Hardi Marbot Mushola dan Uang Dalam Kotak Amal

20
302

“Kenapa aneh begitu ya?”
“Aku juga nggak tahu.”
“Jangan-jangan uang haram.”
“Haram?”
“Uang hasil korupsi.”
“Mana mungkin.”
“Atau uang hasil merampok.”
“Gak masuk akal.”
“Atau uang pesugihan.”
“Ngaco!”
“Kamu senang ya, dapat uang haram? Enak ya?”
Hardi naik pitam. Ia tak terima dikatai senang dengan uang haram. Maka dia berdiri mencengkeram kerah baju Kang Komar, temannya minum kopi selepas magrib.
“Sabar, sabar!” Kang Komar takut juga dengan Hardi. “Aku kan cuma kasih kamu peringatan.”

Hardi melepaskan cengkraman di kerah baju Kang Komar. Sebenarnya ia orang yang tidak mudah terpancing amarah. Ia seorang marbot mushola, sudah seharusnya mempunyai sikap terpuji, salah satunya memiliki kesabaran yang luas. Namun, sungguh ia tak terima jika olok-olok terhadap dirinya menyangkut urusan agama, apalagi urusan uang yang sudah dimakan, menjadi darah dan daging.
Hardi duduk dengan kesal. Keributan itu berawal dari uang dalam kotak amal. Uang merah seratus ribu sejumlah tujuh buah ditemukan Hardi di kotak amal. Awalnya ia mengira ada orang kaya yang dermawan kebetulan solat di situ dan bersedekah memasukkan uang ke kotak amal. Namun, uang itu ada lagi dan lagi setiap Hardi membuka kotak amal. Harus diketahui, Hardi selalu membuka kotak amal setiap akhir bulan sebagai tambahan penghasilan. Memang warga kampung sudah meng-akad-kan kalau berapa pun isi kotak amal, maka uang itu adalah milik Hardi.

Hardi, semua orang tahu, dia yang selama ini mengurus mushola. Setiap pagi, Hardi membersihkan mushola, menyapu dan mengepel serta membersihkan sawang jika perlu. Lalu, di sore hari, Hardi mengajarkan anak-anak mengaji. Ngaji alif, ba, ta anak-anak usia TK dan SD. Santri yang mengaji pun terbilang banyak, sekitar 35 anak berbagai usia. Jangan ditanya berapa gaji Hardi mengurus mushola dan mengajar ngaji. Gajinya adalah seikhlasnya alias tak menentu. Maka itulah, orang-orang sepakat kalau perolehan uang di kotak infak menjadi tambahan penghasilan untuk Hardi.

Sebenarnya selain menjaga mushola dan mengajar ngaji, Hardi juga punya pekerjaan lain. Setiap pagi, setelah beres urusan bersih-bersih mushola, ia berkeliling menawarkan jasa sol sepatu. Hanya saja, kadang Hardi pulang membawa uang, tapi lebih sering tidak. Zaman telah berubah, orang-orang lebih suka membuang sepatu yang sudah usang dan membeli sepatu baru yang lebih bagus daripada harus merawat sepatu butut dengan disol agar awet.

Maka, keberadaan uang di dalam kotak amal yang jumlahnya banyak itu, bagi Hardi adalah sebuah anugerah. Uang itu adalah rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Hardi sering berpikir bahwa uang itu adalah kiriman dari Allah karena kesabarannya memakmurkan mushola.
Hardi juga menggunakan uang dalam kotak amal dengan bijak. Tidak semua uang ia belanjakan untuk kebutuhannya, tapi ia juga menyisihkannya untuk perawatan mushola seperti membeli kain pel, sabun lantai, dan kloset. Bahkan, sekarang ia juga membeli beberapa pot bunga yang diletakkan di halaman mushola agar terlihat semakin asri.

“Maaf jika perkataanku tadi menyinggungmu.” Kang Komar mulai obrolan lagi.
Hardi masih diam. Pikirannya sedang berkecamuk menerka-nerka dari mana asal uang itu. Selama ini, Hardi tak pernah memikirkan berasal dari mana uang yang ia pakai untuk berbelanja. Baginya cukuplah uang itu telah berada di kotak amal, maka halal hukumnya. Ya, orang bersedekah kan bebas, dari mana saja bukan urusan yang menerima sedekah. Bukankah begitu? Tapi, apa yang baru saja dikatakan Kang Komar mengusik hatinya. Bagaimana jika apa yang dikatakan Kang Komar benar? Uang itu berasal dari sumber yang haram. Maka, Hardi menjadi pusing. Ia pun mulai menyesal kenapa langsung membelanjakan uang itu tanpa menelitinya terlebih dahulu.

“Sudah, lupakan saja perkataanku tadi.” Kang Komar mencoba tersenyum dan berbicara santai.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Hardi kemudian.
“Hah?”
“Agar aku tahu kalau uang itu halal.”
Sekarang giliran Kang Komar yang diam, pusing dengan pertanyaan Hardi.
***

Obrolannya dengan Kang Komar memberinya ide. Mulai hari ini, Hardi akan mengawasi kotak amal. Siapa yang terlihat memasukkan uang, maka setelah orangnya pergi, Hardi akan membuka kotak itu dan memastikan berapa jumlah uang yang dimasukkan.

Hardi mulai melakukan aksinya. Ia mencoba mengawasi kotak amal sebisa mungkin. Pagi, siang, malam ia awas memperhatikan. Setiap ada orang yang datang untuk salat lalu pulang, Hardi selalu membuka kotak amal itu. Mengecek apakah ada uang lembaran seratusan ribu tujuh lembar di dalamnya.
“Gimana?” tanya Kang Komar pada hari ke lima pengintaian.
Hardi mengedikkan bahu. Nihil.
“Mungkin besok.”
“Bisa jadi.”

Hari ke sepuluh, hari ke dua puluh hingga hari ke dua puluh sembilan, Hardi terus mengintai tapi belum juga mengetahui siapa dermawan yang menyumbang uang begitu banyak. Dalam kotak amal tidak ditemukan uang ratusan ribu berjumlah tujuh buah. Yang ada hanya uang satu atau dua ribuan dan lima ratusan sumbangan dari orang-orang yang solat di situ.

“Sudah kubilang lupakan saja. Anggap saja malaikat yang memasukkan uang ke kotak itu.”
Hardi menggeleng tegas. Ia tidak mau menyerah.
“Jika benar-benar malaikat yang memasukkan uangnya, maka ….” Kang Komar berhenti bicara. Gelas kopi yang ada di tangannya pun diletakkan di meja. “Kau tak akan pernah menemukan uang lagi jika terus mengintai!” seru Kang Komar mengagetkan.
Hardi menghela napas panjang dan tidak lagi berselera membicarakan masalah ini pada Kang Komar. Tidak masuk akal, begitu pikir Hardi.

Ini hari ke tiga puluh pengintaian Hardi. Ia bergegas mengecek kotak infak setelah solat subuh berjamaah selesai dan para jamaah pulang. Nihil. Tak ada uang merah satu lembar pun. Perasaan Hardi menjadi aneh, selayaknya warna abu-abu. Tak jelas apakah dia senang atau sedih karena tidak menemukan uang merah seratus ribuan itu. Satu sisi hatinya senang karena tidak lagi was-was dengan status uang itu. Namun, satu sisi hati yang lain merasa sedih karena ia tidak mendapatkan rezeki nomplok seperti yang sudah-sudah.

Hardi pun pulang ke pondoknya yang satu tembok dengan mushola. Memang rumahnya satu bangunan dengan mushola, rumah dinas kalau bahasa kerennya. Bukan rumah milik pribadi. Hardi pun mencoba melupakan kotak amal yang kosong dan mulai melakukan kegiatan seperti biasa, sarapan dulu baru kemudian bersih-bersih mushola dan siap-siap pergi keliling kampung menawarkan jasa sol sepatu pada orang-orang.

Beberapa saat setelah semua urusan beres, Hardi bersiap keliling menawarkan sol sepatu. Saat itulah, ia kembali masuk mushola. Ia melihat kotak infak itu seakan melambai-lambai padanya. Secepat kilat, Hardi membuka kotak amal dan mendapati tujuh lembar uang ratusan di dalamnya.
“Masyaallah!” pekik Hardi entah kaget entah senang.
Tapi pikirannya kembali bimbang. Siapa yang memasukkan uang ke dalam kotak amal? Bukankah selama ia bersih-bersih tidak ada satu pun orang yang masuk mushola? Ya Allah! Mungkinkah benar kalau malaikat yang memasukkan uang ke kotak amal? Hardi terpekur, di tangannya tergenggam tujuh lembar uang ratusan ribu.
***

Hardi sudah menyerah. Ia tidak mau memata-matai dermawan yang memasukkan uang ke kotak amal. Ia sudah pasrah, mengambil keringanan untuk dirinya sendiri dengan menyakini bahwa uang dalam kotak amal itu halal. Uang apa pun yang sudah disedekahkan maka bagi yang menerima sedekah, uang tersebut halal. Titik.

Enam bulan lamanya, kotak infak itu terus-terusan memberi uang seratus ribu berjumlah tujuh buah. Hardi masih sama, memgambil uang itu dan memakainya dengan bijaksana. Setelah kebutuhan pokok terpenuhi, ia gunakan uang itu untuk menambah koleksi bunga di halaman mushola, membeli papan tulis baru untuk mengajar mengaji, dan juga membuat kado sederhana untuk santri-santri mengaji yang rajin berangkat dan cepat naik halaman iqro.
Selama itu pula, Hardi mempunyai kesibukan lain yaitu mengurus bunga-bunga yang semakin banyak dan indah. Satu, dua, tiga, hingga puluhan pot bunga disukai oleh jamaah solat dan dibeli. Hardi pun menjadi pedagang bunga.

Bulan ke tujuh, saat Hardi membuka kotak infak, uang ratusan ribu itu sudah tidak ada. Hanya ada uang receh lima ratusan dan beberapa uang lima ribu dan dua ribu-an. Namun, saat ini Hardi tersenyum melihat kotak amal itu. Ia tidak sedih saat tidak mendapat rezeki nomplok. Hardi merasa telah mampu mengurus dirinya sendiri. Penjualan bunga-bunga di halaman mushola memberinya rezeki yang cukup untuk hidup. Hardi meyakini apa yang dikatakan oleh Kang Komar, “Jangan-jangan memang malaikat yang memasukkan uang di kotak amal untukmu.”

Ya, bisa jadi seperti itu. Manusia berhati malaikat, begitu lebih masuk akal. Hardi meyakini, ia harus berterima kasih pada dermawan yang belum diketahui hingga saat ini. Rasa terima kasih itu ia wujudkan dengan berkeliling solat di mushola kecil dan memasukkan uang ratusan ribu ke kotak amal. Mushola yang juga kecil sama seperti mushola tempatnya mengabdi.


20 COMMENTS

  1. Hmm… kira-kira siapa ya yang memasukkan uang ke kotak amal? Jangan-jangan Kang Komar sendiri. Awalnya aku takut kalau Hardi akan jadi bergantung dengan uang pemberian itu, tapi untungnya tidak, ia malah memanfaatkan uang itu untuk modal usaha. Dan si “malaikat” sepertinya memang punya niat begitu.
    Cakep lah pokoknya.

  2. Ya allah suka sekali ceritanya.. Heartwarming, awalnya mngira uangnya dipakai kebutuhan pribadi saja, ternyata cukup bijak hardinya, apalagi klo merasa uang misterius saya pikir memang mending dipergunakan buat kemashlatan mesjid saja, tapi sepertinya si penyumbang memang ingin membantu hardi ya.. Buktinya saat si hardi mulai punya penghasilan berjualan bunga, sumbangan sdh tidak ada.. MasyaAllah 😊

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here