Apa yang terlintas di benakmu ketika tiba-tiba ada orang tak dikenal yang memanggilmu papa atau ayah? Ya, tentu saja yang memanggil adalah seorang bocah. Mungkin kau tak akan acuhkan, cuek, segera berlalu meninggalkan orang yang memanggilmu itu. Salah orang, mungkin begitu suara hatimu.
Itulah yang kini kualami.
“Papa…!” begitu kakiku melangkah memasuki sebuah gang, seorang bocah lima atau enam tahun berteriak dari halaman rumahnya. Aku menoleh, hanya sebentar, lalu melanjutkan langkahku. Salah orang, memang itu yang terlintas di pikiranku.
“Papa…!” dia memanggil lagi. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, berharap ada orang lain selain aku yang sedang melewati gang itu. Tapi nihil, hanya ada aku, dan bocah itu sedang menatap ke arahku. “Papa sudah pulang? Mana boneka buat Putri?”
Astaga! Benar. Bocah itu bicara padaku. Dia kelihatan sangat senang, melompat-lompat dengan gembira dari balik pagar besi yang membatasi halaman rumah itu dengan jalan. Apa tidak salah? Aku kan lebih pantas jadi abangnya? Atau paling tidak dipanggil Om lah. Tapi papa?
”Papa…!” tambah aku bengong, dia makin semangat memanggil.
Papa? Aku memegang kedua pipiku. Apakah benar wajahku telah berubah? Siapa yang mencuri wajahku dan menukarnya dengan wajah papa bocah itu? Atau jangan-jangan karena muka imutku yang memang suka kambuh kalau lagi bengong, makanya dia makin suka melihat. Aku kan memang nggemesin, sama seperti bocah itu.
Aku masih belum berkata apa-apa ketika seorang perempuan muda (tapi tidak lebih muda dariku) ke luar dari dalam rumah, memanggil si bocah.
”Putri, ayo masuk!” katanya sambil menggendong anak itu.
”Itu papa Ma, papa pasti bawa boneka.” dia menunjuk padaku.
”Maaf, Mas…” perempuan itu buru-buru masuk ke dalam rumah, tidak menghiraukan putri yang kemudian menangis meronta-ronta. Kedua tangannya terulur padaku sambil berteriak menyebut kata papa berulang kali.
Mas? Mamanya malah memanggilku mas. Manggil adik kek. Ya ampun, begitu tua-kah wajah ini di pandangan mereka?
Kusimpan seluruh keheranan dan tanda tanya itu, lalu melanjutkan perjalanan. Satu hal yang pasti akan kulakukan begitu sampai nanti adalah segera mencari kaca dan melihat seperti apa wajahku sekarang. Jangan-jangan memang bukan wajahku lagi.
Kubaca kembali secarik kertas di tanganku. Walau tulisannya jelek, aku masih bisa membacanya dengan lancar, toh itu memang aku yang menulis. Biarpun jelek, aku berani bertaruh, tulisanku masih jauh lebih bagus ketimbang tulisan dokter Syamsul, tetanggaku di kampung.
Jalan Kamboja Gang Sederhana No. 37
Kupelankan langkahku. Aku baru saja memasuki Jalan Kamboja, berarti alamat yang kutuju tidak jauh lagi. Semoga Da Jaya dan istrinya tidak terkejut dengan kedatanganku yang memang tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Oh ya, kenalkan dulu, namaku Rahmad. Rahmad Budiman lengkapnya. Benar-benar nama yang indah. Gabungan dua kata yang jika dipisahpun akan tetap mempunyai arti yang sangat indah. Tapi sayang, nasibku tidak seindah nama pemberian bapak dan emak.
Aku baru saja menamatkan sekolah. Dengan susah payah, akhirnya Bapak dan Mak bisa juga mengantarku menamatkankan pendidikan di bangku SMA. Kalian garis bawahi ya, bapak dan emakku menamatkan sekolahku hingga SMA dengan susah payah. Artinya apa? Kalian jawab sendiri.
“Kami hanya mampu sampai di sini, untuk kuliah, sebaiknya kau lupakan saja dulu.” Begitu kata bapak hari itu. Hari di mana aku pulang ke rumah sambil membawa selembar ijazah tanda aku sudah tamat sekolah.
Aku maklum. Bukankah warga miskin dilarang sekolah? Tamat SMA saja aku sudah sangat bersyukur. Banyak kok lamaran pekerjaan yang membutuhkan tamatan SMA, meski sarjana juga banyak yang menganggur. Menurutku, pekerjaan itu bukan terletak pada ijazah apa yang kita punya, tapi kemujuran nasib saja.
“Tidak apa Pak, mudah-mudahan kehidupan kita akan berubah saat nanti Rahmad dapat kerja, secepatnya Rahmad akan berusaha mendapatkan pekerjaan, agar bisa bantu bapak dan mak menyekolahkan Layla dan Suci.” sungguh itu adalah jawaban dari anak yang berbakti hehehe.
Aku sudah bertekad, begitu tamat SMA akan segera meninggalkan kampung halaman. Aku orang minang, dan merantau adalah tradisi pemuda minang. Aku akan ke ibukota. Menyusul mereka yang sudah mendulang rupiah di sana.
“Pak, Rahmad mau cari kerjaan di Jakarta.” begitu aku menyatakan keinginanku pada bapak, suatu malam, saat gerimis turun membasahi halaman rumahku di salah sudut kota Payakumbuh.
“Jakarta? Memangnya di sini tidak ada kerjaan?” ujar Bapak. “Bukankah sawah kita yang satu petak itu telah sanggup menghidupi kita? Ditambah lagi si putih yang tidak lama lagi akan melahirkan anaknya.” si putih adalah sapi peliharaan kami, saat ini tengah mengandung anak pertamanya.
“Tapi Pak, kata Usman di Jakarta gajinya besar.”
“Iya, besar. Tapi gajinya siapa? Ingat, kamu hanya tamatan SMA.” Ujar Bapak lagi, tetap tak ingin aku pergi meninggalkan mereka.
“Tapi Usman yang tidak bersekolah bisa kaya, Pak. Lagipula katanya di Jakarta ada beragam pekerjaan.”
“Rahmad, kamu kok lebih mendengarkan Usman dibanding bapakmu. Bapak sudah tua, Nak, bapak ingin menghabiskan sisa hidup ini denganmu.”
“Iya Pak, Rahmad tahu. Rahmad ke kota juga demi kita. Rahmad ingin membahagiakan Bapak dan Mak.”
“Tapi Bapak dan Mak lebih senang kalau kau ada di sini, sama kami.”
Lama aku dan Bapak terdiam. Ibu kemudian datang membawa teh panas dan sepiring pisang goreng.
“Rahmad janji Pak, akan cepat pulang kalau tak dapat kerjaan. Tapi beri dulu Rahmad kesempatan. Kita tidak tahu rahasia apa yang Allah simpan buat Rahmad ke depan nanti.”
Bapak dan Mak akhirnya merestui kepergianku. Aku juga tahu kalau di Jakarta banyak pengangguran, tapi nasib orang siapa yang tahu. Lagipula di Jakarta ada Uda Jaya. Uda Jaya adalah keponakan bapak yang sudah merantau belasan tahun lamanya. Uda Jaya dan istrinya berdagang kain di Tanah Abang. Kata Bapak, sementara aku belum mendapatkan pekerjaan, aku bisa membantu-bantu Da Jaya di toko kainnya.
Gang Bahagia, kembali aku membaca sebuah plang papan di sebuah tikungan. Ini gang ke tiga yang kutemukan. Tapi bukan ini alamat yang kucari. Rumah Uda Jaya ada di gang Sederhana.
Aku melanjutkan langkah. Bocah yang tadi memanggilku papa terlupakan sudah oleh capek dan lelah.
***
”Papa…!”mendengar panggilan itu, sontak aku menoleh. Sudah beberapa hari aku di sini. Kejadian tempo hari sudah terlupakan. Tapi panggilan itu seakan sebuah dejavu. Bocah itu lagi. Putri. Ya, namanya Putri. Dia melambai-lambai ke arahku sambil tersenyum. Aku mendekatinya.
”Papa, mana bonekanya?” tanya Putri begitu aku sudah berada di depan pagar putih, tersenyum padanya.
Tidak tahu apa yang harus aku katakan. Si cerewet Rahmad, si jago orator di sekolah sekarang kehabisan kata-kata menghadapi seorang Putri yang masih belum sekolah.
”Papa, kenapa lama sekali pulangnya, Putri rindu.”
Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Ada apa dengan anak ini? Perasaan kemarin tidak ada masalah dengan wajahku, masih wajah Rahmad yang kubawa dari kampung.
”Kok Papa malah bengong, ayo masuk! Mama dan nenek juga sudah menunggu.” dari balik jeruji pagar, Putri meraih tanganku. Aku memang berniat masuk, tapi pagar itu terkunci. Seorang perempuan tua berlari tergopoh-gopoh dari dalam rumah, menghampiri Putri.
”Putri, ayo masuk, di panggil mama.” katanya begitu sampai di dekat Putri.
”Tapi pagarnya dibuka dulu, Nek, biar papa bisa masuk.” jawab Putri begitu perempuan itu menggendongnya.
”Maaf ya, Nak.” kata perempuan itu padaku. Lalu buru-buru masuk ke dalam rumah. Sama seperti kemarin, Putri menangis, meronta-ronta sambil mengulurkan kedua tangannya kepadaku.
Dari dalam rumah bercat putih itu, aku melihat kain gorden jendela terbuka. Mama putri melihat ke arahku. Saat mata kami bertemu, buru-buru dia menutup gorden itu. Dengan jelas aku melihat, dia sedang menangis. Tapi bukan itu yang membuatku lebih heran, saat mata kami bertemu tadi, aku merasakan ada sebuah getaran menjalari seluruh tubuhku. Tidak mungkin ini cinta. Tidak. Usia kami pasti terpaut paling tidak sepuluh tahun jaraknya.
***
Sama seperti tempo hari. Pintu pagar yang membatasi rumah itu dengan jalan terkunci. Tapi aku tidak menemukan Putri di sana. Jujur, aku tidak bisa untuk tidak memikirkan Putri (dan mamanya), makanya aku kembali.
Kupencet sebuah bel yang terletak di pagar itu. Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda orang di rumah. Kupencet lagi, lagi…tetap tidak ada yang keluar rumah. Aku baru saja berniat pergi ketika pintu depan terbuka. Perempuan yang kemarin di panggil nenek oleh Putri berjalan ke arahku.
”Mmm… boleh saya menemui Putri, saya mau memberikan boneka ini.”
Kulihat ibu itu tertegun sejenak, menatap tajam ke arah boneka beruang di tanganku.
”Putri sedang tidur.” jawabnya kemudian.
”Boleh saya masuk? Ibu pasti mengerti, ada hal yang harus kita selesaikan.”
Ibu itu kemudian membukakan pintu pagar dan mengajakku masuk ke dalam rumah. Setelah mempersilahkanku duduk di sofa. Dia minta izin untuk ke belakang, mengambil air minunm.
Kusapu pandangku ke seluruh ruangan. Melihat kondisi ruang tamu dan sofa empuk yang sedang kududuki, pasti ini keluarga yang sangat kaya. Tiba-tiba mataku berhenti pada sebuah foto keluarga berukuran cukup besar yang dipajang di dinding belakangku.
Foto putri, mamanya, dan … aku.
Ya Tuhan, tak perlu kutanyakan lagi. Ternyata papanya benar-benar hasil foto copy-anku. Kami sangat mirip.
Atau itu memang aku?
Mataku masih menatap lekat pada foto itu ketika nenek Putri muncul dari belakang, membawakanku segelas minuman dingin.
Tanpa kuminta, ibu itu menjelaskan semuanya padaku.
Papa Putri meniggal setahun yang lalu saat gempa dan tsunami melanda kepulauan Mentawai. Saat itu ia dan beberapa rekan satu kantor sedang dinas ke Mentawai. Peristiwa itu terjadi sehari sebelum mereka akan kembali pulang ke Jakarta. Padahal Putri sudah diberitahu kalau Papanya akan pulang besok hari dengan membawa sebuah boneka seperti yang dijanjikannya sebelum berangkat.
Begitulah, setiap hari Putri selalu berdiri di depan pintu pagar menunggu papanya pulang membawakan boneka. Hingga akhirnya aku muncul di sini beberapa hari yang lalu.
”Ibu sepertinya juga sulit mempercayai, tapi kamu sudah lihat sendiri, papanya Putri, satu-satunya anak ibu, memang sangat mirip denganmu.”
Lagi aku menoleh pada foto yang dipajang di dinding ruang tamu itu. Itu benar-benar aku yang sedang memeluk Putri. Siapapun tidak akan menyangkal kalau itu memang aku. Walau terlihat lebih dewasa dengan postur yang lebih besar, tapi tetap saja dia sangat mirip denganku.
”Nak Rahmad…” ibu itu berkata pelan, memanggil namaku.
”Ya Bu..”
Ibu itu kemudian menarik napasnya. ”Maaf kalau ibu lancang, tapi ibu meminta ini demi Putri, maukah Nak Rahmad menjadi papa Putri?”
Duarrrr….
Aku terperangah. Kaget. Apa aku tidak salah dengar? Benarkah ibu itu memohon agar aku menikah dengan mamanya putri? Mimpi apa aku semalam?
”Tapi Bu…. saya….”
”Ibu tidak akan memaksa. Ini bukan hanya keinginan ibu, tapi juga mamanya Putri. Saat melihatmu tempo hari, dia langsung mengutarakan niat itu pada Ibu.”
Menikah? Bukankah niatku datang ke sini untuk mencari kerja?
”Bu, saya baru beberapa hari tinggal di sini, saya ke sini juga hendak mencari pekerjaan, saya masih pengangguran. Saya sama sekali tidak memiliki apa-apa. Lagipula…. menikah? Ini bukan masalah kecil bagi saya.”
”Nak Rahmad, bukannya ibu mau menyombongkan diri, tapi alhamdulillah kami punya cukup harta, almarhum papa putri juga banyak meninggalkan tabungan yang bisa Nak Rahmad jadikan modal untuk usaha nanti, jadi tidak perlu cari kerja lagi.”
Ya Tuhan, apa ini memang sudah takdirku? Pak… Mak… pasti kalian akan pingsan mendengar kabar ini.
”Nak Rahmad bisa pikirkan dulu. Keputusan ada di tangan Nak Rahmad. Kami hanya takut dengan perkembangan psikis Putri yang sepanjang hari selalu berdiri di balik pagar menunggu papanya, dia sangat senang begitu Nak Rahmad muncul tempo hari.”
”Papa!” Putri tiba-tiba muncul sambil berlari-lari ke arahku. Mamanya menyusul dengan langkah pelan.
”Papa bawakan boneka buat Putri?” dia langsung menghambur dalam pangkuanku.
”Iya, ini boneka buat Putri.” kuserahkan boneka beruang yang tadi kubawa.
”Papa tidak akan pergi lagi kan?” tanyanya kemudian.
Aku diam. Harus kujawab apa? Aku melirik mama putri, dia hanya menunduk.
Kedatanganku ke kota ini adalah mencari kerja, sanggupkah aku menjadi ayah? Umurku belum lagi genap 19 tahun.
***
*) Uda Agus, belajar menulis secara autodidak. Tulisan pertamanya dimuat majalah Annida (Juli, 2001). Buku perdananya, kumpulan cerpen berjudul Ngebet Nikah (DAR! Mizan, 2004). Pada tahun 2013 diundang sebagai emerging writer dalam perhelatan sastra Ubud Writers and Readers Festival. Sejak tahun 2011 konsisten menggelar lomba menulis cerpen hingga saat ini. Berdomisili di Payakumbuh, mengelola sebuah rumah baca, Pustaka Dua-2 (Rumah Baca dan Diskusi Sastra). Untuk lebih dekat dengannya, bisa menghubungi uda_agus27@yahoo.com atau di nomor 085274244342.
Mantap Uda Agus!
Makasih atensinya kak