Untuk Cinta Selamanya

2
84

Pusat kebahagiaan sepenuhnya berporos pada dimensi dimana kau berpijak. Kini, aku di sini melihatmu berbalut gaun pengantin hijau dengan permata seputih kolam susu yang berkilauan ditimpa sorot. Semakin membuatmu cantik dengan senyum yang selalu terpancarkan itu. Aku ingat betul saat kita bertemu untuk yang pertama kalinya.

*****

“Hei, lihat itu, aku biasanya melihat seperti dari di televisi. Seram.”
“Jangan dilihat, katanya bisa nular.”
Aku duduk di bawah pohon dengan kepala tertunduk sembari menatap lesu lengan kiriku. Apa hanya karena ini mereka tidak mau bermain denganku? Apa salahku? Kecelakaan itu bukan kemauanku. Tepat tidak jauh dariku, di antara kerumunan anak seusiaku, aku sempat melihatmu. Mengenakan jilbab ungu yang belepotan akibat tomat yang kau kunyah.

“Hatim! Aduh, kamu ini jangan keluyuran dong, dicariin Ibu.” Seorang remaja laki-laki memanggilku. Aku menerima uluran tangannya dan beranjak pergi. Aku menoleh sekilas dan mendapatimu sedang melambai padaku. Aku hanya diam dan kembali berpaling. Mungkin saat itulah takdir sudah mulai membuat jalan ceritanya.

*****

Besoknya setelah pulang sekolah, aku kembali ke taman bermain. Duduk bersandar di bawah pohon. Saat itu, kau datang dan berjongkok sambil mengulurkan sebuah tomat.
“Hai, namaku Rainan. Siapa namamu?”
“Hatim.” Sedikit ragu aku menerima tomat itu.
Kau tersenyum kemudian. Aku masih kelas 2 SD saat itu, dan sejak itulah aku menyukai senyumanmu. Aku jadi memiliki kebiasaan baru. Setiap pulang sekolah, aku selalu ke tempat itu untuk bermain denganmu. Kau sudah menjadi teman pertama yang membuatku nyaman bermain.

“Kamu mau melanjutkan sekolah di mana?” tanyamu suatu hari.
Aku terdiam sambil terus menulis di buku catatanku. Sebenarnya aku tidak pernah terpikir untuk melanjutkan sekolah daripada terus mendengar ejekan yang kuterima. Apalagi, hei, bukankah kita masih terlalu cepat membicarakan kelulusan?
“Aku mau sekolah di SMP Al-Imani. Itu pesantren. Aku ingin jadi penghafal Al-Quran,” ucapmu bersemangat dengan tangan yang mengepal ke atas
“Aku kepikiran sesuatu.” Ucapku akhirnya. “Kenapa kamu mau berteman denganku?”
Kau menoleh. “Apa tidak boleh?” tanganmu menunjuk lengan kiriku. “Mulai sekarang, jangan ditutupi lagi. Jadilah dirimu sendiri.”
*****

Aku tersenyum geli saat mengingat kembali moment itu. Sekarang lihatlah, perempuan dengan kerudung ungu belepotan tomat itu sudah menjelma menjadi bidadari. Aku juga mengingatnya, gara-gara ucapanmu itu, aku membuat pilihan besar. Aku bertekad untuk masuk di sekolah yang sama denganmu.
*****

Di sinilah aku, di depan asrama putra pondok Al-Imani. Ibu memelukku begitu erat dan aku meyakinkannya kalau aku sudah mantab disini. Kak Anan menyikut lenganku dan berbisik,
“Hoi, yang serius lho sekolahnya. Jangan cuma mikirin cewek.”
“Apa sih?” sungutku sebal.

Dengan menggendong tas punggung dan menyeret koper, aku berjalan masuk asrama. Aku mulai menjalani kehidupan anak pondok yang penuh lika-liku. Aku sedikit berat menjalaninya apalagi dengan kondisiku yang bisa dibilang kurang biasa. Tapi alhamdulilah, aku bersyukur karena teman-teman di sini menerimaku dan menghargaiku. Ustadz dan Ustadzah juga memperlakukan kami dengan sangat baik.
Walau begitu, kesulitan demi kesulitan tak bisa kuhindari.

Kelas 7, aku lulus dengan nilai cukup buruk. Aku juga tidak pernah melihat atau pun mendengar namamu selama di pesantren. Sampai suatu hari yang cukup lama, aku baru tau, kau tidak bersekolah di sini. Aku sempat putus asa, kenapa kau membohongiku? Banyak sekali ujian yang kuhadapi tapi kau malah menghilang. Tahukah, aku ke sini karenamu. Aku sering tertolak ujian tahfidz, pelajaran juga membuatku pusing. Aku menangis merindukan Ibu, Kak Anan, juga Ayah. Tapi aku sudah berjanji pada Ibu agar belajar dengan baik. Ustadzku bilang, kita harus melaksanakan semuanya dengan niat baik karena Allah, bukan niat yang melenceng. Teman-teman disini juga saling mengingatkan agar memperbaharui niat kami. Saat itu, hidayah mungkin masuk ke hatiku. Aku berhenti memikirkanmu. Aku mulai fokus belajar dan hafalan. Suatu hari, Ibu bertanya kemana aku akan melanjutkan sekolah. Sempat terpikir olehku ingin bersekolah yang sama denganmu, tapi apalah daya, keberadaanmu saja aku tak tahu. Aku kembali memutuskan dengan mantab akan melanjutkan di SMA Al-Imani.

“Hafalan terbaik angkatan dua belas kategori putri! Rainan Mahendra!” Kepalaku refleks mendongak ke panggung. Tepat diatas panggung, kau muncul dengan senyuman yang sudah lama tidak kulihat. Sudut hatiku bergetar setelah sekian lama. Bisa-bisanya aku bertahun-tahun selama ini tidak menyadari kalau kita pada akhirnya bisa bersekolah di SMA yang sama.
“Hatim, ghadul bashar.” Arkan, salah satu temanku mengingatkan.
“Eh.” Astaghfirullah. Aku segera menunduk. Ingat Hatim, pandangan pertama adalah rezeki, pandangan kedua diharamkan. Tapi tadi kan masih pandangan pertama, teganya Arkan. Aku menggelengkan kepala mengenyahkan pikiran.

Aku tidak tahu kenapa kau tiba-tiba memilih melanjutkan bersekolah disini. Aku terkadang memikirkanmu dan beristighfar kemudian. Pernah saat ada jadwal penjengukan aku meminjam hp ibu dan mencari-cari namamu di instagram. Pekikanku tertahan menemukan akunmu. Wajahku berusaha stay cool tapi sepertinya gagal.
“Oh, jadi ini perempuan yang berhasil memancing hatimu. Yah, gagal kepo karena di privat. Sabar ya adik,” kakakku tertawa jahil mengintip diam-diam dari atas kepalaku.

Aku merengut dan memilih tak peduli.
Kau selalu menjadi santriwati dengan hafalan terbaik di angkatan kita selama 4 semester. Timbul keinginanku untuk menjadi santriwan terbaik. Aku berusaha keras untuk itu dan tak lupa memperbaiki niat. Pada semester terakhir di kelas 12, akhirnya aku berhasil menjadi santriwan terbaik. Aku maju ke depan dengan gugup. Bukan karena banyak orang yang melihat. tapi karena tahu aku akan berdiri di panggung yang sama denganmu.

*****

Aku diterima kuliah di universitas pilihanku.
Ibu menyentuh pundakku. Matanya berkaca-kaca mengamati jas almamater yang kupakai. “Ibu tak pernah menyangka kau sudah berjuang sejauh ini. Ibu bangga sekali.” Ucapnya lalu mencium pelipisku.
Aku menggenggam tangannya. “Aku sudah bilang kan Bu, tenang saja, aku akan selalu berusaha yang terbaik dan membahagiakan Ibu.”
“Ada satu hal yang termasuk kebahagiaan Ibu darimu.” Ibu menyeka air matanya.
Aku mengangkat alis penasaran. “Apa?”
“Susul kakakmu menikah, Hatim.” Jawab Ibu.

Kak Anan tertawa terpingkal-pingkal sambil menepuk-nepuk pundakku. “Terlalu dini untuknya Bu. Si kecil ini masih harus banyak belajar. Lagi pula aku tidak pernah melihatnya dekat dengan perempuan manapun, hahaha…”
“Hmmm,” aku mendengus. “Berhenti mengganggu, ini menjaga diri namanya,” belaku.
“Berhenti mengganggu, ini menjaga diri namanya.” Kak Anan mengejekku dengan intonasi yang berbeda.
Aku terkadang memang pesimis untuk tidak membuka diri pada perempuan. Menurutku, mana ada yang mau dengan kondisiku yang seperti ini. Bekas luka bakar ini tidak bisa dihilangkan dan hanya akan menimbulkan kerepotan yang tidak perlu.
*****

Pakaian yang kau kenakan mengalahkan segala keindahan di tempat ini. Tiara di atas kepalamu tidak menyilaukan mata dan teramat sederhana. Itulah kecantikan paling indah untuk saat ini. Mata kita bertemu. Untuk kesekian kali, kau tersenyum dengan senyuman yang begitu lebar. Aku tidak tahan untuk memberikan senyuman tulus sebagai jawaban. Senyuman yang sangat tulus untuk mendukung pencapaian dan kebahagiaanmu.
*****

Lagi-lagi takdir mempertemukan kita. Aku sedang menyeruput es jeruk saat kau tiba-tiba menyapaku. Suara yang terlalu aku kenal.
“Assalamu’alaikum.”
Aku nyaris tersedak karenanya.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Arkan yang duduk di sebelahku. Aku dan Arkan memang mengambil jurusan yang sama.
Kau tidak sendirian. Kau dan dua orang teman perempuanmu meminta izin duduk tak jauh dari kami tapi masih berada dalam satu meja yang cukup panjang. Kantin memang sedang ramai-ramainya.

“Sssttt Tim, itu Rainan kan. Cewek dari pondok,” bisik Arkan.
“Ya,” jawabku pura-pura tidak peduli sembari menyeruput es teh manisku. Tak salah lagi, itu memang dia. Kakiku mengetuk-ngetuk meja dan tanganku beberapa kali mengusap rambut. Aku menyempatkan bercermin sebentar melalui layar hp-ku yang mati di atas meja makan, tidak repot-repot menyahut perkataan Arkan yang entah apa isinya. Pikiranku terlalu melayang.

Aku juga bertemu denganmu di perpustakaan. Canggung saat kita mau mengambil buku yang sama.
“Eh, kamu Rainan bukan.” Duh, dah jelas itu Rainan.
“Wah kamu ingat. Ini Hatim kan.” Mendengarmu menyebut namaku membuatku semakin canggung lalu pergi begitu saja.

Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil mengusap dahi dan tersenyum tipis saat melihat di papan pengumuman kalau kita berada di organisasi yang sama. Apa-apaan ini? Hohoho, benar-benar takdir yang mengagumkan.
“Kau terlihat aneh hari ini, Sobat,” sindir Arkan saat melihatku tersenyum terlalu lebar.
Aku akhirnya berhasil menyimpan nomor hp-mu dari grup organisasi. Apa kau tahu, aku selalu gugup bahkan saat ada tugas yang perlu berkonfirmasi denganmu, bahkan walau hanya sebatas pesan. Mataku dengan sendirinya memelototi setiap huruf yang kuketik dan jariku dengan pelan menyusun kata demi kata agar pesanku benar-benar tidak ada kesalahan yang bisa membuatku malu untuk muncul di hadapanmu. Tidak sadar aku selalu menanti-nanti jawabanmu meski tentu tahu itu tidak akan jauh dari urusan organisasi. Kemudian aku akhirnya akan merengut sebal karena saat aku menoleh untuk melihat notifikasi, ternyata Arkan yang mengirimi pesan tidak penting.

*****

Waktu berlanjut tidak terasa hingga sudah penghujung semester. Alhamdulillah, sementara aku berhasil mendapat kesempatan magang di salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang kepenulisan. Kupikir aku hampir sedikit lagi mencapai mimpiku. Saat itu, di akhir Desember yang penuh dengan riak hujan, aku sudah memutuskan dalam hati kepada siapa aku akan meletakkan separuh sisa hidupku.
*****

Aku masih saja mengagumi senyum yang kau sunggingkan itu. Aku memperhatikan sekeliling. Banyak sekali para tamu undangan yang datang. Teman-teman kita juga banyak terlihat. Acara yang membawa haru ini benar-benar menyenangkan dan membawa kenangan. Aku bisa melihat dengan jelas kebahagiaan yang kau pancarkan. Aku turut senang karena kau senang. Meski bukan aku yang berada di sebelahmu. Bukan aku yang memakai pasangan baju pengantin yang kau kenakan.
*****

Cinta memang indah. Cinta yang mengajariku untuk untuk selalu berusaha dan meluruskan niat. Tidak pernah ada yang membuatku kecewa jika aku memusatkan cintaku hanya karena Allah. Sang Pencipta yang selalu memperhatikan hamba-hamba-Nya dan dengan mudah membolak-balikkan hati.
Sebenarnya, aku tidak terlalu mengenal definisi cinta dalam kasus ini, karena walau menurutku aku memang tidak bisa dibilang sepenuhnya gagal dalam menjalin kisah asmara, aku masih memiliki cinta untuk orang-orang divsekitarku. Cinta mereka yang selalu peduli kepadaku. Mungkin dahulu aku terlalu cepat menafsirkan sendiri definisi cinta. Aku terlalu terburu-buru dengan semua kejadian yang selalu seperti kebetulan itu. Kebetulan yang terlalu ajaib. Dulu aku berjanji dalam hati untuk terus menjaga senyuman itu, sekarang Arkan yang akan menjaga senyumanmu.

Aku tersenyum kecil. Kalau dipikir-pikir, temanku yang lawak itu memang paling cocok bersanding denganmu. Lihatlah postur bahagianya, sudah seperti seorang pujangga yang akhirnya berhasil mendapatkan penghargaan tertinggi.
Kak Anan menepuk pelan punggungku. “Jadi, kapan kau akan menyusulnya?”
Aku menoleh. “Hm, entahlah…vmungkin belum untuk waktu yang dekat.”
“Baiklah, kalau kau ingin konsultasi cinta, tanyakan saja padaku.”
“Hei, sejak kapan Kakak jadi ahli cinta begini.”
“Tentu saja sejak aku menikah.” Kak Anan manggut-manggut.

Aku mendengus sebal lalu tersenyum. Sepertinya aku banyak sekali tersenyum hari ini. “Tukang pamer.” Ucapku.
Aku tak bisa menutupi raut senangku melihat kedua teman baikku bersanding di pelaminan. Mereka pasangan yang serasi. Aku tak pernah menyangka, jodoh Rainan adalah Arkan. Udara di sekelilingku terasa sejuk. Allah adalah sebaik-baik pembuat jalan cerita dan sebagai hamba yang selalu mencari ridho-Nya, aku akan terus berusaha dan menjadi hamba yang bertawakal. Aku yakin Allah sudah menyiapkan yang lebih baik untukku. Kelak di suatu tempat di waktu yang tepat, seorang perempuan shalihah sedang menungguku. Perempuan yang juga mencintaiku apa adanya. Saling mencintai karena Allah. Saling merindu satu sama lain. Aku akan menemukannya kelak. Cinta terakhirku.

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here