Oleh Bunda Dzakiyya
Hari ini Faruk sangat berbahagia. Untuk pertama kali ia diizinkan Ayah dan Bundanya berjalan-jalan bersama dik Shofi ke taman kota.
“Hati-hati, ya Nak!” pesan Ayah dan Bunda, sebelum keberangkatan mereka.
“Insya Allah, Ayah, Bunda….”
“Jaga dik Shofi, ya?”
“Siap!” tegas Faruk yang tahun ini sudah duduk di bangku kelas satu sekolah dasar.
Taman kota sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah, oleh karena itu Ayah dan Bunda tidak keberatan mereka berangkat sendiri. Di taman ada bunga-bunga yang cantik, kolam ikan, dua ekor angsa putih, air mancur dan pohon-pohon rindang. Faruk sudah janjian dengan Anang dan Angga, dua orang teman satu sekolahnya untuk main bersama di taman kota.
Sambil menggenjot sepedanya, Faruk bersenandung. Suara Faruk memang merdu. Sedang Shofi hanya diam di bangku belakang. Namun ketika mereka mendekati taman kota, tiba-tiba Shofi berteriak. “Kak, ada pengemis kecil! Kasihan, pakaiannya rombeng!”
Serta merta Faruk menghentikan laju sepedanya. Ia menatap sosok mungil yang duduk di tepi taman kota dengan tangan tengadah. Usia pengemis itu kira-kira sebaya dengannya, atau mungkin satu dua tahun lebih tua si pengemis.
“Tapi, kita kan tidak bawa uang, Dik Shofi…!”
“Kita bawa roti dan minuman.”
Faruk turun dan mendekati pengemis dengan pakaian compang-camping itu. “Kami tidak punya uang. Apa kamu mau roti dan minuman?”
Pengemis itu menatap Faruk dengan mata berbinar. “Mau. Saya lapar sekali.”
“Ini!” Shofi mengulurkan bungkusan plastik hitam yang sebenarnya adalah bekal makanan mereka.
“Terimakasih, terimakasih!” Pengemis itu mengangguk-anggukkan kepalanya berkali-kali. Faruk dan Shofi tertawa riang, lalu kembali menggenjot sepedanya.
Sampai di taman kota, ternyata Anang dan Angga belum datang. Faruk dan Shofi pun menunggu sambil duduk-duduk di tepi kolam.
“Kasihan ya, pengemis tadi,” ujar Shofi.
“Ya. Tubuhnya kotor, pakaiannya compang-camping.”
“Apakah dia masih punya orang tua?”
“Kakak tidak tahu. Tetapi setidaknya, kita harus bersyukur. Kita punya orang tua, bisa sekolah, hidup enak. Punya sepeda, nggak kelaparan.”
“Tetapi sekarang Shofi lapar, Kak. Bekal kita kan udah dikasihkan ke pengemis itu. Padahal kita belum sarapan.”
“Jangan mengungkit-ungkit apa yang sudah diberikan kepada orang lain, Dik!”
“Eh, iya. Maaf.” Shofi menutup mulutnya sambil tersenyum geli.
“Mudah-mudahan Anang dan Angga membawa makanan. Kita bisa minta bekal mereka.”
“Assalamu’alaikum!” teriak Anang dan Angga serentak. Ternyata mereka sudah datang. Anang membawa bola plastik. “Kita main bola yuuk!”
“Tapi aku kan perempuan,” protes Shofi.
“Nggak apa-apa perempuan main bola!” ujar Anang. “Ayo, main bareng!”
Mereka pun berolahraga dengan gembira di lapangan kecil samping taman kota. Ketika matahari semakin tinggi dan tubuh mulai kelelahan, akhirnya mereka beristirahat di bawah pohon pinus.
“Lapar!” ujar Anang. “Kamu bawa makanan apa, Faruk? Kami, aku dan Angga nggak bawa bekal.”
“Lho, tadinya kami mau minta ke kamu,” ujar Faruk. “Kami juga tidak bawa bekal.”
“Aduuuh, padahal aku haus banget,” keluh Anang. “Kamu tahu, kemana-mana aku pasti kelupaan bawa bekal.”
“Gimana dong. Aku juga lapar,” ujar Angga.
“Shofi juga, Kak,” ucap Shofi sambil menatap sang kakak.
Faruk kebingungan. Rumah mereka memang hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari taman kota. Tetapi untuk menggenjot sepeda sejauh itu, lumayan capek juga.
“Hai!” sapa seseorang tiba-tiba. “Bolehkan kami bergabung?”
Mereka menoleh.
“Nama saya Rangga!”
“Kak, itu kan pengemis yang tadi,” bisik Shofi. “Aku hapal tahi lalat di dagunya.”
Faruk tercenung. Betul, pengemis yang tadi. Tetapi kenapa bajunya sekarang bagus. Dan tubuhnya juga bersih. Di sampingnya bahkan berdiri beberapa orang dewasa yang pakaiannya juga bagus.
“Saya bawa ini!” ujar Rangga sambil menunjuk plastik besar. “Kalian pasti lapar, kan? Makan saja!”
“Tetapi?” Faruk dan Shofi masih kebingungan.
“Maaf, sebenarnya saya bukan pengemis. Saya sedang berlatih akting jadi pengemis.” Jawab Rangga sambil tersenyum, sementara orang-orang dewasa di sampingnya tertawa terbahak-bahak.
“Oh, jadi kamu ini Rangga bintang film cilik itu?” ujar Anang, takjub. “Wah, minta tanda-tangannya, dong!”
Sebenarnya Rangga ingin bermain bersama. Namun ia sangat sibuk, oleh karenanya buru-buru berpamitan. Mereka pergi menaiki mobil yang sangat mewah.
“Sekarang, ayo santap rotinya!”
Faruk membuka tas plastik itu. “Subhanallah,” desahnya. “Roti dan botol minuman ini sama persis dengan yang kami berikan tadi. Ternyata benar, barangsiapa berbuat kebaikan, pasti ia akan dibalas dengan sepuluh kali lipat.”
Shofi menghitung roti dan botol minuman itu, dan keningnya berkerut. “Kenapa cuma sembilan?”
“Hihi…,” Anang tertawa malu, “ternyata susah berbuat curang sama anak-anak sholeh kayak kalian. Ini, satu kusembunyikan.”
“Nggak usah gitu, kamu juga dapat jatah. Yuuk, makan bersama!”
“Alhamdulillah, ayooo!!!”
Mereka pun menyantap roti yang ternyata sangat lezat itu.