Remang lampu stasiun menemaniku menelusuri masa lalu di peron ini. Sepuluh tahun silam. Kenangan yang sampai saat ini tidak bisa lekang dari ingatanku. Hari ini, aku baru saja kembali dari pulau seberang. Aku ingin sejenak memutar memori masa itu, pahit memang harus berpisah sekian lama dengan orang yang selama ini menyayangiku dan aku sayangi. Tapi, ada hasrat untuk mengingat. Hari ini aku pulang untuknya. Dia yang saat ini terbaring lemah di ranjang, tanpa daya dan upaya. Dia yang lebih memilih menyelamatkan nyawaku. Dia yang hidup sebatang kara di kota ini.
Aku sengaja duduk-duduk sejenak di ruang tunggu peron, sebab hari sudah larut malam. Kalaupun aku harus menuju rumah sekarang, mungkin aku akan mengganggu istirahatnya. Aku memilih untuk bermalam di sini, paling tidak hingga subuh menjelang dan aku akan mencari transportasi untuk mengantarku ke rumah. Rindu ini sudah memuncak sesungguhnya, tapi aku tidak ingin mengganggu istirahatnya malam ini.
Angin menyisir kulit ariku hingga dingin meresap dalam kalbu. Semakin membuat hati ini larut dalam kerinduan dan kekhawatiran akan sesuatu yang harus aku hadapi nanti. Aku sengaja tak ingin memejamkan mata malam ini, hanya sekadar ingin menumpang tempat duduk untuk menunggu pagi tiba. Aku sendiri. Dia pun sendiri. Kami sudah terbiasa hidup dalam kesendirian. Mungkin karena itu, di kota baruku pun aku tak memiliki banyak teman. Hanya beberapa.
Tanpa tersadari, bulan yang sedari tadi mengawasi gerak-gerikku mengantarkanku pada pagi. Aku segera mencari transportasi yang mampu membawaku ke rumah itu. Rumah yang sudah sangat lama aku rindukan, juga penghuninya yang hanya sebatang kara.
Perjalanan dari stasiun menuju rumah memang cukup jauh, memakan waktu kira-kira dua jam jika tidak terjebak macet. Kebetulan hari ini Minggu dan masih sangat pagi, jadi jalanan tidak terlalu padat seperti hari-hari aktif kerja. Aku sampai rumah sebelum matahari tepat di atas kepala.
“Sampai sini saja, Pak!” ucapku pada sopir taksi yang mengantarku. Sengaja aku turun di depan gang yang cukup sempit dan jalanan yang berbatu. Kasihan jika sopir taksi harus mengantar hingga depan rumah.
Aku berjalan menyisiri jalanan berbatu yang masih sama seperti sepuluh tahun silam, sebelum aku dikirim untuk bekerja di luar pulau. Riuh rendah burung-burung pipit masih terdengar jelas di sini, pepohonan yang masih hijau dan ranum semakin menyejukkan hati. Sudah tidak sabar rasanya ingin bertemu perempuan yang aku rindukan. Harum semerbak pucuk-pucuk daun teh yang siap dipetik membuatku sejenak menikmati keindahan alam ini. Sunyi. Seperti hanya ada aku dan alam. Tidak terganggu oleh suara klakson kendaraan-kendaraan yang menebar polusi. Setelah berjalan hampir dua kilometer dari gang tadi, akhirnya aku sampai di pelataran rumah yang asri. Rumah mungil yang tetap sama seperti sepuluh tahun silam. Rumah mungil yang berdiri sendiri di kaki bukit.
Aku segera masuk ke dalam rumah dengan hati-hati. Ketika aku membuka pintu utama seorang perempuan paruh baya sedang duduk di teras belakang rumah, memandang hamparan hijau yang menyelimuti kota ini. Terlihat jelas dari sini. Sungguh memesona. Mendamaikan.
“Bu?” panggilku lirih, sebab aku tak ingin mengejutkannya.
Seketika dia melihat ke arahku seraya menitikkan air mata. Aku pun memeluk tubuhnya yang semakin kurus, lekuk tubuh yang dulu mampu memikat para lelaki kini mulai kering dan ringkih. Pelukan yang selama ini aku simpan baik-baik dalam pengharapanku. Pelukan yang berselimut rindu selama ini. Pelukan hangat yang masih terasa hangat seperti sepuluh tahun silam. Kami tidak ingin terlalu larut dalam melankolia keadaan. Aku menarik sebuah kursi plastik untuk bisa mendekati kursi roda ibu.
Ya, perempuan itu adalah Ibuku. Seseorang yang sudah mengizinkan aku tinggal dalam rahimnya selama sembilan bulan. Seseorang yang sudah memperkenalkan aku pada dunia yang fana ini. Seseorang yang mengizinkan aku menikmati hidup meski harus dengan cemoohan orang-orang. Dan seseorang yang menjadi alasan untuk aku pulang.
“Suster Mery sudah tidak ke sini lagi, Bu?”
“Untuk apa? Toh cepat atau lambat Ibu akan pergi juga.”
“Bu…”
“Ranum, Ibu sangat merindukanmu. Tak bisakah kau membicarakan hal lain?”
Aku hanya terdiam, tak mampu membalas pertanyaan Ibu.
“Bagaimana pekerjaanmu?”
“Baik, Bu. Justru aku akan tinggal di sini selamanya menemani Ibu.”
“Maksudmu? Kamu diberhentikan?”
“Aku yang meminta berhenti, Bu. Aku ingin menemani Ibu di masa-masa sulit ataupun bahagia. Aku tidak akan sedetik pun melepaskan pelukan Ibu lagi. Aku di sana sendiri. Ibu juga di sini sendiri. Jadi mengapa kita tidak hidup berdua saja?” ucapku sambil memeluk Ibu yang sedang menikmati teh hangat buatanku. Pertama kalinya aku membuatkan teh hangat untuk ibu.
Hari-hari kulalui di kota ini dengan baik. Meski tak bertetangga, itu justru membuatku dan ibu hidup aman dan tenteram.
—
Senja sudah memerah di bibir cakrawala. Burung-burung senja sudah berpulang ke sarangnya, di sini senja terasa begitu dekat. Mungkin matahari hanya bersembunyi di balik bukit itu. Aku duduk di balkon samping yang mengarah ke singgasana matahari, dengan secangkir teh hangat yang asli dari perkebunan ini. Sudah satu minggu ibu tidak keluar dari kamar, sudah semenjak aku di sini pula aku tidak melihat Suster Mery datang memeriksa kondisi ibu. Ibu hanya mampu duduk di kursi roda dan menyaksikan tenggelamnya matahari dari balik jendela kamarnya.
Perlahan aku mendekati Ibu yang sedang duduk di kursi rodanya. Mata itu, masih bersinar seperti sepuluh tahun silam. Masih terlihat jelas bayangan senja di bening bola matanya.
“Bu, sedang apa?”
“Sedang mencari jingga di antara senja yang merona.”
“Ah, Ibu. Aku juga Jingga. Ranum Jingga milik Ibu seutuhnya, tak perlu dicari di antara rona senja, aku selalu di sini untuk Ibu,” balasku dengan senyum menggoda seraya mendaratkan kecupan di kening Ibu. Terlihat jelas guratan pengorbanan yang selama ini ia lakukan untukku. Garis mata yang semakin jelas, seakan menceritakan masa lalu yang tak mudah. Kerling mata sayunya mengisyaratkan sebuah kelelahan.
“Jika nanti Ibu sudah tidak ada, apa kamu juga masih akan tinggal di rumah ini? Tanpa siapa pun.”
“Ibu tidak akan pergi ke mana-mana, karena aku akan selalu menjaga Ibu.”
“Jika Ibu pergi, hidupmu akan lebih mudah, Ranum. Kamu bisa bebas pergi ke mana pun, tanpa harus mendengar cibiran dari orang-orang tentang Ibu.”
Senja yang sedari tadi membayang di mata ibu kini mulai meleleh seiring tenggelamnya matahari di balik bukit. Aku mengusap perlahan lelehan yang membasahi pipinya. Entah apa yang sedang dirisaukan oleh ibu, sehingga harus menitikkan butir air mata yang terakhir kali aku lihat saat kedatanganku. Tapi kini air mata itu berbicara tentang kesedihan, kegelisahan, dan kekecewaan.
“Maafkan Ibu, Ranum. Kau seperti ini karena kesalahan Ibu di masa lalu. Kau harus tumbuh tanpa siapa-siapa kecuali Ibu, cibiran tetangga dan cemoohan orang sering terngiang di telingamu, bahkan kau harus berdiri sendiri tanpa tahu siapa ayahmu,” lelehan air mata ibu semakin deras.
Memang, sudah hampir 30 tahun aku hidup tidak pernah tahu siapa laki-laki yang seharusnya aku panggil Ayah. Sejak lahir, bahkan sejak dalam kandungan aku dan ibu hanya hidup berdua. Tanpa ayah, tanpa saudara, atau sahabat. Semua menjauh dari kami, hingga saat ibu mengandungku dia memilih tinggal di daerah terpencil ini. Sendiri. Ibu tidak ingin jiwanya terguncang karena tekanan dan cibiran orang lain. Ibu ingin janin yang dikandungnya tumbuh sehat dan lahir dengan selamat. Ibu hanya ingin memberikan hak kepadaku untuk hidup di bumi ini.
Ya, siapa yang mau mengulurkan tangannya untuk perempuan malam. Siapa yang bersedia membantu perempuan dengan masa lalu yang kelam? Meski ibu tahu siapa laki-laki yang telah menanam benih di rahimnya, namun ibu tak ingin memperburuk keadaan. Ibu memilih pergi tanpa siapapun. Dan aku, tidak pernah sedikit pun aku menuntut akan hal itu.
“Sudah kau izinkan aku tinggal di rahimmu dan tumbuh bersamamu pun aku sudah bahagia, Bu. Aku tidak membutuhkan orang-orang seperti mereka. Hanya Ibu harta paling berharga yang aku miliki, selamanya.”
Ibu tetap mempertahankan aku dalam kandungannya meski dokter telah memvonis jika ibu mengidap HIV/AIDS. Ibu percaya, aku memiliki hak untuk hidup dan akan lahir dengan selamat. Selama masa kehamilan, ibu selalu dalam pengawasan dokter. Suster Mery yang dikirimkan dari rumah sakit untuk merawat ibu secara intensif di rumah. Dari mulai kandungan ibu, proses persalinan, hingga saat ini, saat penyakit itu mulai menggerogoti tubuh ibu. Ibu berusaha sekuat tenaga supaya aku lahir sehat, tanpa gen penyakit apa pun. Segala macam cara ibu lakukan untuk menyelamatkanku. Aku pun tumbuh tanpa ASI dari ibu, sebab ibu tidak ingin aku tertular sakit yang ibu derita.
“Jadilah perempuan yang baik-baik, Ranum. Jangan seperti Ibu. Ibu hanya ingin kamu hidup normal seperti perempuan-perempuan lain. Ibu yakin, kamu adalah perempuan yang kuat.”
“Aku belajar semua dari Ibu, kekuatanku ada pada Ibu. Aku bisa menjadi seperti sekarang juga karena pengorbanan Ibu yang luar biasa. Ibu pasti lebih kuat dari aku.”
Kami saling mendekap dalam keremangan senja yang mulai beringsut tanpa jejak.
Ibu adalah perempuan yang kuat, jika tidak karena ketegaran dan keikhlasannya mungkin saat ini ibu sudah terkalahkan oleh penyakit yang menggerogoti tubuhnya perlahan. Tapi sampai saat ini, ibu masih bisa memberikan senyum terindahnya untukku. Masih memberiku kesempatan untuk sekadar menemaninya di masa senja. Masih mampu meberikanku kehangatan dalam dekapnya. Masih mampu meneduhkanku dalam sinar bola matanya yang membias senja. Aku dan ibu semakin larut dalam dekapan, hingga cakrawala menutup tirainya untuk pendar senja.