Perempuan yang Merindukan Jum’at

2
64

Semburat kuning keemasan menyusup melalui celah dedaunan pohon jati yang lebat lalu jatuh ke bumi, menimpa seorang perempuan tua yang tengah tertunduk khusyuk menghadapi sebidang kecil tanah dengan jejeran batu marmer putih yang mengelilinginya. Sebuah papan dengan tulisan usang, Guslan, menancap kokoh di ujung tanah tersebut. Tampak juga aneka bunga berwarna-warni tertabur di atasnya.

Hari ini adalah hari Jum’at. Dan seperti kebiasaannya, Ratri, perempuan tua yang tengah tertunduk khusyuk menghadapi sebidang tanah bertabur bunga itu, tengah terpekur sembari merapalkan doa-doa bagi sosok yang telah bertahun-tahun terbaring di bawahnya.
Hari Jum’at adalah hari yang selalu ia tunggu. Sehari sebelumnya, ia akan sibuk memetik bunga yang sudah sangat lama dan sengaja ia tanam di halaman rumahnya yang cukup luas. Beraneka jenis bunga dengan mudah didapatkan di sana, pun dengan warna-warni yang indah, memanjakan mata siapa saja yang memandanginya.

Lalu, ia akan mempersiapkan baju terindahnya, menurut pikirannya, baju dengan warna yang tidak pernah berbeda dari Jum’at ke Jum’at, putih. Kerudung dengan warna senada, tak lupa ia sematkan di kepalanya yang sudah dipenuhi uban.

Setelah semuanya ia siapkan, ia akan berdiri di depan rumahnya, menunggu ojek motor langganannya yang akan mengantarnya ke pekuburan umum berjarak sekitar 2 km dari rumahnya. Pada deretan pohon kayu terakhir tepat di pojok pekuburan itulah, ia akan berhenti. Pada sebidang tanah kecil yang dikelilingi marmer putih, tanpa batu nisan, ia akan duduk berjam-jam menghabiskan separuh hari itu untuk melafalkan doa-doa pengampunan bagi orang terkasih yang sudah tidak lagi mendampinginya sejak kepergiannya.

‘Daeng Gus, aku datang,’ batinnya rindu.
Tangannya mulai menengadah, dan tak lama kemudian ia pun luruh dalam doa-doa khusyuknya. Sesekali, isak tertahan mengguncang bahunya, namun sekuat tenaga diupayakannya agar segera tegar kembali.
Ia teringat pesan suaminya di saat-saat terakhirnya malam itu. Wajah lembutnya menatapnya tanpa kedip. Meski dalam keadaan lemah, laki-laki itu tak henti mengusap wajahnya.

“Tidurlah. Jangan paksakan diri seperti ini. Aku akan menjagamu,” isaknya.
“Waktuku tidak lama lagi. Masih banyak yang ingin aku sampaikan,” laki-laki itu menjawabnya. Meski bicaranya melambat, ia paksakan untuk mengeluarkannya. Ia kemudian memberi isyarat kepadanya untuk mendekat.
“Jangan lupakan anak-anak,” bisiknya. Ia mengangguk paham, beku. Anak-anak yang dimaksud suaminya adalah anak-anak di sekitar rumah mereka yang selama ini mereka peduli. Mereka berdua memang terkenal sangat dekat dengan anak-anak kecil, terlebih dengan anak-anak yang terkadang muncul di rumah mereka dengan penampilan sedikit dekil di sana-sini, berpakaian yang sudah pudar dan tak mengenakan alas kaki yang masih banyak terdapat di daerah di mana mereka tinggal.

Anak-anak itu muncul di rumah mereka bukan tanpa alasan. Setiap harinya, rumah mereka terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar mengaji. Tidak hanya sebatas itu, mereka terkadang merayu anak-anak yang kelihatannya tidak tertarik untuk mengaji dan lebih memilih bermain bersama teman-teman mereka.

Keprihatinan akan ketidakpedulian para orang tua terhadap anak-anak mereka untuk sekedar mengetahui huruf-huruf dalam Al-Qur’an mendorong mereka untuk turun tangan bahkan mereka harus sedikit memaksa anak-anak tersebut untuk belajar mengaji dengan metode iqra di rumah mereka.

Paksaan kecil yang menyenangkan, tepatnya. Terkadang mereka menawarkan aneka macam kue-kue. Terkadang juga dengan macam-macam perlengkapan sekolah seperti buku, pulpen, pensil bahkan tas sekolah. Alhasil, mereka tentu saja sangat berminat. Dan jadilah rumah mereka sebagai tempat berkumpul bagi anak-anak tersebut untuk belajar mengaji.
Untuk pengadaan buku Iqra, mereka adakan sendiri agar tidak membebani para orang tua yang awalnya tidak menyukai anak mereka diganggu aktivitasnya dengan kegiatan mengaji tersebut.

“Tetap luangkan waktumu buat mereka. Jangan pernah merasa capek, ya?” suara suaminya yang tersengal, menyadarkannya dari pikiran yang mengembara.
Ia mengangguk. “Aku pasti tidak akan melalaikan mereka.” Ia tersenyum sumringah, berusaha terlihat tegar, berusaha memompakan semangat kepada suaminya. Ia berharap, suaminya akan peroleh energi yang lebih kuat lagi untuk bersama melanjutkan aktivitas mereka selama ini.

Laki-laki itu juga tersenyum sumringah kepadanya, sangat lama. Sesaat ia terpesona dengan senyum itu. Sudah sangat lama ia tidak pernah menikmati senyum seperti itu. Ia masih mengingatnya dengan sangat jelas, sejak mereka mendapat kepastian bahwa mereka tidak akan bisa memperoleh keturunan seperti pasangan suami isteri lainnya. Dan mulai saat itu senyum laki-laki itu hanya berupa senyum samar saja.

Dan malam ini, senyum memikat itu kembali bisa ia nikmati. Betapa ia ingin menikmati senyum itu lebih lama lagi.
Pikirannya kembali dirundung pilu. Kesepian selama berpuluh-puluh tahun penuh harap akan hadirnya suara-suara tangisan si kecil dalam rumah tangga mereka pada akhirnya memadamkan mimpi mereka dan membungkam senyum mereka, terutama suaminya.
Dirinya sempat memprotes nasib yang Allah telah gariskan kepada mereka, betapa Allah sangat tidak adil kepada mereka. Padahal mereka telah jauh hari mempersiapkan kasih sayang yang tulus dan lapang, ilmu berbuku-buku yang telah dibaca, materi yang lumayan berlimpah hingga rapalan doa yang mereka langitkan berdua di sepertiga malam.

Harapan itu terus mereka pompakan untuk menyemangati hari-hari mereka meskipun vonis dokter telah mereka terima. Hari-hari sepi selama bertahun-tahun justru semakin menguatkan harapan mereka. Mereka yakin, Allah yang Maha Pengasih tdak akan menyia-nyiakan pengharapan mereka.

Namun setelah usianya memasuki usia tidak produktif lagi, dirinya perlahan ikhlas menerima takdir yang menurutnya pahit. Dan sejak saat itu pula, senyumnya tidak lagi dapat sumringah seperti hari-hari sebelumnya. Senyumnya telah mati. Sama seperti suaminya, senyum milik laki-laki itu, pun seolah mati.
“Ratri!”, sentuhan suaminya menyadarkan dari lamunannya. Tangannya yang dingin membuatnya takut, genggamannya pun terurai perlahan, dan tatapan sayu laki-laki itu membuat jantungnya seolah berhenti.
“Lebih dekatlah lagi!”, bisiknya semakin samar.
Bibirnya bergetar menahan tangis. Ia mendekati suaminya semakin dekat dan lekat. Tak ada lagi jarak. Bahkan tarikan nafas suaminya yang tersengal berat, dapat ia rasakan di telinganya. Sekuat tenaga ia menyenyumi laki-laki di dekatnya itu, sekuat tenaga pula ia mempererat genggaman tangan mereka.

“Aku mencintaimu. Maafkan aku, ya!”
Ia hanya mampu mengangguk, dan memberi isyarat kepadanya untuk berhenti bersuara. Dibisikkannya kalimat Talqin di telinga suaminya dan memintanya untuk mengikutinya. Samar-samar, bibir lemah itu mengikutinya mengucapkankan kalimat Talqin, berulang-ulang. Hingga beberapa detik kemudian, semuanya beku. Nafas suaminya berhenti. Tatapannya menggantung di udara dan genggamannya lepas. “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun, aku mengikhlaskanmu, Daeng Guslan,” bisiknya di malam pekat itu.

Matahari beranjak semakin tinggi. Hawa panas semakin terasa pertanda waktunya sudah cukup untuk hari ini, cukup untuk memanjatkan doa-doa indah untuk suaminya dan cukup untuk memuaskan rasa rindu selama enam hari yang sepi. Ratri mengusap papan usang itu.
“Aku pamit dulu, Daeng. Jum’at depan aku datang lagi, insya Allah.”
Perlahan ia meninggalkan sebidang tanah tersebut, lalu beranjak ke tepi jalan, duduk pada seonggok batu besar menunggu ojek motor langganannya.
Matanya kini tertuju pada bangunan rumah di hadapannya. Kesepian selama enam hari ke depan akan terisi oleh suara-suara anak melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an di bawah tuntunannya. Senyumnya tak ayal menyungging samar.
*****


2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here