyaris tersembunyi oleh senja.
Barangkali, dia akan menyebutku aneh atau keterlaluan karena menyimpan rasa ini diam-diam selama 8 tahun tanpa permisi. Pendar cahaya matahari mulai meredup berganti malam, namun aku ikut tenggelam–sangat dalam–pada pesonanya selama 8 detik tapi terkenang hingga 8 tahun.
“Sudah larut, Lif. Mengapa belum tidur?”
Ketiga kalinya suara ibu menggaung di ruangan 2×3 ini. Pekerjaan ibu sebagai buruh jahit membuatnya terjaga sepanjang malam. Baru kali ini ia dapati diriku mampu terjaga bersama bait-bait panjang hingga pukul satu pagi.
Kutatap lembaran-lembaran di atas meja kerjaku. Kurasa aku telah menorehkan banyak tinta pada bait-bait panjang tentangnya. Aku tak tahu bagaimana Allah menjalankan takdir untukku dan tentangnya. Tapi aku percaya kekuatan do’a. Meski tetap Allah lah Yang Maha Tahu apa yang terbaik untukku.
Setiap kali lembayung senja mulai tampak, aku mengenang pertemuan singkat itu, walau mungkin hanya aku saja yang mengingat cerita itu dan tentangnya.
“Lif, sudah jam dua.” Ibu lagi. Kali ini bahkan bersama tubuhnya yang masih kokoh. Aku menoleh dan tersenyum tipis. Ibu malah memicingkan mata, meneliti lembaran-lembaran yang sudah cukup memenuhi kamarku. Mungkin karena beliaulah perempuan yang paling mengerti diriku, ia menatapku prihatin. Aku memang aneh, tak seperti biasanya.
“Lif, Jangan bilang… ada perempuan yang tengah mengusik hatimu?” selidik ibu hati-hati. Aku menunduk. Malu. Tebakannya memang selalu benar.
“Sudah bolehkah, Bu? Bolehkah Alif ajak perempuan ke rumah ini? Ibu tidak keberatan?”
Ibu tertawa kecil lantas mengambil posisi di atas kasur.
“Takut ibu merasa cemburu? Cinta seorang ibu dan istri itu beda lah, Alif. Tidak ada siapa menduakan siapa. Beritahu Ibu. Siapa perempuan yang berhasil mengisi ruang hatimu,” kata Ibu, kali ini dengan nada menggoda.
“Haruskah Alif telpon Ustadz Wahyu untuk mencari dia, Bu? Dia alumni pondok beliau. Alif melihatnya 8 tahun yang lalu. Saat acara buka puasa yang komunitas Alif laksanakan di sana. Alif juga nggak tahu namanya,” ucapku nanar
Tiba-tiba Ibu malah memukul pundakku. “Ya Allah, seharusnya kamu bilang dari dulu. Kamu memendamnya selama 8 tahun? Ibu pikir kamu tidak tertarik menikah, Lif. Segera hubungi Ustadz Wahyu!”
*****
Delapan tahun, Lif! Selama itu aku menyimpan perasaan ternyata gadis itu berada satu gedung bahkan kerja di satu perusahaanku? Sulit kupercaya. Dia bahkan sudah bekerja selama 2 tahun? Apa hanya aku yang mengingatnya? Aku memang tak pantas dikenang, ya. Ah, dia tak salah. Kenapa tak kucari tahu namanya sejak dulu.
Dia lewat. Aku yakin itu dia. Tadi temannya memanggil. Dia tak berubah. Masih saja menunduk saat lewat di depan laki-laki. Dia bahkan masih saja tak melirikku. Ah, bukankah justru karena itu aku menaruh rasa.
“Assalamu’alaikum, maaf Pak Alif, saya dari bagian marketing. Pak Hendra meminta saya menyerahkan ini ke Bapak.” Itu dia. Dia hanya menatapku sekilas saat menyerahkan berkas lalu pamit undur diri.
“Tunggu!” cegahku.
Dia berhenti sejenak lalu menoleh. Tapi tetap tak mengizinkan pupil mata kita bertemu lama.
“Kamu santrinya Ustadz Wahyu, kan?” ah, kenapa harus kutanya sekarang. Dia hanya mengangguk.
“Saya Alif Rayhan. Laskar Ifthar. Kamu ingat?”
Dia agak terkejut. Terlihat dari kepalanya yang sedikit terangkat.
“Ingat, Pak. Laskar Ifthar menyimpan banyak kebaikan dan kenangan di pondok kami. Semoga berkah terus, Pak. Permisi.”
Ya. Begitulah dia. Justru aneh jika mengharapnya merespon lebih. Itu bukan karakternya.
*****
Itu dia! Dia melambaikan tangan ke arahku? Tidak, aku tidak boleh percaya diri. Menatapku saja bahkan dia tak mampu. Aku menoleh ke belakang. Oh, Allah… Seorang laki-laki. Tersenyum kepadanya? Dadaku sesak. Kuharap aku masih mampu berdiri tegak menatap kepergiannya atau bahkan memergoki senyumnya terakhir kali? Dia bahkan menampakkan gigi seri dan mengulurkan tangannya untuk menyalami laki-laki itu. Aku pergi.
Senjaku sirna. Tenggelam dan mungkin tak dapat lagi kunikmati. Kurapikan lembaran-lembaran lama tentangmu. Mungkin akan kuarsipkan atau kuterbitkan saja? Entahlah….
*****
“Lif, bagaimana? Jadi ke rumah orang tua perempuan itu?” suara Ibu mengalun lembut di telingaku. Sempurna. Tak mengapa. Aku sudah memiliki perempuan sempurna ini di hidupku.
“Nggak, Bu. Sepertinya kita masih punya waktu banyak untuk berdua. Dia sudah punya yang lain.” jawabku lemah.
Ibu terdiam. Aku tahu beliau sangat mengerti.
“Tak apa, Lif. Bukankah tak semua kisah cinta dalam diam itu harus seperti Fatimah dan Ali? Tenangkanlah dirimu,” ujar Ibu kemudian berlalu.
Baiklah. Memang tak semua takdir berjalan secantik alur cerita yang kita inginkan. Tak semua cinta yang dalam diam berakhir seperti Fatimah dan Ali. Tapi semua cinta yang terjaga pasti berakhir baik.
Aku menghempaskan diriku di atas kasur. Berharap mata ini segera terpejam dan tak ternodai oleh mimpi buruk.
Allah, 8 tahun yang lalu kutitipkan cinta ini dalam naungan cinta-Mu maka sekarang kulepaskan pula untuk menggapai keridhaan-Mu. Alhamdulillah.
*****
Sementara itu di sudut sebuah cafe.
“Dia Mas Kurma itu, Sofi!” ujar seorang gadis. Berkabar bahagia pada temannya sebab bertemu dengan laki-laki yang dijumpainya 8 tahun lalu saat acara buka puasa. Dia tak tahu namanya sehingga memanggilnya Mas Kurma karena insiden kurma yang dibawanya jatuh, laki-laki itu yang hendak membantunya.
“Dia manajer di perusahaan tempatku bekerja. Selama 2 tahun aku di sana, Sofi. Aku sungguh tak mengenalinya. Kamu tahu, aku selalu paling buruk mengingat wajah laki-laki.” Lanjutnya dengan nada sedih. Gadis bernama Sofi mengusap pundaknya.
“Bukan salahmu, Yas. Itu pilihanmu untuk menutup diri sampai waktunya tiba. Kala itu kamu juga tidak melihatnya dengan jelas, kan?” hibur Sofi. Gadis itu menggeleng.
“Ekor mataku menangkapnya sekilas, Sofi” kilahnya.
“Emmm… Dia mengingatmu, Yas?” tanya Sofi.
Yas menggeleng, “Entahlah.”
Sofi menghembuskan nafas kasar. Yas meraih gawainya, sekedar mengecek. Ada pesan yang ingin dia tunjukkan pada sahabatnya.
“Sofi, aku harus bagaimana? Ustadzah Rahmah mengirimiku pesan apakah aku siap menikah. Salah satu kenalan Ustadz Wahyu mengajakku ta’aruf,” raut wajah Yas berubah.
Sofi tersenyum.
“Ada apa dengan ta’aruf , Yas. Kamu yang dulu menjelaskan kepada kita justru ta’aruf lah yang benar. Kalau merasa cocok, lanjutkan. Kalau tidak, bukan masalah. Kamu sendiri yang bilang, kalau di umur 25 ada yang datang, kamu akan mencoba. Kamu tidak memundurkan targetmu lagi, kan, Yas?”
Yas menggeleng. Sofi menarik sahabatnya itu ke dalam pelukannya.
*****
Senja mengajarkanku, bahwa yang indah itu tak harus dimiliki. Cinta bukan hanya tentang memiliki. Tapi harus rela untuk kehilangan. Untuk menikmati senja, kamu harus berjalan seharian, menikmati setiap proses setiap detiknya.
Sore ini, masih kunikmati senja dari dalam kamar kecilku. Seraya melepas penat hati, pikiran, dan energi. Kuputuskan untuk tak lagi mencari tahu tentang perempuan itu. Walau terpaksa bertemu untuk urusan pekerjaan. Aku terbilang profesional, jadi aku bisa mengatasinya. Lagipula, pandangannya memang selalu terjaga. Ah, betapa beruntungnya suaminya.
“Alif!” suara Ibu. Suara paling merdu dan paling kucintai meski iramanya naik turun atau bahkan sering tak beraturan.
“Alif! Kamu nih main hakim aja deh. Ini kok istrinya ustadz Wahyu bilang mau silaturrahim ke sini. Katanya santriwati itu juga siap untuk ta’aruf.” ujar ibu tiba-tiba.
Aku terpaku. Lalu laki-laki kemarin? Kutatap ibu tak percaya, meminta penjelasan lebih lanjut.
“Makanya jangan menilai orang dari covernya dong. Yang kamu lihat itu mungkin kakaknya. Ayahnya sudah tiada,“ tepuk keras ibu di pundakku.
Aku sumrigah. Meraih tangannya lalu menciumnya. Bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu. Aku tahu, aku harus segera memantapkan diri. Semoga ini bukan sekedar rasa bahagia biasa.
*****
Sementara itu, di sudut sebuah cafe.
“Dia si Mas Kurma, Sofi. Ustadz Wahyu menelpon kakakku tentang laki-laki itu.” Yas masih seperti tak percaya saat menceritakan itu pada karibnya. Kabar dengan siapa dia akan bertaaruf sangat mengejutkan.
“Maasyaa Allah. Aku nggak nyangka. Indah sekali, Yas.” Sofi memeluk gadis itu.
“Kita harus mengabari Kyanu dan Atina. Mereka saksi senja itu juga,” lanjutnya berseri-seri lalu mengambil gawainya.
“Haaa?! Selama 8 tahun? Baarakallah, Yasminaaa!”
*****
8 tahun yang lalu.
“Yas, kamu bawa nampan ini ya,” perempuan yang kuketahui bernama Kyanu memanggilnya. Dia baru saja keluar dari gerbang itu. Dia berjalan ke arahku. Bukan, maksudku ke gazebo tempatku dan rekan-rekanku menyiapkan takjil untuk para santriwati.
Aku memberinya nampan berisi es teh dan kurma. Dia terlihat bingung meski tetap menunduk. Aku tak berani menatapnya, sama seperti dia tak melirik kepada kami barang sedetik pun. Aku yang baru saja belajar bertanya-tanya. Apa dia gunakan mata kakinya. Bukankah ia juga tertutup kain?
Dia berjalan tapi seorang anak kecil berlari ke arahnya. Mengambil satu bungkus kurma hingga membuat beberapa bungkus kurma lainnya terjatuh. Dia sedikit duduk untuk mengambilnya. Aku menghampiri untuk membantu.
“Terima kasih, Kak,” ujarnya lalu berdiri dan menghampiri tiga temannya yang tampak tersenyum.
Aku begitu kesal. Aku bahkan belum membantu dan dia sudah mengucapkan terima kasih? Dia menolak bantuanku? Setelah kutanya pada temanku, dia bukan menolak tapi menghindari jarak yang terlalu dekat denganku. Kekesalanku berubah. Aku justru ingin lebih dekat dengannya, ingin mengenalnya. Begitulah sejak saat itu senja menjadi indah dalam ingatanku.
*****
Ceritanya bagus. Tingkatkan lagi, Kaka. Ditunggu cerita selanjutnya…