Nek Ruki menekuri buku iqro besar yang ada di hadapannya. Lebih dari satu jam berlalu sejak imam salat ashar mengucapkan salam, Nek Ruki masih betah duduk di masjid. Ibu-ibu sesama teman pengajian sudah pamit beberapa menit sebelumnya. Sementara Nek Ruki belum beranjak dari buku iqronya. Lebih tepatnya, tidak beranjak dari lembar huruf ra dan za.
Syifa, gadis cantik berkerudung biru masih setia menemani, duduk di depan meja kecil yang memisahkannya dengan Nek Ruki.
“Sepertinya Nenek sudah terlalu tua untuk belajar ngaji ya Nduk. Baru sampai halaman ini saja kok mesti lupa yang halaman awal,” Nek Ruki berkata pelan. Gurat di wajahnya menunjukkan kesedihan bercampur penyesalan. Kenapa tidak dari dulu-dulu hatinya terbuka untuk belajar ngaji?
“Nek, kata Kanjeng Nabi, belajar itu dari buaian sampai liang lahat. Nenek tidak terlambat,” Syifa membesarkan hati Nek Ruki.
“Tapi Nenek sudah hampir pikun, jadi lupa-lupa terus hurufnya.”
“Tidak apa-apa Nek. InsyaAllah nanti Nek Ruki bisa, kok. Al Qur’an ini dimudahkan sama Allah untuk dipelajari, bahkan oleh orang tua seusia Nek Ruki,” Syifa tersenyum.
Nek Ruki terharu. Kalau bukan karena kesabaran Syifa, Nek Ruki sudah menyerah sejak sebulan lalu.
“Nenek doakan lancar semua urusanmu, Nduk,” Nek Ruki mengelus jilbab Syifa. “Kalau Nenek punya cucu laki-laki yang seumuran sama kamu, Nenek jodohkan sama kamu. Sayangnya cucu nenek yang laki-laki masih SD,” Nek Ruki bergurau.
“Kalau tidak ada cucu laki-laki, keponakan laki-laki juga boleh, Nek,” Syifa tertawa. Tentu saja ia hanya bercanda. Sekedar membuat Nek Ruki ikut tertawa.
“Sudah hampir Maghrib Nek, Syifa pulang dulu ya. Nanti kemalaman,” Syifa bangkit berdiri sambil mencium tangan Nek Ruki.
“Matur nuwun ya Nduk, jangan kapok ngajari Nenek.”
“InsyaAllah tidak Nek. Asal Nek Ruki tetap sabar, Syifa juga akan sabar. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam. Hati-hati, Nduk.”
Nek Ruki melepas kepergian gadis seumuran Ratri, cucu pertamanya, dengan penuh haru. Syifa, anak desa tetangga yang seminggu tiga kali mengajari ibu-ibu belajar ngaji di masjid. Gratis. Bahkan demi bisa membantu ketertinggalan Nek Ruki, Syifa menambah satu hari khusus untuk mengajari Nek Ruki secara privat. Hari Ahad sore, di rumah Nek Ruki.
Belajar ngaji itu sebetulnya sudah dimulai sejak tiga bulan lalu. Nek Ruki, pedagang krupuk karak di pasar, menjadi peserta tertua. Usianya enam tahun melampaui usia Kanjeng Nabi ketika beliau wafat. Beberapa ibu yang lebih muda sudah naik iqro dua, tiga, bahkan ada yang sudah iqro lima karena sebelumnya sudah bisa sedikit-sedikit membaca Al Qur’an. Hanya Nek Ruki sendiri yang belajar dari iqro satu dan sedihnya, setelah tiga bulan masih bertahan pula di iqro satu.
***
Sabtu sore itu, di luar jadwal mengajar, Syifa sengaja mendatangi Nek Ruki di rumahnya yang sederhana dan sunyi. Tidak ada sesiapa di rumah itu kecuali Nek Ruki sendiri. Suami Nek Ruki meninggal tiga tahun lalu. Tiga anak perempuan Nek Ruki sudah berkeluarga, dan semuanya mengikuti suami. Anak pertama mengikuti suaminya di Jakarta. Yang kedua di Solo. Bu Wulan, si bungsu yang tinggal paling dekat, masih satu desa hanya beda kampung.
Begitulah, Nek Ruki memilih hidup sendiri. Sehabis subuh, Nek Ruki berjalan kaki menuju pasar untuk menjual krupuk karak. Dia masih bisa mencari nafkah sendiri, tidak ingin menambah kerepotan anak dan menantunya yang hidupnya pun hanya sederhana. Beruntung Bu Wulan dua tiga hari sekali datang menengok membawakan makanan dan membantu bersih-bersih rumah.
“Nek, Syifa bawakan media untuk membantu Nenek cepat menghafal huruf.” Dengan wajah berbinar, Syifa mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
“Media itu apa Nduk?” tanya Nek Ruki lugu.
“Ini Nek. Syifa buatkan kartu huruf yang besar. Syifa bantu tempelkan di rumah Nenek atau tidak ditempel juga tidak apa-apa. Bisa dibawa ke mana-mana, termasuk ke pasar,” Syifa menunjukkan kartu huruf hijaiyah buatan sendiri. Kartu itu berbentuk persegi, berukuran 15 kali 15 sentimeter. Huruf yang sejenis ditulis di kartu warna yang sama. Total ada 15 kartu dengan warna-warna cerah.
Dibalik huruf hijaiyah, Syifa menuliskan transitelarasinya untuk membantu kalau Nek Ruki lupa.
“Gimana Nek, ditempel atau tidak?”
“Tidak usah, Nduk. Begitu saja, biar Nenek bisa belajar di mana-mana.” Nek Ruki menyambut kartu-kartu itu dengan gembira. Ia ingat cucunya dulu ketika masih TK sering belajar dengan menggunakan kartu.
Dan keajaiban seperti melingkupi Nek Ruki sejak hari itu. Siang dan malam, kotak berisi kartu huruf hijaiyah selalu berada di tangan Nek Ruki. Energinya seperti berlipat, daya ingatnya melesat. Huruf-huruf yang awalnya susah dibedakan karena mirip, menjadi jelas perbedaannya. Huruf-huruf yang sudah dihafal tapi terlupa karena bertemu huruf baru, kini seakan melekat erat di ingatannya. Maka, dalam waktu satu bulan, Nek Ruki sudah berhasil menghafal alif sampai ya’ dan membaca a ba ta sampai ya.
Syifa tak henti mengucap syukur ketika akhirnya Nek Ruki tiba di halaman terakhir jilid satu.
“Alhamdulillah, mulai besok Nek Ruki bisa masuk jilid dua.” Nek Ruki seperti menyaksikan matahari musim semi mengembang dari bibir Syifa. Sejuk dan menjanjikan kehangatan. Ia berjanji tidak akan mengecewakan gurunya yang jauh lebih muda itu. Ia akan lebih sungguh-sungguh belajar di jilid dua.
Akan tetapi, ternyata faktor U tidak bisa dibohongi. Di jilid dua, Nek Ruki mulai bingung membedakan a dan i, ba dan bi. Tapi Syifa tak putus asa. Ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Tangan terampilnya segera bergerak. Dibuatnya lagi kartu-kartu huruf a-i-u, ba-bi-bu. Kali ini ia memvariasikan warna berbeda pada hurufnya. Semua huruf yang difathah ditulisnya dengan spidol hitam, yang dikasroh ditulis dengan spidol biru, dan yang didhommah dengan warna merah. Dan keajaiban pun bekerja lagi. Nek Ruki bisa dengan mudah menyelesaikan jilid dua.
Begitu seterusnya. Setiap naik jilid dan bertemu dengan hukum bacaan baru, Nek Ruki akan mengalami kesulitan. Maka Syifa pun berpikir keras mencari ide untuk membantu Nek Ruki. Dan entah bagaimana, Syifa selalu bisa menciptakan cara baru. Cara yang bekerja dengan ajaib.
***
Tiga belas purnama berlalu. Kamis sore itu, akhirnya Nek Ruki mendengar Syifa berkata, “Alhamdulillah, hari ini Nek Ruki lulus iqro.”
Air mata mengambang di pelupuk mata Nek Ruki saking terharunya. Ibu-ibu lain yang hadir pun tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
“Syukuran Nek,” Bu Warni menggoda. Nek Ruki tertawa.
Kerja keras Nek Ruki belajar sepanjang waktu, termasuk di sela-sela melayani pembeli membuahkan hasil. Ia tidak malu mendengar komentar sesama pedagang yang nyinyir melihat kegigihannya belajar. Ia terus memindai huruf-huruf dalam kartu lalu mengirimkan ke otaknya yang dengan sigap memerintah lidahnya untuk mengucapkan huruf-huruf itu sebagaimana seharusnya.
“Nek, Syifa sudah menyiapkan hadiah untuk Nenek. Sebentar ya, Syifa ambil dulu.”
Syifa beranjak mengambil hadiah yang sudah ia siapkan sebelumnya. Sengaja hadiah itu ia taruh di motor dulu agar bisa menjadi kejutan.
“Hadiah istimewa untuk Nek Ruki,” Syifa menyerahkan hadiah yang dibungkus dengan kertas kado bercorak pink. Nek Ruki menerima dengah air mata yang tak lagi bisa dibendung.
Sepulang salat maghrib di masjid, seperti anak kecil, Nek Ruki tak sabar segera membuka hadiah dari Syifa. Tangannya yang mulai keriput gemetar melepaskan selotip yang melekat di kertas. Nek Ruki memperlakukan hadiah itu dengan hati-hati, ia tidak ingin merobek kertas pembungkusnya. Hampir lima menit akhirnya hadiah itu keluar sempurna. Nek Ruki menciumnya. Al Qur’an ukuran besar dengan warna pink dan hiasan yang indah. Dibelainya sampul Al Qur’an dengan lembut. Dibisikkannya hamdalah berulang. Lalu dengan tangan masih gemetaran, dibukanya cover. Nek Ruki menghembuskan nafas dengan kuat, antara gugup, senang, dan terharu.
Seumur hidupnya, baru kali ini Nek Ruki memiliki Al Qur’an sendiri. Sesuatu yang dulu tidak pernah diimpikannya. Hidup di desa dari keluarga yang sederhana, membuat Nek Ruki tidak pernah mengenal nilai-nilai agama. Nek Ruki tidak menyalahkan almarhum orangtuanya. Mereka memang hidup ketika nilai agama belum seberkembang seperti sekarang. Ruki kecil yang hanya mampu mengecap pendidikan sampai SD, tak pernah rutin salat lima waktu di masjid kecuali tiga tahun terakhir setelah suaminya meninggal.
Nek Ruki menghirup oksigen lebih banyak. Bersiap memulai perjalanannya dengan surat cinta dari Sang Maha. Samar terdengar suara ta’awudz diikuti basmallah. Surat pembuka nan agung pun terlewati sudah. Nek Ruki meresapi ke-MahaRahman dan Rahim-nya Sang Penguasa semesta. Lalu dengan hati-hati Nek Ruki menggeser sedikit mushafnya. Surat Al Baqarah. Syifa sudah mengajari cara membaca ayat pertama. Maka diucapkannya basmallah sekali lagi.
Alif Laam Miim. Ayat pertama berlalu. Dzaalikal kitaabu laa raiba fiihi hudal lil muttaqiin. Ayat dua selesai. Ayat tiga terlewati. Ayat empat tersudahi. Ulaaika ‘alaa hudam mir rabbihim wa ulaaika humul muflihuun. Ayat lima tunai sempurna.
***
“Kung, Nek Ruki kok tumben tidak ke masjid?” Bu Maryam menanyai suaminya sambil berjalan bersisian keluar dari halaman masjid. Rumah Bu Maryam bersebelahan dengan rumah Nek Ruki.
“Apa iya?”
“Iya, lha ini ndak bareng kita.”
“Mungkin ke rumah anaknya.”
Kedua piyayi sepuh itu berjalan beriringan hingga sampai di depan rumah Nek Ruki.
“Pintunya terbuka, Kung. Kita mampir sebentar,” Uti Maryam gegas membelokkan langkahnya, memasuki halaman rumah Nek Ruki. Salam diucap tiga kali. Sepi. Pak RT yang juga baru pulang dari masjid tertarik bergabung.
“Kita masuk saja, Kung,” ajak Pak RT. Ketiganya masuk rumah Nek Ruki sambil tetap memanggil namanya. Dan ketika sampai di ruang tengah, terlihat oleh mereka bertiga Nek Ruki sedang tertidur pulas. Di pangkuannya ada Al Qur,an yang masih terbuka di halaman pertama dan kedua. Pak RT mendekat, sekali lagi memanggil nama Nek Ruki. Tidak ada jawaban. Pak RT menyentuh bahu Nek Ruki dan mengangkat kepalanya pelan. Terjawab sudah sekarang. Nek Ruki telah tertidur selamanya.
***
Ahad sore. Syifa duduk terpekur di halaman belakang rumahnya. Di tangannya ada segenggam jagung, dilemparkannya perlahan ke arah induk ayam yang dikerubuti anak-anaknya. Sepekan ini, ada dua peristiwa yang benar-benar mengaduk-aduk perasaannya.
Senin kemarin dia dinyatakan lulus ujian skripsi. Tepat empat tahun sejak dia berjanji untuk mewujudkan mimpi meraih gelar sarjana tanpa merepotkan bapak ibunya. Dengan beasiswa Bidik Misi, tunai sudah janji itu.
Berselang dua hari, dia ambil dua lembar merah terakhir yang tersisa di dompetnya untuk membelikan Nek Ruki Al Qur’an besar. Hatinya diliputi bahagia, usahanya tak sia-sia. Tetapi tiba-tiba kebahagiaannya terhempas ketika malamnya dia mendengar kabar Nek Ruki meninggal. Meski sedih, Syifa bersyukur. Sangat bersyukur. Seperti dirinya, Nek Ruki telah menunaikan janjinya.
“Nenek malu Nduk, sudah diberi umur panjang sama Allah masak nanti pas dipanggil Allah, Nenek belum bisa ngaji. Sebelum meninggal, Nenek harus sudah bisa ngaji.” Janji itu yang telah memompa semangat Nek Ruki untuk belajar. Dan Allah memenuhi permintaan hamba yang berjalan ke arah-Nya.
“Nduk, ada tamu mencari kamu,” lamunan Syifa terputus oleh kalimat ibunya yang tetiba muncul.
“Siapa Buk?”
“Laki-laki, katanya dari Purwokerto.”
Hati Syifa berdebar aneh. Rasa khawatir sekaligus penasaran memenuhi dadanya. Dia tidak pernah mengenal atau berurusan dengan seorang pun, apalagi laki-laki, dari Purwokerto.
“Temani Syifa ke depan ya Buk.” Tergesa Syifa merapikan jilbab kaosnya, meraih kaos kaki, lalu menuju teras.
Seorang laki-laki muda, mungkin sedikit lebih tua dibanding dirinya, segera berdiri begitu melihat Syifa dan ibunya menghampiri.
“Assalamu’alaikum, dengan Syifa?” ujarnya sembari tersenyum kecil dan menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Hati Syifa berdesir. Wajah dan senyum laki-laki ini seketika menawan hatinya.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah. Iya, saya sendiri. Maaf, mas siapa ya? Ada yang bisa saya bantu?” Syifa menjawab dengan sikap yang sama. Menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Pandangannya agak dia tundukkan. Istighfar dia lantunkan.
“Saya Rafli, putra sepupunya Nek Ruki. Jadi masih terhitung keponakan Nek Ruki.”
“Oh, ” Syifa hanya bisa ber-oh. Kekhawatiran yang tadi sempat terlintas di benaknya, tetiba muncul kembali. Jangan-jangan, Rafli mencurigainya melakukan sesuatu ke Nek Ruki?
“Saya diminta Ayah saya untuk mewakili keluarga untuk takziyah. Baru hari ini sempat. Sekalian saya ada keperluan ke Solo. Tadi Mbak Wulan bercerita panjang lebar tentang akhir hidup Nek Ruki. MaasyaAllah. Akhir hidup yang luar biasa. Saya sangat berterimakasih kepada Syifa.”
Rafli berhenti sejenak.
“Mohon maaf sebelumnya jika saya terkesan kurang sopan dan terlalu tiba-tiba. Jika saya belum terlambat, bersediakah Syifa menerima saya sebagai pendamping hidup?”
Jantung Syifa serasa melorot ke dengkul. Mendadak ia ingat sore itu bercanda bersama Nek Ruki. ” Kalau tidak ada cucu laki-laki, keponakan laki-laki juga boleh, Nek.” Apakah Nek Ruki diam-diam benar mencarikan keponakan laki-laki? Syifa membatin.
“Nek Ruki tidak mewasiatkan apapun, ini murni kata hati saya,” Rafli berkata dengan lembut, tepat menjawab pertanyaan yang disimpan Syifa dalam hati. Syifa menunduk. Air mata berdesakan memenuhi bola matanya. Tasbih dan takbir berkumandang lembut di dadanya. Sejuta kata tak mampu mewakili perasaannya. Membuncah bersama bisik hamdalah.
(Karanganyar, 28 Sept 2022)
Iis Nuryati, tinggal di Karanganyar. Berprofesi sebagai guru dan sesekali meluangkan waktu untuk menulis.
Wah, tadi mikirnya cerita selesai sampai meninggalnya Nek Ruki. Keren deh