Malaikat tak Salah Membagi Rezeki

1
106

Slamet selalu meyakini bahwa rezeki itu sudah diatur Gusti. Dia tak pernah merasa iri dengan mobil-mobil yang berhenti, yang saat jendelanya terbuka mengulurkan uang dan menukarnya dengan koran dagangannya, Slamet mendapati aroma wangi yang disukainya. Aroma kemewahan. Bahkan saat mendapati bapak-bapak berdasi dengan seorang gadis atau anak laki-lakinya di samping kemudi yang telah berseragam rapi, Slamet tetap tidak iri. Anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu telah mengubur lama keinginannya untuk sekolah seperti mereka. Urusan perutnya jauh lebih penting dibanding tumpukan buku yang mungkin dia pun tak memahaminya.

Nrima. Dia diajari simbok untuk selalu bersyukur, berapapun pendapatan yang dibawanya pulang hari ini. Cukup untuk hidup hari ini, entah esok hari. Malaikat tidak mungkin salah membagikan rezeki. Dia akan memberi sesuai apa yang kita butuhkan. Begitu kata simbok saat dulu Slamet mengeluh mengapa hidupnya selalu begini.

“Slamet, kampanye yuk!” ajak Tarjo, temannya main yang kini sudah jadi pentolan preman di terminal Tirtonadi.
“Kampanye apa?” tanya Slamet ragu. Selama ini dia tidak tertarik dengan hiruk pikuk politik yang menurutnya hanya diisi oleh orang-orang kaya. Dia merasa tak penting. Bukan siapa-siapa.
“Wis to, ikut aja. Nanti dapat kaos, makan, sangu!”
“Naik apa?”
“Motor. Kamu tinggal mbonceng aku,”
Slamet menatapi korannya yang tinggal beberapa lembar. Tapi siang ini dia sudah janji sama simbok akan membantunya mencuci di rumah bu Bei. Upahnya lumayan.
“Nggak ah,” sahut Slamet akhirnya.
“Huuu, bodo! Diajak seneng-seneng dapat duit nggak mau!” ujar Tarjo sambil mendorong kepala Slamet, berlalu dengan langkah gegas. Sementara di kejauhan sudah terdengar raungan-raungan motor yang memekakkan telinga. Slamet mendesah pelan. Apakah tidak ada cara kampanye selain membuat orang menutup telinganya karena raungan motor itu?


Begitu sampai di rumah, Slamet mendapati simbok yang terkapar lemah di kasur tipisnya. Janda tua itu hanya mengerang-erang sambil memegangi perutnya.
“Ada apa, Mbok?” Slamet langsung mendekati simboknya. Tadi pagi saat ditinggalkannya, simbok tak apa-apa. Bahkan wanti-wanti agar lekas pulang karena akan mengajaknya ke rumah Bu Bei untuk mencuci dan beres-beres rumahnya yang gedong itu.
“Mbuh Le… tiba-tiba saja perut ini seperti diremas-remas,” ujar Simbok sambil berusaha untuk bangkit. “Kadang nyerinya hilang sendiri, tapi tiba-tiba muncul lagi,”
Slamet membantu simboknya duduk, bersandar pada dinding papan yang telah reyot. Kemiskinan tidak saja memakan dinding itu, tapi juga mengikis usia penghuninya sehingga nampak lebih tua dari usia sebenarnya.
“Ke Puskesmas ya, Mbok?” tawar Slamet, segera dibalas dengan lambaian tangan Simbok. Menolak.

“Koranmu habis?” tanya Simbok dengan raut wajah menahan sakit.
Slamet menggeleng, “Tinggal sedikit,” sahutnya lirih.
“Yo disyukuri… “ gumam Simbok. “Yang ke rumah Bu Bei kamu saja ya? Simbok ra kuat,”
Tak menjawab, Slamet segera bergegas meraih kembali beberapa lembar koran sisa dagangannya. Dia sekalian mengembalikan koran itu sebelum ke rumah Bu Bei.
Sampai di ujung pintu, Slamet menoleh, menatap simboknya dengan tatapan memastikan bahwa perempuan tua itu akan baik-baik saja. Simbok membalasnya dengan senyum samar. Anak laki-laki yang dibesarkannya seorang diri karena suaminya meninggal tertabrak truk itu kini sudah bisa diajak kerja sama. Slamet bahkan lebih dewasa dibanding anak-anak seusianya. Simbok sangat mensyukurinya.

Slamet kemudian berlalu. Pekerjaan di rumah Bu Bei pastilah banyak. Namun dengan pekerjaan itulah dia akan mendapatkan uang dan itu berarti akan menyambung kehidupan.
“Lhooo, kok kowe yang datang?” tanya Bu Bei saat mendapati sosok Slamet memasuki gerbang rumahnya.
“Simbok sakit, Bu.” Jawab Slamet sambil melepas sandalnya di samping garasi, menghampiri sosok tuan rumah yang sedang duduk di kursi teras.
“Lha kalau sakit kenapa malah kamu tinggal?”
Slamet bingung mau menjawab apa. Kikuk.
Bu Bei mengambil uang dari dompet yang tergeletak di meja sampingnya. Tadi dia usai berbelanja abang sayur yang biasa keliling di perumahannya. Uang itu kemudian diberikan pada Slamet.
“Wis, ini kamu mulih sana, bawa mbokmu ke Puskesmas atau dokter. Kowe rasah nyambut gawe sik,”
Slamet terpana. Antara bingung dan bahagia atas kebaikan perempuan itu. Tangannya gemetar menerima uang itu.
“Lha, kok malah bengong, ndang kana!”
“Nggih… nggih, Bu,” Slamet terbata. Bergegas dipakainya sandal yang telah dilepaskannya. Badannya terbungkuk-bungkuk. Mulutnya tak henti mengucapkan terima kasih.
Di gubugnya Simbok masih nampak terbaring. Wajahnya keheranan begitu mendapati anaknya kembali. Kemudian bulir air matanya menderas saat Slamet menceritakan kebaikan hati Bu Bei.


Musim kampanye masih begitu riuh. Warga seperti lupa tentang visi misi caleg dan partai yang sebagian besar mengobral janji. Lima tahun lalu mereka begitu, setelah selesai pesta demokrasi mereka lupa dengan janji-janjinya. Kini mereka mengulangnya lagi. Warga pun berebut uang lagi. Siapapun yang memberi amplop-amplop mereka terima. Tak peduli besok pilih apa dan siapa, yang penting uang di amplop itu masuk kantong untuk membeli makan.
“Ayo, melu kampanye ora?” Tarjo kali ini kembali mengajak Slamet.
“Partai apa?”
“Merah laaah,”
“Dikasih berapa?” tanya Slamet, hanya sekadar ingin tahu.
“Lumayan buat beli rokok sama pulsa,” jawab Tarjo sambil tertawa.
“Nggak ah, aku wegah nek partai merah, banyak yang korupsi,” jawab Slamet.
“Halaaah, ra sah sok-sokan kowe, ngerti apa kita sama urusan orang-orang partai itu! Yang penting kita dapat duit,” sanggah Tarjo masih di atas motornya yang meraung-raung.
Slamet hanya mengangkat bahu. Tarjo kemudian melesat sambil ngomel-ngomel.


“Saiki ganti partai apa?” tanya Slamet pada Tarjo yang tak bosan mengajaknya kampanye. Bukan masalah kampanyenya sebenarnya, tapi ini kesempatan Tarjo untuk mencoba knalpot motornya. Sambil sesekali merasakan jadi raja jalanan, tanpa helm, teriak-teriak, mengacungkan jari, dan tertawa mendapati orang-orang minggir mengalah tak berdaya.
“Biru dong,”
“Nggak ah, biru juga banyak yang korupsi,” jawab Slamet lagi.
“Bocah kok angel men dikandhani, rasah mikir abang kuning ijo biru, kampanye tuh senang-senang di jalanan!” Tarjo tertawa.
Slamet tersenyum kecut.
“Eh, ini calegnya anak Bu Bei, lho!” tambah Tarjo.
“Oh anaknya Bu Bei jadi caleg? Yang mana?” tanya Slamet.
“Yang nomor 2, Mas Bagus yang punya perusahaan mebel itu,”
“Ooo…”
“Jadi ikut?”
“Ora, hehehe…”
“Dapurmu, Met… Slamet!” ujar Tarjo sambil ngacir meninggalkan teman mainnya itu.


Pagi itu selepas dhuha.
Simbok menunduk menggulung-gulung ujung bajunya. Telinganya memerah berkali-kali mendengar ceramah Bu Bei yang datang tiba-tiba ke rumahnya.
“Dadi ora sah sok-sok nolak dijak kampanye, diwejang anakmu kae!” suara Bu Bei meninggi. “Apa kalian lupa aku pernah ngasih duit buat kamu berobat, Slamet datang nggak usah kerja tapi malah kusuruh pulang bawa duit. Apa kalian lupa?”
“Mboten Bu… mboten,” suara simbok bergetar. Ada yang mengiris hatinya.
“Kalau anakku dadi anggota dewan kan ya untuk kalian-kalian juga warga sini, apa sih susahnya mendukung tetangga sendiri, apalagi tetangga yang telah menolong kalian!”
Slamet yang baru datang dari menjual koran, sayup-sayup mendengar suara Bu Bei yang marah-marah itu. Sungguh berbeda dengan sikapnya tempo hari saat memberikan uangnya. Dia bergegas masuk memeluk simbok yang masih tergugu.
“Nah, pulang juga kamu akhirnya,” kata Bu Bei, “Aku dengar kamu nggak mau ikut kampanye partainya Bagus. Maumu piye?”
“Mboten, Bu, bukan karena Mas Bagus atau siapa. Partai apapun saya juga mboten kampanye karena usia saya memang belum punya hak pilih,” tegas Slamet menjawab.

Sejenak Bu Bei tertegun. Namun sepersekian detik dia kembali nerocos.
“Cuma kampanye aja kan nggak masalah kamu ikut, itung-itung balas kebaikan orang lain. Besok kalau pilihan tunjukkan kalau simbok benar-benar memilih Bagus anakku. Wis, aku bali sik,”
Dia berlalu meninggalkan rumah reyot itu dengan penghuninya yang sedang menahan sakit hati. Ternyata, kebaikan yang diungkit-ungkit ditambahi dengan maksud tertentu yang dijelaskan itu jauh lebih menyakitkan.



Previous articleTips Agar Anak Suka Membaca Buku
Next articlePuisi Jiwa
Rianna Wati
Rianna Wati, lahir di Wonogiri 5 November 1980, saat ini tinggal di Surakarta bersama keluarga kecilnya. Aktivitas menulis dilakukannya sejak SMA dan bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) sejak kuliah di Fakultas Sastra UNS. Saat ini menjadi staf pengajar di Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UNS. Gelar S2 diraihnya dari prodi Ilmu Sastra UGM dan saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di Kajian Budaya UNSBuku-buku fiksi yang pernah terbit diantaranya Elegi Cinta di Karimunjawa, Jatuh Cinta Pada Bunga, Ramai-Ramai Masuk Surga, Biar Cinta Bicara, Cinta adalah Luka, Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf, Arvayuna, Romansa, Petrichor, Salju Sungai Seine, Simfoni Hati dan beberapa buku kolaborasi hasil penelitian dan pengabdian masyarakat. Bisa dihubungi di email: riannawati@staff.uns.ac.id, FB Rianna Wati, Twitter @riannawati dan IG Rianna Wati.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here