Suami Arini

3
110

Arini memandangi suaminya yang tertidur pulas. Seharian bekerja di sekolah pasti membuatnya sangat kelelahan. Apalagi murid-murid di sekolah menengah yang diajarnya cukup ‘kreatif’ dan banyak polah.

“Ah, suamiku!” desah Arini pelan.

Sekali lagi ditatapnya wajah teduh yang tiga tahun ini menemaninya, meniti bahtera rumah tangga. Wajah dengan rahang kukuh dan mata tajam, sedikit kumis dan janggut yang selalu dirapikan. Sisiran rambut yang sederhana, sesederhana sikap dan cara berpikirnya.

Dulu saat hendak menikah dengannya, Arini yakin akan bisa menjalani hidup dengan penuh ketenangan. Kesabarannya telah terlihat sejak mula mereka bertemu. Arini seperti menemukan muara yang dicarinya selama ini. Lengkaplah bahagia itu menjadi miliknya.

Namun seiring perjalanan waktu, tak ada yang bisa memprediksi segala bahagia itu akan mulai menyusut. Terkikis karena karier Arini yang mulai menanjak naik. Jam terbangnya sebagai trainer andal yang bergerak di bidang public relation, membuatnya semakin tak punya cukup waktu meski itu hanya menyemir sepatu suaminya.

Arini tahu, suaminya tak pernah mempermasalahkan itu. Dia justru merasa bersyukur karena ekonomi keluarganya tertopang dengan kepiawaian Arini mencari rezeki. Namun suara-suara di sekelilingnya, kadang memaksa Arini untuk merenung dan mengkaji ulang pernikahannya.

“Kau public figure Rin, masak tinggal di rumah kontrakan sempit seperti ini!” ujar Siska, rekan kerjanya yang telah meninggalkan masa-masa sulitnya. Suaminya seorang lawyer yang cukup punya nama di kota ini.

“Coba kamu hitung-hitung, dengan penghasilanmu dan penghasilan suamimu sekarang, berapa tahun lagi kamu akan mempunyai rumah sendiri? Berapa tahun lagi kamu akan menyetir mobil dan mengibarkan namamu? Itu masa depan, Rin!” tambahnya, membuat Arini tersenyum kecut.

Dan segala diskusi panjang lebar dengan orang-orang yang mengelilinginya. Arini tak hendak menggubrisnya. Namun ibarat batu yang akan berlubang jika ditetesi air, Arini pun mempertimbangkan saran mereka.

Maka sejak itu, Arini mulai membandingkan suaminya dengan suami-suami yang lain. Suami Siska yang menghasilkan banyak buku dan sering diundang mengisi seminar, suami Amelia yang pandai membangun jaringan dan banyak relasi, suami Anisa dokter bedah yang sedang naik daun, suami Dini yang seorang dosen lulusan Harvard University.

Dan hampir semua teman-temannya ini membanggakan suaminya. Sedangkan aku?

Arini kembali memandangi wajah suaminya, mencari cinta yang dulu saat berikrar di depan ayahnya, begitu terlihat nyata. Dan cinta itu masih sama!

“Suamimu tambah gendut, pasti dia tenang hidup  bersamamu, Rin!” ujar Ibu saat aku mengunjunginya beberapa bulan setelah menikah.

Ya, bagaimana tidak bahagia sedang Arini selalu melayaninya. Menyiapkan sarapan, membuatkan susu, menyetrika pakaiannya hingga licin, merapikan buku-buku mengajarnya, memanaskan mesin motornya, hingga menyemir sepatunya! Pekerjaan rumah telah beres ketika dia kembali pulang ke rumah.

Itu dulu!

Mengapa kini Arini ragu? Suaminya telah memupuk cinta itu dengan kesalehan. Bagaimana dia bangun malam, menyentuh pipi Arini dan mengajaknya bersimpuh di hadapan-Nya. Bagaimana suaminya telah menancapkan halal pada setiap rezeki yang akan didapatkannya. Suaminya selalu menjaga shalat tepat pada waktunya, sesekali menggamit lengannya ke masjid. Suaminya telah begitu sabar menjajari langkah kehidupannya yang kadang terburu-buru dan terantuk batu. Dia mengajari Arini menjadi isteri yang salehah dan memberinya kesempatan untuk mencoba.

Tidakkah semua itu lebih mahal dari keinginannya yang kerdil?

Ah… Arini mendesah!

“Selamat hari lahir, sayang…berkah usia. Semoga cinta yang terbingkai dengan cinta-Nya ini akan mempertemukan kita di surga!”

Tulisan tangan suaminya. Tepat saat ulang tahunnya yang ke-28. Bersama surat itu ada sebuah cincin manis yang kini melingkar di jari kirinya.

Lalu surat berikutnya,

Aku tak mau bidadari surga, sebab hanya kau yang kuinginkan kelak di sana. Semoga pernikahan kita kekal dunia akhirat, sayang!”

Ini ucapannya saat ulang tahun pernikahan mereka yang kedua. Bersamanya ada sebuah buku Isteri Salehah yang disampul rapi. Betapa romantis selama ini suaminya mengekspresikan cintanya.

Mata Arini membasah.

Parameter yang digunakan suaminya adalah selalu surga. Surga! Tempat yang menjadi cita-cita mereka sejak mengenal Islam lebih dalam. Bukankah kebahagiaan yang purna jika kita dapat bertemu dengan-Nya di surga?

Dan kini, baru beberapa tahun saja, cita-cita itu nyaris terkubur karena ego pribadinya. Keinginan duniawi yang sangat murah, tak sebanding dengan kenikmatan yang dijanjikan Allah untuk orang-orang yang istiqomah.

Arini buru-buru merapikan surat-surat itu, lalu menuju suaminya yang masih saja tertidur pulas. Sepenuh perasaan diciuminya kening suaminya.

“Maafkan saya, Mas…!” bisiknya lirih.

Bulir bening dari matanya jatuh, membasahi pipi suaminya yang segera terbangun. Ditatapnya wajah istrinya yang merona.

“Mengapa menangis?” tanyanya syahdu.

Arini hanya menggeleng sambil tersenyum penuh cinta.

*****


Previous articleJanji yang Tunai
Next articlePerempuan Bermata Senja
Rianna Wati
Rianna Wati, lahir di Wonogiri 5 November 1980, saat ini tinggal di Surakarta bersama keluarga kecilnya. Aktivitas menulis dilakukannya sejak SMA dan bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) sejak kuliah di Fakultas Sastra UNS. Saat ini menjadi staf pengajar di Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UNS. Gelar S2 diraihnya dari prodi Ilmu Sastra UGM dan saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di Kajian Budaya UNSBuku-buku fiksi yang pernah terbit diantaranya Elegi Cinta di Karimunjawa, Jatuh Cinta Pada Bunga, Ramai-Ramai Masuk Surga, Biar Cinta Bicara, Cinta adalah Luka, Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf, Arvayuna, Romansa, Petrichor, Salju Sungai Seine, Simfoni Hati dan beberapa buku kolaborasi hasil penelitian dan pengabdian masyarakat. Bisa dihubungi di email: riannawati@staff.uns.ac.id, FB Rianna Wati, Twitter @riannawati dan IG Rianna Wati.

3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here