Prahara Dokter Sona

1
148

Dokter Sona melirik jam di tangan kirinya yang berkelap kelip memunculkan warna merah hijau. Jam tangan tersebut berfungsi juga seperti android pada zaman sebelumnya. Dia tahu itu panggilan dari bi Ida, wanita paruh baya yang merawat ibunya. Hanya saja dia tidak bisa segera menjawab panggilan tersebut karena sedang melaksanakan tugas mengoperasi seorang pasien kanker hati yang sudah mengalami komplikasi ke organ lain. Beberapa kali dokter Sona menyeka keringat di wajahnya, kemudian membetulkan letak kaca mata yang bertengger di hidungnya. Kecemasannya tampak kentara, meskipun seluruh tubuh dan wajah ditutupi seragam serba hijau yang sedang dipakainya.

“Dokter, harap serius. Ini menyangkut nyawa pasien, donatur terbesar Rumah Sakit ini,” dokter Fiter, rekan setim melotot tajam ke arahnya.
“Huh….” Dokter Sona menghempaskan nafas berat. Kalau saja yang sakit bukan keluarga pak Andreas, tak mau dia ikut dalam misi membahayakan ini. Dia ingin merawat ibunya yang saat ini juga lagi sakit berat.
Setelah 30 menit yang menegangkan, akhirnya proses operasi selesai. Dengan menggunakan alat-alat yang serba canggih, operasi bisa lebih cepat diselesaikan.

Dokter Sona melepaskan perlengkapan operasi, menyemprotkan larutan anti biotik ke tangannya. Kemudian bergegas ke luar ruangan. Sambil berjalan dia mengusap jam di lengan kirinya. Seketika muncul layar tipis, ini adalah android model terbaru.
Dokter Sona melihat ada 10 panggilan tidak terjawab dari Bi Ida. Dia lalu menekan tombol deal. Kemudian muncul wajah bi Ida di layar tipis tadi.
“Tuan ke mana saja? Ibu dari tadi selalu memanggil-manggil nama tuan. Sekarang dia sudah tertidur setelah kuberikan obat penenang dari tuan,” bi Ida langsung memberitahukan kondisi ibu Sona dengan cepat.
“Saya segera pulang, bi,” dokter Sona mengusap lagi layar di tangannya, kemudian layar tersebut kembali berfungsi seperti jam tangan biasa.
Dokter Sona mempercepat ke luar dari rumah sakit tempatnya mengabdi 10 tahun terakhir.

“Dok… Dokter Sona…” Seseorang memanggilnya.
Dokter Sona menoleh, seorang gadis berseragam putih berlari kecil menuju ke arahnya.
“Kenapa, dokter Eva?” Tanya Dokter Sona.
“Tidakkah dokter lapar, kita makan ke restoran sebentar. Biar saya yang traktir, kebetulan saya baru naik pangkat,” dokter Eva tersenyum manis.
“Maaf Dok, aku ada kerjaan lain yang mendesak,” dokter Sona menolak halus.
“Apa kamu sakit? Saya lihat saat operasi tadi wajahmu sangat tegang, tidak seperti biasanya. Atau kamu ada masalah dengan dokter Fiter? Dokter sombong, yang ambisi mau jadi direktur itu?” Dokter Eva menunjukkan kepeduliannya.
“Tidak. Maaf saya buru-buru”. Dokter Sona nampak menggeser alat komunikasi di tangannya, lalu muncullah kereta terbang. Kereta ini bermuatan 1 sampai 4 orang penumpang, bergantung yang mana yang kita order. Kereta ini menggantikan ojek online beberapa dekade sebelumnya.

Dokter sona melangkah masuk ke dalam kereta. Lalu kereta tersebut menutup otomatis dan kemudian terbang meninggalkan dokter Eva yang menatap kecewa.
Hanya beberapa belokan dan manuver, kereta tumpangan dokter Sona sudah tiba di apertemennya di lantai 15. Dokter Sona turun di atas balkon, dengan adanya kereta terbang sekarang, tidak perlu lagi turun di gerbang apartemen lalu naik menggunakan lift menuju ke atas.
Dokter Sona langsung menuju ke kamar ibunya. Dia melihat ibunya terbaring lemah tak berdaya. Dirabanya denyut nadi wanita yang melahirkannya tersebut, masih normal. Digenggamnya jemari sang ibu dengan kasih sayang.

“Aku akan membuat ibu sembuh,” bisik dokter Sona. Diamatinya muka ibunya yang sudah makin menua. Guratan keriput masih menggoreskan sisa kecantikannya di masa lalu. Rambut ibunya yang dulu hitam panjang sekarang sudah sangat pendek, jarang, dan memutih. Ini efek dari obat-obatan yang dikonsumsinya, menyebabkan rambut ibunya menjadi lebih cepat putih dan rontok.
”Dokter sudah pulang?” bi Ida muncul dari balik pintu sambil membawa nampan yang berisi bubur hangat.
“Iya bi, baru saja.” Dokter Sona menjawab pendek.
“Zaman memang semakin canggih ya. Baru lima menit yang lalu tuan menelponku. Sekarang sudah berada di ruangan ini. Kalo sepuluh tahun yang lalu, perlu waktu sampai satu jam, dari tempat tuan bekerja baru tiba di sini. Itu karena macet di mana-mana. Sekarang kota kita bebas dari kemacetan,” bi Ida bicara panjang lebar, lalu duduk di seberang dokter Sona.

“Tadi ibu tuan tampak sangat kesakitan dan memanggil-manggil nama tuan. Saya pikir waktu nyonya sudah semakin dekat,” ujar bi Ida.
“Bi, jangan bicara seperti itu. Saya akan menemukan obat buat ibu. Sekarang saya sedang menguji keampuhannya,” dokter Sona menjelaskan.
“Semoga obat itu segera bisa digunakan. Saya takut terlambat. Apalagi dengan aturan negara kita saat ini, warga yang sakit menahun dan tidak produktif lagi harus disuntik mati,” bu Ida kembali bersuara.
“Bibi… Diam. Silakan tinggalkan kami di ruang ini,” mata dokter Sona melotot ke arah bi Ida, dia menahan amarahnya. Dia paling tidak suka disinggung tentang hal yang sensitif ini. Euthanasia. Aturan yang melegalkan orang yang sakit menahun untuk disuntik mati, dengan atau tanpa persetujuan keluarganya.
Bi Ida perlahan keluar menjauhi ibu dan anak itu.

Sepeninggal bi Ida, dokter Sona menangis tersedu-sedu. Dia benci kepada dirinya sendiri, seorang dokter yang tak bisa mengobati ibunya. Dia benci dengan aturan negaranya yang tidak manusiawi. Orang sakit kan juga manusia.
Dia benci juga dengan bi Ida yang dengan tenangnya menyampaikan aturan negara yang memang sudah dia ketahui tersebut. Kalau bukan karena amanat ibunya sebelum sakit, sudah lama dia mengusir bi Ida dari rumah ini.
Bi Ida sudah dianggap adik oleh ibunya. Apalagi ibunya adalah anak tunggal. Pada masa mudanya, ibunya adalah seorang aktris terkenal di negeri ini. Siapa yang tidak mengenal Sinta Ratna Dewi. Namanya dielukan dimana-mana. Fans-nya ribuan. Bi ida adalah menejer ibunya, ke mana-mana selalu menemani ibunya.

Sampai kemudian ibunya menikah dan memutuskan berhenti dari dunia keartisan yang melambungkan namanya. Ibunya dilamar oleh seorang eksekutif muda yang sangat tampan. Merekalah pasangan paling serasi pada masanya. Setelah menikah karir ayahnya semakin berkilau. Setelah ibunya menikah, bi Ida juga menikah dan ikut suaminya ke luar kota.

Dua tahun setelah menikah kemudian lahirlah Sona yang melengkapi kebahagian mereka. Ayah Sona merupakan pekerja yang tangguh, beberapa tahun kemudian dia menjabat sebagai direktur utama pada perusahan besar di kotanya.
Namun sayang, hanya beberapa bulan menduduki jabatan tersebut ayahnya ditemukan tidak bernyawa di ruang kerjanya. Ayah Sona diracun oleh sahabat sekaligus rivalnya, tuan Bram. Namun tidak ada bukti untuk membawa kasus tersebut ke meja hijau. Umur Sona saat itu sepuluh tahun. Betapa terpukul dan sedih hati Sona dan ibunya.

Untungnya Sona sudah didaftarkan ke pihak asuransi ternama, yang bersedia menanggung biaya sekolah Sona hingga ke perguruan tinggi. Ibu Sona pun tidak berpangku tangan. Dia kembali ke dunia keartisannya.
Ibu Sona mendatangi teman-teman lamanya. Para produser film, sutradara, dan juga yang lainnya. Tapi semuanya menolak. Itu karena usia ibu Sona yang tak lagi muda. apalagi setelah menikah dia sudah berbusana muslimah.
Namun ibu Sona tidak patah semangat, dia selalu berusaha hingga kemudian sebuah rumah produksi islami mau menerimanya. Saat itulah bi Ida muncul kembali, karena dia sudah bercerai dengan suaminya yang berselingkuh. Kemudian bi Ida kembali menjadi manejer ibunya.
Bertahun-tahun dia menjalani kembali dunia keartisannya selalu didampingi oleh bi Ida. Hingga kemudian ibunya sakit-sakitan dan memutuskan untuk istirahat. Bi Ida-lah yang selalu merawat selama ibunya sakit. Begitu berjasanya bi Ida bagi ibunya. Sehingga dia pun menaruh hormat kepadanya. Namun akhir-akhir ini, dia melihat bi Ida mulai berubah.

Dokter Sona memasuki ruang kerjanya dengan santai. Berusaha melupakan kondisi ibunya yang belum juga membaik. Di ruang kerja rekan-rekan dokternya datang menyalaminya.
“Selamat ya, Son. Kamu punya kans kuat untuk menjadi direktur rumah sakit ini,” dokter Eva yang lebih dulu bersuara.
“Kami mendukungmu,” balas dokter Ridwan.
“Kami tidak ingin dipimpin oleh dokter yang ambisius dan angkuh,” timpal Dokter Prita.
Huhh.. Dokter Sona menghela nafas dengan berat. Dia menyunggingkan sedikit senyum. Kemudian mengucapkan terima kasih kepada teman-temannya.

Dokter Sona sudah menduga, dia akan masuk ke dalam bursa pencalonan direktur ini. Tapi apa alasan pihak rumah sakit memilih dirinya, dia tidak tahu itu. Dokter sona juga tahu, pastilah rival berat yang disampaikan temannya tadi adalah dokter Fiter.
Sejujurnya dokter Sona tidak berniat untuk menduduki jabatan itu. Niatnya menjadi dokter hanya untuk menyembuhkan sakit pasien, termasuk ibunya. Tidak ada ambisinya untuk menduduki jabatan tertinggi di rumah sakit ini. Namun dia selalu melakukan yang terbaik. Dia melayani pasiennya dengan hati. Ramah dan menyenangkan. Berusaha melakukan yang terbaik bagi para pasiennya. Dia bergaul dengan baik bersama rekan-rekan dokter.

Dokter Sona berjalan di koridor rumah sakit dengan tergesa. Kali ini pasien yang dia tangani sedang dalam kondisi kritis. Tidak sengaja dia berpapasan dengan dokter Fiter.
“Sona, pertarungan telah dimulai. Siapkan dirimu dengan baik,” bisik dokter Fiter tajam.
“Apa maksudmu?” tanya dokter Sona.
“Aku yakin kamu paham maksudku. Kecuali kamu mau menjadi pengecut. Silakan mundur dari arena ini,” kalimat dokter Fiter menusuk tajam ke ulu hati dokter Sona.
Dokter Fiter berlalu dengan senyum sinisnya.
Sepertinya aku memang harus bersiap. Bisik batin dokter Sona, sambil dia menuju ruang pasiennya.

Dokter Sona makin khawatir dengan kondisi ibunya. Makin hari makin memburuk. Seminggu yang lalu ibunya masih mau makan bubur ayam yang dibeli di kedai favorit ibunya. Beliau masih berbicara, walaupun patah-patah. Hari ini tubuh ibunya amat lemah. Padahal obat yang sudah ditelitinya sudah selesai diuji dengan baik. Dia sangat yakin, dengan obat racikannya kondisi ibunya akan pulih.
Seharian tidak bekerja, dokter Sona meminta cuti di kantor. Hari ini dia khusus akan merawat ibunya. Sore harinya baru kondisi ibunya agak baikan. Ibunya mau minum dan berbicara.
“Son, menikahlah nak,” bisik ibunya berbisik, sangat pelan.
“Iya bu..” jawab Sona. Sudah lama ibunya menginginkan dia menikah. Namun Sona, selalu menghindar. Kali ini dia mengangguk ingin membuat ibunya bahagia. Apalagi umurnya sekarang memang sudah matang, tiga puluh lima tahun. Siapakah calon istrinya nanti? Apakah dokter Eva? Dia sangat perhatian denganku. Pikir dokter Sona. Tapi tidak. Sepertinya dokter Eva hanya menganggapnya sahabat dekat saja.
“Nak, jadilah dokter yang hebat. Laksanakan tugas negara. Waktu ibu tidak akan lama lagi,” ibunya kembali berucap terbata-bata.
“Jangan katakan itu. Ibu akan sembuh. Saya janji,” dokter Sona menggenggam erat jemari ibunya. Air matanya menderas. Ibunya menggeleng perlahan.
“Bi Ida benar. Sudah saatnya kau menjalankan tugasmu. Ibu sangat bangga padamu,” kembali ibunya berucap perlahan. Sona menggeleng dengan kuat. Tidak mungkin dia membunuh ibunya sendiri. Meskipun itu berarti dia melanggar Undang-Undang di negaranya.

*****

“Jadi benar kabar burung yang kudengar? Ibunya Sona sudah sakit menahun. Artinya Sona melanggar Undang-Undang negeri ini,” dokter Fiter tersenyum sinis.
“Benar Tuan,” wanita itu mengangguk.
“Terima kasih. Ini untukmu,” dokter Fiter memberikan sebuah amplop tebal kepada perempuan paruh baya itu.

Hari ini dokter Sona kembali tidak ke kantor, kondisi ibunya semakin mengkhawatirkan. Di kantor telah terjadi kehebohan. Tulisan “Sona sang Pengkhianat” bertebaran dimana-mana. Sepertinya bila kejahatan Sona terbukti, maka dia akan di-blacklist dari bursa pencalonan direktur. Dokter Fiter merasa di atas angin. Dia tersenyum bangga, langkahnya semakin pasti.

Dokter Eva geram. Kertas yang ditempel di papan pengumuman itu diremas-remasnya. Siapa yang menyebarkan fitnah busuk ini. Pasti Fiter, batin dokter Eva. Dia menuju ke ruang dokter Fiter.
“Fiter, kenapa kau menyebarkan fitnah keji ini?” tanya dokter Eva setelah berada di ruang dokter Fiter.
“Ada apa ini cantik. Kok datang tiba-tiba, langsung marah,” dokter Fiter tertawa-tawa menghadapi dokter Eva yang sedang tersulut emosi.
“Simpan, tawa busukmu Fiter,” Dokter Eva kembali berteriak.
“Oke. Oke. Tapi ini bukan fitnah. Pembantu di rumahnya itu yang mengabariku. Hehe,” dokter Fiter terkekeh. Dokter Eva semakin jijik melihatnya.
“Dasar pengecut. Kau ingin menjadi direktur tanpa pesaing,” dokter eva mendengus.
“Jangan khawatir cantik, aku akan memilihmu sebagai sekretaris pribadiku,” dokter fiter tersenyum penuh arti.
“Aku tak sudi,” dokter Eva berbalik menahan emosi yang nyaris meledak.
Dokter Eva khawatir dengan kondisi ini, dia berulang-ulang menghubungi dokter Sona, tetapi tidak pernah ditanggapi. Aku harus ke aparetemennya, bisik dokter Eva.

Di dalam apartemen, dokter Eva menemukan dokter Sona yang sedang menangis tersedu-sedu. Seperti orang yang sedang kehilangan permata yang paling berharga. Firasat dokter Eva tidak enak. Ternyata benar. Ibunya Sona meninggal beberapa menit yang lalu.
Belum sempat dokter Eva mengucapkan bela sungkawanya, beberapa orang petugas berseragam polisi muncul menuruni mobil patroli yang bisa terbang. Mereka turun bersama bi Ida, juga memasuki kamar ibunya Sona.
“Sona, anda ditahan karena sudah melanggar aturan negara,” seorang polisi maju ke depan. Menyerahkan surat perintah penangkapan kepada dokter Sona.
Kami mendapat laporan dari ibu Ida, bahwa anda sengaja menutupi kondisi kesehatan ibu anda.
“Pak, tolong izinkan saya memakamkan ibu saya. Setelah itu saya akan ikut ke kantor bapak. Saya akan bertanggung jawab,” dokter Sona berusaha tegar, kemudian melirik kea rah bi Ida, “saya tidak menyangka bibi sejahat itu.”
Ditatap seperti itu oleh dokter Sona, bi Ida hanya diam. Tanpa rasa berdosa.
“Bibi juga kan, yang membocorkan rahasia ini kepada Fiter?” Tanya dokter Eva.
Bi ida hanya mengangguk. Tersenyum penuh kepuasan.
“Selama tuan di penjara, saya akan merawat warisan Sinta dengan baik,” ucap bi Ida. Ternyata bi Ida sudah dibutakan oleh harta. Harta majikannya dan juga uang bayaran dari dokter Fiter yang membutuhkan info darinya.
Dokter Sona melangkah perlahan diringi para polisi. Acara pemakaman sudah selesai. Dia siap menanggung semua perbuatannya. Dia merasa tidak bersalah. Anak mana yang sudi membunuh orang tuanya sendiri. Biarlah dia dicap bersalah di mata hukum, asal tidak berdosa di mata Tuhannya.
Sona berharap, suatu saat aturan negeri ini akan berubah.
“Dokter……” dokter Eva memanggil dokter Sona. Selama proses pemakaman dia selalu mendampingi dokter Sona.
“Bolehkah saya menunggumu,” dokter Eva berbisik malu-malu.
“Jika engkau tidak malu, menunggu seorang narapidana,” jawab dokter Sona memberikan harapan.
Dokter Eva mengangguk, kemudian tersenyum. Sambil menatap kepergian dokter Sona yang menjauhinya. Dokter Eva yakin prahara ini akan ada ujungnya.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here