Puncak Kebimbangan

0
174

Malam merangkak naik. Suara jangkrik dan burung hutan bersahut-sahutan mengiringi malam yang semakin menua. Suara deburan ombak di kejauhan terdengar memecahkan malam yang syahdu. Walau jam di dinding beberapa menit yang lalu sudah berdentang sebelas kali, namun mataku tak bisa diajak kompromi. Lampu kamar yang sudah dimatikan tidak juga membuat kantukku datang. Tadi sore Awan bertandang. Membangkitkan kenangan. Menawarkan sebuah harapan.
Dia datang terlambat. Sangat terlambat, karena baru seminggu yang lalu aku menerima pinangan Rangga-duda beranak tiga, tetangga kampungku.

“Wa, sudah lima tahun aku menunggu,” bibir Awan bergetar. Ketulusan terpancar pada raut wajahnya. Matanya juga berkaca-kaca, menyimpan rasa haru yang luar biasa. Sesaat hanya cericitan anak ayam mencari makan yang mengisi kesunyian. Memang Awan dan teman-temannya terbiasa memanggilku dengan tutughan wa saat di luar sekolah, tapi memanggil ibu saat berada di sekolah.
“Aku sudah dilamar, Wan. Umur kita berbeda jauh. Aku gurumu saat SMA dan kamu muridku. Apa kata dunia nanti. Bagaimana tanggapan orang tuamu. Carilah wanita lain yang lebih cantik dan muda.” Aku mencoba menenangkannya, walaupun hatiku ikut bergemuruh. Tidak menyangka bahwa rasa yang kumiliki lima tahun yang lalu ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.

Terus terang aku juga mengagumi siswaku yang satu ini. Dia lincah dan berwibawa. Ketua osis yang berprestasi. Idola kaum hawa di sekolah. Tidak hanya teman-temannya, tapi juga para guru juga selalu mengelu-elukan namanya.
Tapi aku tahu diri, aku pendam rasa ini sebisaku. Di umurku yang saat itu sudah berumur dua lima, sudah tergolong usia yang sangat layak untuk menikah. Apalagi aku tinggal di kampung. Ibu-ibu tetangga sudah ada yang berbisik bahwa aku adalah perawan tua. Gadis yang tak laku-laku. Mungkin karena penampilanku yang berhijab. Atau juga aku tidak pernah menerima laki-laki yang ingin begadisan. Karena pada kedatangan mereka yang pertama sudah kukatakan, aku tidak mencari pacar, melainkan suami. Kalau serius silakan temui ayahku. Ternyata mereka tidak serius, satu persatu mundur teratur.

Akhirnya sekarang di usia kepala tiga, semakin seringlah julukan perawan tua membuat panas telinga. Aku bergeming. Pemuda kampung yang seumuranku juga sudah tidak ada lagi, semua sudah beristri. Tidak ada lagi yang coba-coba begadisan ke rumah. Aku tidak peduli. Bagiku jodoh sudah ada yang mengatur.

Hingga dua minggu yang lalu, Rangga datang ke rumah menemui orang tuaku. Berniat ingin meminang. Ayah dan ibu yang sudah pasrah, menyerahkan keputusan kepadaku. Aku meminta waktu satu minggu untuk berpikir. Menata hatiku yang rapuh. Galau karena selalu menjadi kiciakan jemau dusun karena statusku yang masih perawan pada usia yang sangat matang. Berdamai dengan hatiku, karena aku tidak mencintai Rangga, lelaki usia empat puluhan itu.

Aku mengenalnya karena beberapa bulan terakhir memang sudah sering bertamu ke rumah. Tapi dia lebih sering ngobrol bersama ayah di gaghang rumah. Aku pikir obrolan mereka hanya seputar harga sawit yang akhir-akhir ini terjun bebas, yang menyebabkan semua petani menjerit. Mereka tidak sanggup lagi untuk membeli pupuk, karena akan kedalaman. Besar pasak dari pada tiang. Terkadang obrolan tentang musim hujan yang berkepanjangan, membuat beberapa daerah kebanjiran, namun di belahan daerah lain sudah ada yang kekeringan. Ini adalah efek dari pemanasan global. Namun aku tidak menyangka bahwa kedatangannya punya maksud lain.
Kalau dilihat dari sikapnya. Aku lihat dia tipe lelaki yang ramah dan humoris. Saat terlibat obrolan dengan ebak mereka sering tertawa-tawa. Selain itu dia termasuk lelaki penyabar, buktinya sudah dua tahun dia menduda dan mengasuh ketiga anaknya sendiri. Akan sulit dicari lelaki yang sesabar itu.

Profesinya sebagai petani sawit, dia memiliki beberapa hektar lahan yang akan cukup untuk membiayai keperluan anak dan istrinya. Aku tidak punya alasan yang kuat untuk menolak lamarannya, selain karena statusnya yang duda. Tapi saat ini apa yang bisa kubanggakan dengan status perawanku, pada usia 30. Setelah lama berpikir, akhirnya aku menerima lamaran Rangga. Ini mungkin takdir bagiku. Kemudian seminggu yang lalu proses lamaran itu dilangsungkan. Namun, masalah itu muncul sejak Awan datang.

***

Awan datang memang seperti awan di langit. Kadang sangat diperlukan saat petani sedang menanam padi di sawah agar tidak kepanasan. Tapi menjadi tidak diharapkan saat petani sedang menjemur padinya. Awan yang ini datang di saat yang kedua. Kalau sebulan yang lalu tentu masalahnya tidak akan sepelik ini.
“Wa, Rasul juga nikah dengan tinau yang lebih tua,” begitu alasan Awan saat kutanya.
“Aku la udim dilamar, Wan,” aku kembali memberikan tekanan pada suaraku, yang mungkin lebih terdengar seperti rintihan.
“Aku siap mbaliaka uang antaran tu duau kali lipat sesuai adat, Wa,” dia kembali berkeras dengan argumentasinya. Aku tidak menyangsikan, karena sejak kuliah aku sudah mendengar kalau dia sudah memulai usaha percetakan yang kini maju sangat pesat. Aku tahu sekarang dia memang sudah mapan dan siap untuk menikah. Tapi mengapa harus aku yang dipilihnya?
“Tapi haram hukumnya meminang di atas pinangan orang lain,” kilahku. Awan terdiam beberapa saat.
“Wa bisa membatalkan keputusan itu. Aku mohon. Ayo kita kawin lari saja,” ucap Awan akhirnya sebelum beranjak pulang.

***

Namaku Ranti Nirmala. Aku berstatus sebagai guru honorer, dengan gaji yang pas-pasan. Kurang lebih aku sudah mengabdi di sekolahku selama tujuh tahun. Namun aku cukup berbangga dengan statusku.
Aku mengenal Awan, karena dia adalah salah satu siswaku. Awalnya aku pikir hubungan kami biasa saja. Apalagi umurnya yang jauh lebih muda. Kebersamaan kami selain di dalam kelas, paling saat ekstrakurikuler. Ataupun saat dia bersama teman-temannya sering datang ke rumah. Karena dia sekelas dengan adik bungsuku, Rini.

***

Hari ini di rumah mulai ramai. Tetangga dan kerabat dekat sudah berdatangan. Emak sengaja mengundang mereka untuk masak lupis. Para bapak pun juga sudah ada untuk negak pengujung dan mbuat badah ayiak angat. Malam ini akan diadakan acara adat beijau adiak sanak.
Acara ini maksudnya untuk bermusyawarah antara tetangga dan warga desa untuk saling tolong menolong membantu pesta pernikahan yang akan diadakan oleh tuan rumah. Sebenarnya aku ingin acara yang sederhana, yaitu acara akad nikah saja. Lalu jamuan mengundang beberapa orang tetangga, tetapi ebak dan emak ditambah dengan niniak mamak menolak usulku tersebut. Apalagi aku adalah anak yang terakhir yang akan diakadnikahkan oleh orang tuaku. Walapun sebenarnya aku anak tertua, tapi dua orang adikku semua sudah menikah. Mereka cepat menemukan jodohnya setelah menyelesaikan bangku perkuliahan.

Aku akhirnya nurut. Walaupun di dalam hati aku masih bimbang. Bukan dengan acara bimbang adat yang akan dilaksanakan, tapi bimbang dengan keputusan yang telah kuambil. Aku menerima lamaran Rangga bukan karena aku mencintainya. Tapi lebih karena statusku yang perawan tua. Ditambah dengan desakan dari keluarga agar segera menikah.
Awalnya aku berpikir, usiaku memang sudah rawan untuk menikah. Jadi kalaupun aku susah untuk mendapatkan anak, bukannya Rangga sudah memiliki anak. Biarlah anak-anaknya akan kuanggap sebagai anak kandungku sendiri. Tapi apakah sesederhana itu. Aku kembali bertanya kepada bilik hatiku. Apakah dalam mengarungi bahtera rumah tangga tidak memerlukan cinta? Apakah benar cinta itu akan datang kemudian? Aku masih bertanya-tanya.

Di tengah kegalauan ini, lalu muncul sosok yang pernah kuidolakan. Walaupun umurnya lebih muda dariku. Bukankah lebih indah kalau menikah dengan orang yang betul-betul kita cintai? Ah… Awan kemana saja kau selama ini. Batinku.
Aku mulai menimbang-nimbang, kalau aku kawin lari bersama Awan, tentu hidupku akan dipenuhi bunga-bunga. Setiap hari adalah selaksa cinta. Kalau bersama Rangga, betapa sibuknya aku di awal pernikahanku. Melayani suami dan anak-anak dari suamiku yang masih kecil.
Jika aku membatalkan lamaran ini. Aku akan dikenakan denda adat sebesar dua kali lipat dari uang antaran yang sudah diberikan kepadaku. Uang antaran kemarin adalah 10 juta, artinya aku akan mengembalikan uang sebanyak 20 juta. Nominal yang tidak sedikit. Tapi bukankah Awan siap untuk menanggungnya.

Tapi tentu saja bukan pengembalian antaran itu yang berat, melainkan nama baik keluarga kami yang akan jadi taruhannya. Keluargaku akan dicap negatif oleh warga kampungku. Kami pasti akan dikucilkan.
Ahhh. Di sela-sela emak-emak yang mengibat dan kemudian mengukus lupis pikiranku masih menerawang jauh. Suara keramaian di depan mata entah melayang ke mana. Pikiranku bergemuruh. Aku seolah berdiri di kesunyian yang mencekam.
Acara beijau adiak sanak dilangsungkan pada malam hari. Hari dan tanggal pernikahanku sudah ditentukan. Satu bulan dari sekarang.

***

“Wa, aku menunggu di taman kota. Kita kawin lari saja.” Bunyi WA dari Awan. Sehari sebelum hari akad nikah. Dia masih saja memanggilku dengan kata Wa. Padahal aku ingin dia panggil namaku saja. Belum siap, nanti kalau sudah akad nikah, akan aku panggil dengan kata yang lebih romantis. Begitu balasnya waktu itu.

WA itu kubiarkan beberapa menit. Aku bingung mau balas apa. Di HP Awan pasti ada tanda ceklis dua berwarna biru. Pesannya sudah kubaca, tapi belum kurespon.
“Maafkan aku, Wan. “ Akhirnya aku hanya mampu mengetik kalimat pendek itu.
“Aku tetap menunggu besok jam 8 pagi. Sebelum akad dilangsungkan. Karena aku sangat mencintai Wa. Kalau Wa tidak datang, Wa akan mendengar kabar, aku tinggal nama.” Pesan bernada harapan dan ancaman itu sungguh menyesakkan dadaku.

“Wan, carilah gadis yang lebih segala-galanya dariku. Jalan Awan masih panjang. Sekali lagi maafkan aku.” Setelah kukirim pesan tersebut, dan kupastikan sudah dibaca oleh Awan, HPku langsung kunonaktifkan. Kemudian kartunya aku ambil. Aku tidak ingin lagi diganggu dengan bayangan-bayangan semu yang kuciptakan sendiri. Masa depanku sudah ada di depan mata. Rangga akan menjadi imamku.
Aku yakin Awan adalah pemuda yang tegar, tidak mungkin dia akan mengambil jalan pintas. Di lubuk hatiku aku tetap berdoa semoga Allah membukakan mata hatinya.

Epilog
Sepuluh tahun kemudian.
Aku pulang kampung. Setelah tidak memberikan kabar perihal kepergianku. Kini aku kembali. Aku pulang tidak sendiri. Tapi bersama Tifani, istriku dan juga kedua buah hati kami. Aku menikah 4 tahun yang lalu.
Setelah lima tahun berlalu sejak sang guru idolaku menikah, aku bisa move on. Hidup harus tetap dijalani. Akhirnya aku bisa bangkit lagi. Ternyata guruku benar aku akan menemukan jodoh yang cocok. Bidadariku, kini tengah bersamaku.
Di persimpangan tadi aku bertemu dengan Wa Ranti. Dia sudah berhenti menjadi guru, memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga bagi seorang putra dan ketiga anak sambungnya.
“Selamat ya, Wan. Aku yakin kamu akan jadi orang sukses seperti sekarang.” Wa Ranti ikut berbahagia dengan kedatanganku. Dia bersalaman dengan Tifani dan mengelus kepala kedua anakku. Aku hanya tersenyum, berusaha mengenyahkan masa lalu yang tiba-tiba datang bertandang.

Catatan:
Wa : panggilan untuk anak tertua perempuan pada masyarakat suku serawai
tutughan : panggilan/sebutan kepada orang yang lebih tua
begadisan : apel/Lelaki bertandang ke rumah wanita atau pacarnya pada malam hari.
kiciakan jemau dusun : buah bibir di desa/masyarakat
gaghang : teras
kedalaman : rugi
Wa, Rasul jugau nikah dengan tinau yang lebih tuau : Wa, Rasul juga menikah dengan wanita yang lebih tua
la udim dilamar : sudah dilamar
Aku siap mbaliaka uang antaran tu duau kali lipat sesuai adat, wa : aku siap mengembalikan uang antaran dua kali lipat sesuai adat
lupis : makanan khas yang disajikan pada acara adat “beijau adiak sanak”
negak pengujung dan mbuat badah ayiak angat : mendirikan tenda dan membuat tempat unttuk memasak/merebus air panas.
beijau adiak sanak : musyawarah adat suku serawai sebelum melangsungkan pesta pernikahan
mengibat : membungkus biasanya menggunakan daun pisang


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here