Sejak tiga menit yang lalu, Ahmad memandangi mata anaknya, Umar. Siapa sangka tak ada hujan tak ada petir tiba-tiba remaja belasan tahun itu ingin menjadi muadzin? Lebih tepatnya menggantikan Pak Gani sang muadzin tetap sejak sepuluh tahun terakhir. Ahmad menggeleng.
“Ayah tak percaya Umar bisa adzan?”
Detik berikutnya Umar mengangkat tangan, jari jempol dan telunjuk melekat di bibir membentuk corong.
“Allahu akbar Allahu akbar!!”
Ahmad cekatan membekap mulut Umar. Matanya melirik jam dinding di tembok belakang Umar berdiri. Tepat jam sembilan malam. Apa kata tetangga mendengar teriakan dari rumah ketua DKM malam-malam begini?
Maka di sisa malam itu, dia masih belum menemukan jalan keluar. Umar menekuk wajah saat melangkah ke kamarnya. Sementara Ahmad berlayar pada kepingan-kepingan fakta yang bisa dijadikan alasan menolak keinginan anaknya. Pada kepingan pertama justru yang muncul adalah wajah mendiang bapaknya. Lelaki berjenggot tipis itu, sang bapak, berdiri menentang kunci engkol sepeda setelah membetulkan pedal yang copot. Dengan sebelah tangan, bapak membantu Ahmad kecil menaiki sepeda. Lalu tawa terbahak-bahak meluncur dari mereka. Tawa Ahmad baru berhenti setelah berbalik menuju rumah tidak mendapati bapak berdiri di tempat semula. Bapak hilang bersama kunci engkol pedal secara harfiah. Sejak itu Ahmad tidak pernah berjumpa lagi dengan bapaknya. Hanya momen itulah yang diingat Ahmad beserta sepotong kalimat, “jadilah pemberani, penerang umat.”
Dia sangat mencintai sang bapak.
Ahmad menoleh ke kamar Umar, lampu sudah dimatikan.
***
Pak Gani berjalan tertatih memegangi tongkat menuju masjid. Sandal selopnya berbunyi srat sret, seolah merintih diseret sedemikian rupa. Rumahnya paling ujung perumahan. Tiap kali menuju masjid, ia menyempatkan menoleh ke gerbang rumah Ahmad. Tepat dua rumah dari sana, ada belokan, di situlah letak masjid. Sembari berjalan, kisah Wahsyi bin Harb senantiasa memenuhi kepalanya. Pikirannya memutar ulang kejadian-kejadian yang menimpa Wahsyi. Dari budak, lalu demi merdeka membunuh Hamzah sang Singa Allah, bertaubat, berjihad membunuh Musailamah si nabi palsu, tetapi mati dalam kondisi pemuja khamr. Pak Gani tak mau memiliki akhir kisah seperti Wahsyi.
Kisah yang ingin dijalani Pak Gani sebagai penutup hidupnya sungguh mulia; menjadi muadzin. Walau ia sadar untuk menghapus jejak kelam masa silam tak cukup waktu sepuluh dua puluh tahun. Namun, semangat yang ditiupkan Ahmad dan selarik senyum Ustadz Umar pada suatu waktu dulu seolah memberikan daya begitu besar. Ia ingin kembali pada jalan Allah. Ia pun rela meninggalkan kedinasan yang memberinya kemewahan hidup. Tak hanya itu, ia juga harus merelakan menyelesaikan sisa umurnya tanpa istri, anak, dan sanak famili. Para penguasa yang selama ini ditaati, melepaskan Pak Gani setelah perjanjian demi perjanjian disepakati, termasuk memutuskan segala hubungan yang pernah dijalin. Pak Gani benar-benar ingin membersihkan tangan dari lumuran darah para pejuang islam. Apa gunanya semua keahlian yang dimiliki bila sandang pembunuh pembela gama islam harus dipikul hingga mati? Bagaimana ia akan menghadap Allah kelak? Pak Gani bergidik membayangkan semua itu.
Pintu gerbang biru berderit tepat saat Pak Gani mendongakkan kepala. Itu salah satu rutinitasnya. Gerbang itu memiliki magnet yang akan menyedotnya dalam pusaran masa lalu.
“Oh! Ehm … ehm, assalamualaikum, Pak Gani,” suara Umar terbata menutupi rasa kaget mendapati Pak Gani di depan gerbang yang baru dibukanya. Lelaki tua yang ingin digeser kedudukannya sebagai muadzin masjid. Sudah waktunya generasi tua digantikan yang muda. Bagaimana islam akan maju bila pos-pos dakwah dikuasai generasi tua? Namun, bertatapan mata dengan Pak Gani seintim ini membuat nyali Umar luruh. Pesan ayahnya mendengung di telinga; hormati orang yang lebih tua darimu. Siapapun orang itu. Lalu senyum yang dipaksakan itu pun merekah.
Pak Gani menjawab salam Umar dengan lirih hampir-hampir tak terdengar oleh telinganya sendiri. Senyum pemuda di depannya itu entah bagaimana mampu mengiris kenangannya. Sama seperti gerbang biru yang selalu ditengoknya. Ia ingin mengucapkan banyak kata kepada pemuda itu. Kalimat-kalimat panjang berisi kisah-kisah masa kelam itu berjejalan. Pak Gani diuntungkan oleh kapasitas otaknya yang mulai menurun sehingga tak satupun kalimat gegabah meluncur dari mulut. Ia masih waras. Kewarasan itulah yang membawanya ke sini sepuluh tahun lalu, meninggalkan pangkat, harta, dan keluarga.
“Kemarilah,” suara Pak Gani serak. Umar menyambut uluran tangan Pak Gani, menuntunnya. Dua lelaki antargenerasi itu beriringan tanpa banyak bicara. Pak Gani sibuk memilih kalimat terbaik untuk diucapkan, sementara pikiran Umar berkecamuk antara kasihan dan kesal. Kalimat-kalimat dari kedua lelaki itu tetap menggantung saat kaki mereka melangkah ke teras masjid. Waktu berbicara telah habis. Tak ada satupun kalimat berhasil ditarik.
***
“Umar, bagus sekali keinginanmu itu. Membuat vlog konten adzan remaja. Tetapi mengusulkan namamu dan teman-temanmu menggantikan Pak Gani, tak bisa ayah lakukan,” ujar Ahmad sembari menelan ludah.
Kecipak ikan di kolam depan rumah asyik menyahut selagi Umar masih mengunci mulut. Sebulan sudah berlalu dan tidak ada perkembangan. Padahal selama itu pula Umar berusaha menyakinkan ayahnya untuk memberi kesempatan sekali saja mengumandangkan adzan.
Ahmad memberikan jeda waktu cukup lama. Ingin mendengar seberapa kuat keinginan anaknya itu. Apakah ia telah berhasil mendidik Umar seperti wejangan Bapak? Menjadi lelaki pemberani seperti Umar bin Khaththab. Atau sejauh ini barulah berhasil memberinya nama Umar saja?
“Awalnya memang untuk ngevlog. Tapi kalau bagus bisa seterusnya. Ayah ‘kan ketua DKM. Tinggal mengubah jadwal, apa susahnya, sih?” Umar membuang muka menghadap kolam. Kedua tangannya berlipat di dada. “Yah, tiap zaman butuh regenerasi. Kasih kesempatan bagi anak muda untuk berkarya.”
Ahmad berdiri mematung, menghentikan aktivitas menebar pakan ikan. Menunggu kalimat berikutnya dari Umar.
“Umar tak apa nggak usah dikasih amplop.”
Kaleng makanan ikan terjatuh dari tangan Ahmad. Gelontangan menubruk pot adenium di pinggir kolam. Mata Ahmad tajam menatap Umar. Ia mengepalkan tangan. Wajahnya memerah. Anaknya berbicara amplop?
Melihat reaksi ayahnya, tubuh Umar menegang. “Ke-kemarin Umar melihat sendiri … ayah menyelipkan amplop ke tangan Pak Gani. Pak Gani nggak mau digantiin karena takut nggak dapat amplop dari ….“
“Cukup! Jaga lisanmu!”
“Ayah.” Air mata Umar mengintip dari tubir mata. Nada bicara tinggi seperti ini jarang digunakan Ahmad. Umar berlari keluar gerbang, menutupnya dengan kasar.
Ahmad mengusap kepala, menyisir rambutnya dengan jemari secara acak. Sejenak ia memejamkan mata. Ada sesal telah memarahi anak semata wayangnya. Namun, juga rasa terkejut tak berkesudahan menyadari anaknya tumbuh menjadi manusia yang memiliki pikiran sendiri. Seperti baru kemarin ia menimang bocah itu. Sejak Umar lahir, Ahmad bertekad akan memberikan kasih sayang terbaik. Cukup hanya ia seorang yang merasakan kesepian tanpa kehadiran bapak.
Adzan Maghrib melaung dari masjid. Suara serak tanpa nada kecuali lengkingan menukik dari Pak Gani. Sepuluh tahun lalu Pak Gani datang ke masjid. Menemui Ahmad di dekat mimbar setelah shalat Asar. Kurang lebih dua jam, telinga Ahmad khatam mendengar keinginan Pak Gani untuk taubat dan menebus masa lalu. Ia pun menunjukkan sebuah rumah kosong yang dijual di ujung perumahan. Pak Gani membelinya. Sejak saat itu Pak Gani menjadi muadzin tetap shalat lima waktu kecuali hari Jumat.
“Beri saya kesempatan melaungkan adzan, Nak Ahmad. Saya ingin menutup mata dengan kalimat adzan. Saya takut menjadi Wahsyi.” Berkali-kali Pak Gani menyebut kata Wahsyi dan Hamzah. Ahmad tentu tahu, kisah itu. Bagaimana Wahsyi membunuh sahabat utama Nabi yang bergelar Singa Allah itu di perang Uhud. Tetapi Ahmad tidak tahu, apa hubungan antara kisah itu dengan Pak Gani.
Hanya saja, mata berkaca-kaca Pak Gani menusuk hati Ahmad. Seketika ingatan akan bapaknya hadir. Bila bapak masih di sini, mungkin sepantaran dengan Pak Gani. Ahmad pun akhirnya mengizinkan Pak Gani sebagai muadzin.
“Dulu saya melakukan kekejian ….“
“Pak, biarlah kisah itu tertutup. Aib masa lalu sudah disimpan Allah.”
“Boleh saya memelukmu?”
***
Umar mulai memahami alasan Pak Gani menjadi muadzin tetap. Bukan karena penjelasan Ahmad tentang masa lalu Pak Gani, tetapi setiap waktu magrib Umar menuntun Pak Gani ke masjid. Ahmad sendiri belum di rumah saat magrib selama hari kerja. Sepanjang perjalanan itu Pak Gani bercerita banyak hal. Namun, ada kisah spesial yang disukai Umar, tentang seorang lelaki yang juga bernama Umar, tokoh yang dikagumi Pak Gani.
“Ustadz Umar mempunyai integritas tinggi. Sebagai anggota sebuah organisasi islam, uang, kedudukan, hingga siksaan fisik tak membuatnya gentar mempertahankan kebenaran. Kau tahu apa yang diucapkannya setiap kali selesai disiksa?” Pak Gani menarik napas. Usia yang tak muda lagi membuatnya kesulitan berbicara berpanjang lebar dalam satu waktu.
Umar memiringkan kepala, siap menanti kelanjutan cerita Pak Gani.
“Allah … Allahu akbar. Islam akan bangkit lagi. Janji Allah.” Pak Gani berhenti lagi. “Para penjahat itu tak memberinya kesempatan shalat. Tapi Umar tetap shalat dalam kondisi berdiri, meringkuk di dalam ban, di balok es. Tergantung siksaannya. Sungguh pemberani.”
“Pak Gani pernah bertemu dengannya?”
Raut muka Pak Gani mendadak pucat. Ia mengangguk lemah. “Saya beruntung.”
Umar tidak begitu mendengar kalimat terakhir Pak Gani. Hari-hari berikutnya mereka semakin akrab. Janji Ahmad yang akan memberikan satu kesempatan bagi Umar untuk mengumandangkan adzan akhir Ramadhan ini sudah cukup menentramkan hati. Pak Gani pun bersemangat melatih Umar dan teman-temannya beradzan. Walau dalam hati anak-anak remaja itu menahan diri, tapi demi memuluskan pengambilan gambar adzan, mereka tunduk. Berpura-pura berlatih bersama Pak Gani setelah sholat isya. Padahal suara Pak Gani tidak ada indah-indahnya. Mereka lebih lihai menirukan cengkok adzan di Youtube.
***
Gerimis sedari petang mengguyur tipis-tipis. Umar bangkit dari duduknya, berdiri melongok jalanan, duduk lagi, berdiri lagi, menunggu di teras kalau-kalau Pak Gani lewat. Payung dan gerbang sudah dibuka. Bila Pak Gani datang, ia bisa langsung keluar. Namun, lelaki tua itu belum juga tampak padahal jarum jam sedikit lagi menuju waktu adzan magrib. Setelah berperang dengan pikirannya, Umar memutuskan berangkat tanpa menunggu Pak Gani. Bulan Ramadhan seperti ini adzan magrib sangat ditunggu warga perumahan. Berkali-kali Umar menengok ke belakang demi memastikan kehadiran Pak Gani. Jadwal adzan dari ayahnya masih seminggu lagi. Hati Umar risau hendak mengumandangkan adzan, sekaligus mulai mengkhawatirkan Pak Gani. Apakah baik-baik saja? Mungkin gerimis membuat Pak Gani terhalang ke masjid, batin Umar.
Di masjid belum ada jamaah yang datang. Hidangan takjil masih dalam kotak makanan. Belum tampak jamaah ibu-ibu yang biasanya mengatur takjil. Umar membuka lipatan ujung celananya. Waswas berkelindan dalam hatinya. Kembali Umar mengusapkan jemari yang basah ke celana. Tangannya gemeter memegang mikropon. Benarkah sekarang ia akan adzan?
“Umar ….”
Alhamdulillah. Hati Umar bersorak riang. Padahal sebulan yang lalu ia ngotot ingin menggantikan Pak Gani sesegera mungkin. Umar meletakkan mikropon, menyongsong Pak Gani di pintu masjid. Alangkah terkejutnya melihat wajah Pak Gani pucat pasi. Sarung bagian bawahnya basah, tangan keriputnya masih memegang gagang payung.
“Ayahmu belum pulang?”
Umar menggeleng cepat seraya menuntun Pak Gani ke dekat mimbar, tempat adzan. Ia menyerahkan mikropon, merapikan gulungan kabel.
“Ini … nanti berikan pada ayahmu.” Pak Gani menyorongkan bungkusan plastik putih. Dahi Umar mengkerut. “Bilang pada ayahmu, Ustadz Umar meninggal dengan tersenyum.”
Umar menatap mata Pak Gani. Tidak mengerti arah percakapannya. Pak Gani sering sekali menceritakan tentang lelaki bernama Umar yang dia kagumi. Tapi, sebesar apa kekaguman itu sampai-sampai saat dalam kondisi seperti itu, dia masih mengingat lelaki itu: Ustadz Umar.
“Masih ingat kisah Ustadz Umar yang sering kuceritakan? Nah, Umar yang pemberani itu meninggal dengan senyuman.” Pak Gani mengambil mikropon, memunggungi Umar. Setelah menerima bungkusan itu, Umar beranjak ke shaf shalat. Keduanya kemudian membatalkan puasa dengan segelas air putih.
“Allahu akbar, Allahu akbar.”
Suara Pak Gani menggema memenuhi ruang masjid. Umar duduk bersila sambil menimang-nimang bungkusan, mengira-ngira apakah isinya.
“Asyhadu alaa illaaha ilallaah … wa asy hadu—“ suara Pak Gani terputus. Tubuhnya limbung.
Umar melonjak dari duduknya. Berlari hendak menopang tubuh Pak Gani yang meluncur ke lantai. Umar berhasil menangkapnya, mereka terguling dekat mimbar. Tubuh Pak Gani terkulai. Matanya menatap jauh. Jantung Umar berdetak kencang.
“Ya Allah. Pak, Pak Gani, Pak … bangun, Pak,” suara Umar gagap. Ia mencoba menepuk pipi Pak Gani. Pak tua itu tak bereaksi. Umar meraba lehernya, tanda kehidupan telah hilang. Tak putus asa, Umar meraba telapak kakinya. Dingin. Satu tetes air keluar dari mata Umar.
“Inna lillaahi ….” Tak kuasa Umar menyembunyikan sesak dadanya. Tangisnya meledak. Meraung bersahutan dengan suara hujan dan petir yang menyambar-nyambar di luar masjid. Ia memeluk Pak Gani, mengguncangnya. Dengung mikropon menyadarkan Umar. Ia mengambilnya, berdiri tegak menghadap kiblat sesenggukan.
“Asyhadu alaa illaaha ilaallaah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah ….” Tangis pun bersusulan sepanjang meneruskan kumandang adzan. Umar benar-benar merasa berat meneruskan adzan ini. Hatinya serasa pecah. Makna kalimat-kalimat perjanjian dalam bahasa arab itu pun merasuk dalam jiwanya.
***
Pak Gani sudah dua hari berkalang tanah. Namun, duka masih menyelimuti hati Umar. Akhir pekan yang biasanya diisi dengan berkumpul teman-teman sekolah, hari ini ia habiskan merenung di kamar. Ia masih belum percaya Pak Gani telah pergi. Mereka baru saja akrab, bertukar cerita, dan rahasia-rahasia kecil.
“Bagaimana kelanjutan proyek vlog kalian?” Umar terlonjak seketika. Ia tak menyadari kehadiran Ahmad. “Tak baik melamun terus. Sana telpon teman-temanmu.”
Umar menggeleng.
Ahmad berjalan mendekati meja belajar Umar. “Ayah tak pernah memberikan amplop pada Pak Gani. Justru Pak Gani yang tiap bulan membiayai operasional masjid.”
Bungkusan plastik putih di meja belajar Umar menarik perhatian Ahmad. Ia mengambilnya, membolak-balikkan.
“Itu … maaf Umar lupa. Itu untuk ayah dari Pak Gani. Juga … katanya Ustadz Umar telah meninggal dengan tersenyum.”
“Maksudmu?”
Umar mengedikkan bahu. “ Itu saja.”
Ahmad mengamati bungkusan itu lalu membukanya. Sebuah kunci engkol sepeda. Sejenak pikiran Ahmad tersedot ke pusaran waktu. Ia melayang-layang mencerna kehadiran benda ini. Kunci engkol yang menghilang bersama raibnya Bapak.
“Apa kata Pak Gani?” Ahmad berusaha menekan suaranya. Ledakan dahsyat telah bersiap-siap menghamburkan isinya.
“Ustadz Umar itu lelaki yang menjadi idola Pak Gani. Dari beliau, Pak Gani banyak belajar. Pemberani membela agama.”
“Ustadz Umar telah meninggal, katamu?”
“Ya.”
Umar mengamati perubahan raut muka ayahnya. Rahangnya mengeras, bibir bawahnya digigit, kedua alisnya bertautan. Kini bahunya mulai bergetar.
Lintasan percakapan Ahmad dengan Pak Gani sepuluh tahun lalu kembali melintas, “masihkah Allah mengampuni? Aku membunuh banyak orang.”
“Umar, kau tahu mengapa aku memberimu nama Umar?” tanya Ahmad.
“Umar menggeleng.”
“Karena aku sangat mencintai bapak, yang juga kakekmu. Bapak yang menghilang bersama kunci engkol sepedanya. Nama lengkap kakekmu Muhammad Syarifuddin Umar. Nama Umar jarang dipakai, sehingga orang lebih mengenal dengan MUhammad Syarifuddin saja. Namun, semasa beliua muda, nama panggilannya sama denganmu.” []