Mengemas Literasi yang Asyik di Sekolah

9
150

Pada akhir 2016 saya berkunjung ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dan bertemu seorang kawan. Ia Direktur Pendidikan sebuah Sekolah Islam Terpadu yang menaungi jenjang PAUD, SD, SMP, dan SMA. Kepadanya saya berkata, “Ini kesempatan bagi sekolah untuk mengenalkan sirah nabawiyah dan mendekatkan para ilmuwan Islam kepada siswa. Ini juga peluang bagi para penulis seperti teman-teman Forum Lingkar Pena untuk bisa masuk ke sekolah.”

Pada awal 2016 itu, Kemendikbud menjalankan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Program ini merupakan tindak lanjut dari amanat Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Dalam regulasi tersebut, sekolah di seluruh Indonesia diwajibkan untuk menjalankan kegiatan membaca buku nonpelajaran selama 15 menit sebelum jam pembelajaran dimulai setiap hari.

Dengan program tersebut, siswa diberi waktu khusus, minimal 15 menit, untuk membaca buku nonpelajaran alias bukan buku teks pelajaran. Mereka bisa membaca buku fiksi (novel, cerpen, puisi, dll) dan nonfiksi (artikel, ensiklopedia, dll) yang mereka sukai. Kegiatan membaca bisa dilakukan secara mandiri (sustainable silent reading), membaca nyaring (read aloud), atau membaca bersama (shared reading). Usai membaca, guru menjalankan kegiatan lanjutan seperti mendiskusikan hasil bacaan dan meresume buku.

Melalui pintu masuk berupa kegiatan membaca, diharapkan tercipta budaya literasi di sekolah. Budaya literasi dapat mendongkrak nilai literasi dan numerasi siswa sebagaimana diukur oleh sejumlah survei internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA).

Perlu dipahami bahwa regulasi ini memberikan siswa ‘hak’ untuk membaca buku nonpelajaran di sekolah. Sekolah wajib memenuhi hak itu dengan mengalokasikan waktu khusus baik sebelum jam pembelajaran dimulai, usai jam istirahat, maupun setelah jam pembelajaran berakhir. Fleksibel.

Bagi sekolah bernapaskan keislaman, misalnya Sekolah Islam atau Sekolah Islam Terpadu (SIT), regulasi ini menjadi angin segar bagi internalisasi buku-buku keislaman di kalangan siswa. Selama ini, pintu masuk itu hanya melalui kunjungan ke perpustakaan. Eksklusif. Kini, buku-buku keislaman dapat dibaca bebas oleh siswa di ruang kelas, sudut baca, atau lingkungan sekolah. Tidak melulu harus berkunjung dulu ke perpustakaan untuk mendapatkan buku keislaman.

Tak hanya membaca buku, guru dan siswa didorong untuk mendiskusikan isi buku. Dengan begitu, proses berliterasi terjadi: membaca dan mendiskusikan isinya. Sekolah dapat ‘mengguyur’ siswa dengan buku-buku antara lain sirah nabawiyah, ilmuwan muslim, dan seputar dunia keislaman.

Pelibatan Pihak di Luar Sekolah


Agar penciptaan budaya literasi di sekolah berjalan massif dan cepat, sekolah didorong untuk melibatkan pegiat literasi di luar sekolah. Mengapa? Sebab guru memiliki keterbatasan kemampuan literasi yang dapat dipenuhi oleh sastrawan, penulis, atau budayawan yang tinggal di sekitar sekolah.

Berikut ini beberapa peluang sekolah menggelar kegiatan literasi yang dapat melibatkan penulis/sastrawan/budayawan:


1. Program 15 menit membaca.

Guru dapat mengundang penulis/sastrawan/budayawan untuk berbagi proses kreatif atau mendiskusikan buku karangannya. Tentu saja waktu 15 menit dapat ditambah sesuai kebutuhan. Intinya, literasi tidak hanya tentang membaca buku, melainkan juga mengapresiasi dan mendiskusikan isi buku.


2. Kelas inspirasi.

Sekolah dapat mengundang tokoh masyarakat, pejabat, pengusaha, atau petani untuk berbagi cerita dan pengalaman kepada warga sekolah. Pernah baca buku inspiratif Toto Chan karya Tetsuko Kuroyanagi, kan? Di buku itu, kepala sekolah mengundang seorang petani untuk berbagi pengalaman bercocok tanam di hadapan siswa.


3. Peluncuran dan bedah buku.

Pustakawan atau tenaga perpustakaan dapat menggelar kegiatan peluncuran dan bedah buku. Mereka dapat mengundang penulis yang baru menerbitkan buku untuk meluncurkan dan membedah proses kreatifnya di sekolah.


4. Pelatihan literasi.

Pustakawan atau tenaga perpustakaan juga dapat mengundang penulis sebagai narasumber pada pelatihan literasi. Pelatihan literasi mencakup penulisan fiksi dan penulisan nonfiksi.


5. Festival Literasi.

Sebaiknya ini menjadi agenda semesteran atau tahunan sekolah. Acara ini memamerkan hasil kegiatan literasi siswa selama satu semester atau satu tahun. Acara dapat divariasikan dengan kegiatan peluncuran dan bedah buku, lomba literasi, pelatihan literasi, atau diskusi umum. Acara terbuka untuk orang tua dan warga sekitar sekolah.

Masih banyak program dan kegiatan literasi yang dapat dieksplorasi. Semua tergantung kreativitas dan inovasi guru/kepala sekolah. Karena seluruh proses pembelajaran difokuskan pada perubahan perilaku dan pola pikir siswa, maka kegiatan/program literasi harus melibatkan siswa. Di sejumlah sekolah, selain pembentukan Tim Literasi Sekolah, siswa juga dilibatkan dan berperan aktif sebagai Duta Literasi atau Duta Baca. Mereka mengawal pelaksanaan program 15 menit membaca, mengelola pojok baca, dan membantu pustakawan mengelola koleksi perpustakaan. Pada akhirnya program/kegiatan literasi berasal dari, untuk, dan oleh siswa.

Mengenal yang Terdahulu


Sekali lagi, kegiatan literasi dapat dijadikan momen terbaik bagi siswa untuk menapaktilasi sejarah nabi, sahabat, alim ulama terdahulu, serta cendekiawan muslim yang membawa pembaruan-pembaruan kontemporer. Dengan mengenal profil dan kiprah orang-orang terdahulu, siswa dapat meneladani karakter, prinsip, dan cara kerja mereka sebagai bekal menjalani keseharian hidup. Pada akhirnya mereka menjadikan muslim terbaik di muka bumi, yang telah lebih dulu menghadap Allah Swt., sebagai idola dan inspirator.

Guru dapat mengemas kegiatan literasi menjadi lebih menarik, misalnya membacakan nyaring (read aloud). Melalui metode ini, guru mencontohkan cara membaca yang baik dengan mengatur intonasi dan mimik wajah. Membacakan buku (dongeng), kata ilmuwan hebat abad XX Albert Einstein, dapat membuat siswa cerdas. “If you want your children to be intelligent read them fairy tales. If you want them to be more intelligent read them more fairy tales.” (Jika Anda ingin anak Anda cerdas, bacakan dongeng untuk mereka. Jika Anda ingin mereka menjadi lebih cerdas, bacakan mereka lebih banyak dongeng).

Kegiatan membaca juga dapat dipadukan dengan aktivitas bernyanyi atau menonton dan mendiskusikan film pendek. Ya, literasi tidak melulu tentang membaca buku. Ia dapat berbentuk beragam kegiatan yang memberi siswa kompetensi dan paradigma literasi.

Mengapa mengemas kegiatan literasi menjadi lebih menyenangkan sangat penting? Sebab dalam situasi menyenangkan, siswa lebih mudah memahami pelajaran. Kegiatan membaca buku nonpelajaran semisal cerpen atau novel pun dapat menyegarkan pikiran siswa. Dengan pikiran yang segar, kegairahan mencerna mata pelajaran mudah terpantik.

Menghadirkan aktivitas membaca buku nonpelajaran di sekolah dengan buku-buku yang membangun karakter dan menggugah jiwa sangatlah penting. Sebab dari sinilah kadar keimanan dan ketakwaan seseorang meningkat melalui cerita yang sarat keindahan dan kebijakan. Umar bin Khattab r.a pernah berkata, “Pelajarilah syair karena di dalam syair terdapat keindahan-keindahan yang kau cari, keburukan-keburukan yang kau hindari, hikmah orang-orang bijak dan menunjukkan akhlak terpuji.” Wallahu a’lam bish-shawabi.


Previous articleSimfoni Bunga Rumput 10
Next articleWanita Undian
Billy Antoro
Billy Antoro bergelut di dunia jurnalistik sejak mahasiswa. Pada 2009—2020 meliput dan menulis untuk laman, majalah, dan buletin di Ditjen Dikdasmen Kemendikbud. Sejak 2016 mengawal program Gerakan Literasi Sekolah dan Gerakan Literasi Nasional. Bukunya Gerakan Literasi Sekolah, Dari Pucuk Hingga Akar; Sebuah Refleksi terbit pada 2017. Diterbitkan Kemendikbud. Tulisan-tulisannya tentang literasi sekolah diterbitkan dalam bentuk panduan, manual, dan antologi. Siniar (podcast) tentang dunia literasi yang mewawancarai guru, kepala sekolah, akademisi, penulis, dan sastrawan dapat dipirsa di kanal Youtube Billy Antoro. Ia juga bergiat di komunitas Forum Lingkar Pena.

9 COMMENTS

  1. Senang membaca artikel Om Billy. Ada energi yang membuat saya sebagai guru TK menghidupkan kegiatan literasi di sekolah kami.

  2. Kegiatan membaca 15 menit apakah masih berlaku hingga sekarang? Dan apakah diterapkan di semua sekolah atau sekolah² tertentu saja?

  3. Alhamdulillah sangat tercerahkan dengan artikel ini. Makasih ya… Insya Allah Kami coba di sekolah Kami, dengan berbagai tips yang diberikan. Salam kenal. Saya Kepsek SMA IT ALBINA Ternate. Sedang merintis Program litersi sekolah. Masih jatuh bangun semangatnya Tulisan ini sangat menginspirasi . Makasih. Jzkillah khair

  4. Salam kenal, Bu Sany. Alhamdulillah. Semoga ada yg bisa diterapkan di SMA IT Al Bina ya. Di Universitas Khairun Ternate ada Prof. Gufran, pernah menjabat Kepala Pusat di Badan Bahasa. Beliau dulu mengawal Gerakan Literasi Nasional di Kemendikbud. Bisa berdiskusi dg beliau tentang pengembangan literasi di sekolah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here