Lagu cadas menyentak milik Linkin Park dari ponsel mengagetkanku. Aku harus segera mengangkat telepon itu. Kalau tidak, bapak bakalan marah-marah tak berujung. Aku sengaja mengatur nada dering ‘Crawling’ khusus untuknya. Dengan memakai lagu seperti ini cukup membuat adrenalinku untuk bertindak cepat.
“Assalamualaikum. Nggeh pak, arak napi?” 1)
“Waalaikum salam. Bapak ne. Bapak sudah ngomong ke suamimu. Bapak sudah tidak bisa mundur lagi dari pemilihan kepala desa ini, dan bapak butuh uang untuk bikin baliho. Hanya lima belas juta saja. Uang bapak sudah benar-benar habis untuk biaya fotokopi ktp dukungan dan deklarasi pencalonan!” Suara berat dan tegas dari bapak terdengar di ujung ponselku.
“Kan Nia sudah bilang, kalau Nia itu tidak pernah setuju Bapak maju untuk menjadi kepala desa. Nia tidak rela nanti bapak didemo-demo sama warga!” Aku berkata blak-blakan. Kalau memakai bahasa perumpamaan, pembicaraan di udara ini akan menjadi panjang.
“Ini Bapak maju atas desakan warga desa kok!”
“Lho, kan Bapak sendiri yang bilang. Bapak tidak pernah tertarik menjadi kepala desa. Takut nanti waktunya habis untuk ngurusin warga. Tidak ada waktu lagi untuk nengokin Nia dan cucu semata wayang Bapak!”
“Bapak hanya butuh sedikit. Tidak banyak!”
“Jadi begini pak, ada sih uang. Tapi, Nia lebih rela melihat Bapak sama Ibu pergi jalan-jalan santai saja kemana gitu untuk mengisi masa pensiun Bapak.. Daripada uangnya dipakai untuk sesuatu yang tidak jelas!”
“Nanti uangnya Bapak ganti. Kan ada nanti pecatu2 dua hektar!”
“Ah, Bapak. Pecatu itu terus yang disebut. Iya kalau menang pemilihan, kalau kalah? Jangan pernah menjanjikan sesuatu yang belum pasti Pak!”
“Sudah-sudah, bilang saja kalau kamu tidak mau ngasih!”
Klik. Telepon langsung diputus Bapak tanpa permisi. Pastilah Bapak marah dengan apa yang kuucapkan. Ah, dasar Bapak memang temperamental. Selalu begini kalau berkomunikasi dengan Bapak. Tidak pernah nyambung. Selalu ada miss communication. Dia tidak pernah mau diajak berdiskusi dua arah. Dia hanya mendengarkan dirinya sendiri. Tidak pernah mau mendengar kata anak-anaknya.
* * *
Aku tidak mengerti anak-anak zaman sekarang. Padahal kamu sudah kusekolahkan, kubimbing dan kudidik sejak kecil, tapi apa balasannya? Aku hanya meminta bantuan finansial sedikit saja darimu, kok susah sekali? Alasan tidak setujulah, alasan inilah, alasan itulah. Ah.. bullshit.
Aku yakin kamu sudah paham dengan ilmu agama. Sejak kecil sudah kumasukkan di tempat pengajian di surau. Di sekolah aktif di remaja musholla, dan ketika di kampus jadi aktivis dakwah kampus. Kurang apa pendidikan agama yang kamu terima? Seharusnya kamu jadi anak yang penurut. Mengikuti apa saja perintah dari orang tua. Bukannya membantah kayak begini. Apakah kamu lupa, kalau di kitab suci yang kamu pelajari itu untuk hanya berkata ‘ah’ saja kepada orang tua tidak diperbolehkan?
Tahukah kamu, kalau kamu satu-satunya anak yang bapak harapkan untuk membantu bapak. Minta tolong ke adikmu, rasanya tidak mungkin. Istrinya baru saja melahirkan. Cesar lagi. Pastilah uang tabungan dia habis tersedot ke sana. Minta tolong siapa lagi, baru kalian berdua saja yang berpenghasilan. Walaupun kamu hanya seorang PNS.
Memang sih, untuk perkara bapak maju untuk menjadi calon kepala desa, kalian tidak bapak libatkan. Bagi bapak ini adalah urusan orang tua. Kalian tidak perlu ikut-ikutan dengan hal yang beginian. Kalian masih terlalu hijau. Kalian cukup membantu dan men-support bapak saja. Pada awalnya memang bapak tidak berminat mencalonkan diri menjadi kepala desa. Tapi, tahukah kamu? Pak camat, koramil, kapolsek, tokoh pemuda, dan tokoh agama di desa kita sangat mendukung. Mereka mendesak bapak. Bapak jadi tidak enak dan ketika sudah menyanggupi, pantang bagi bapak untuk mundur lagi.
* * *
“Telepon dari bapak, Dek?” Aku mencoba mencairkan suasana hati kekasih hatiku itu, walaupun aku tahu itu telepon dari mertuaku.
“Ah iya, Kak. Bapak mau minta uang untuk buat baliho.” Suaranya terkesan tidak bersemangat.
“Kemarin bapak juga nelpon kakak. Tapi, kakak bilang hubungi saja Nia, soalnya dedek yang ngurusin keuangan keluarga kita.”
“Iya, tadi bapak juga sudah bilang ke dedek kalau dia sudah nelpon kakak. Pantesan bapak nelpon ke nomer dedek, ternyata kakak yang nyuruh.”
“Soalnya kalau minta ke kakak, kakak tidak pernah mampu menolak permintaan bapak. Apa pun itu. Tapi berhubung dalam hal ini dedek tidak setuju dengan pencalonan itu, dan kebetulan dedek yang pegang uang, langsung saja kakak bilang ke bapak untuk hubungin dedek. Jadi dalam hal ini, kakak terbebas dari segala tuntutan. Hahahaa…!” Aku tertawa kecil sambil mengedipkan mata.
“Idih.. dasar si kakak. Gak tahu apa, istri lagi galau!”
“Cup cup cuup, galau kenapa dirimu sayang?” Kumencoba bersikap sedikit romantis agar Nia sedikit tenang.
“Bapak kalau dikasih salah. Enggak dikasih juga salah. Bingung!” Tangan Nia tanpa sadar menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Aku paham apa yang ada dalam pikiran istriku itu. Di satu sisi, seorang anak punya kewajiban untuk membantu dan meringankan beban orang tua. Sedangkan di sisi yang lain, apa yang dilakukan orang tuanya sangat bertentangan dengan prinsip hidup Nia. Nia tidak rela bapaknya menjadi seorang pemimpin, walaupun dengan scoop yang tidak luas. Sebuah desa. Desa tempat dia dilahirkan dan dibesarkan. Menjadi pemimpin itu sangat besar tanggungjawabnya. Pertanggungjawabannya bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
“Seharusnya bapak tidak perlu ikut-ikutan yang demikian. Mendingan uangnya dipakai untuk pergi bersenang-senang saja. Jalan-jalan atau dipakai umroh lebih baik. Atau diinfakkan saja ke anak yatim, kan pahalanya jelas. Apalagi ini bulan Ramadhan!” Nia kembali berujar, menumpahkan unek-uneknya.
“Itu maunya kita, anak-anaknya. Tapi maunya orang tua lain. Mungkin bapak ingin mengisi waktu tuanya untuk lebih mengabdi untuk desanya. Beliau kan sudah terbiasa sibuk. Nah setelah pensiun, bingung mau ngapain?” Kucoba menanggapi Nia yang lagi senewen.
“Masalahnya, ini bapak mau jadi kepala desa. Menjadi pemimpin. Menjadi pemimpin itu pertanggungjawabannya kan berat. Iya kalau sekarang di dunia, masih bisa kita membelanya kalau ada apa-apa. Nah kalau nanti di akhirat? Mana bisa?” Nadanya mulai meninggi.
“Sabar, Bu, tenang, Bu! Semua pasti ada solusinya.” Panggilan ibu selalu kugunakan jika Nia sedang naik emosinya, tentu saja dengan nada sedikit bergurau untuk menurunkan sedikit frekuensi suaranya.
“Bapak itu masih saja terbawa-bawa dengan gaya kepemimpinan orde baru. Apa yang dikatakan mesti dituruti. Tidak boleh dibantah. Kalau dibantah, dia bisa ‘ngamuk’. Marah!”
“Kan dedek sudah tahu kalau bapak begitu. Jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati lah. Tunggu saja beberapa hari. Paling nanti sudah reda marahnya.”
“Dedek gak ngerti, bapak tuh, gak berubah-ubah!”
“Sudah gini aja Dek, bantu saja bapak. Kita lakukan dengan niatan untuk berbakti dan membantu orang tua. Kita tutup mata, terserah uangnya mau digunakan untuk apa.” Aku menyarankan sebuah solusi kepada Nia.
Aku tidak mau terlalu berpanjang kalam membahas mertuaku yang laki-laki itu. Sebab, kalau sudah membahas bapak, Nia akan bercerita panjang lebar tentang dia dan bapaknya. Seorang bapak yang tidak pernah berjumpa dengan ayahnya karena ditinggal mati semenjak dilahirkan. Kemudian diasuh oleh pamannya yang seorang TNI. Tentu saja dididik ala militer sehingga karakter dan kepribadian bapak menjadi seperti itu.
“Terus rencana kita beli motor gimana, Kak?”
“Tetap kita beli. Tapi nanti kalau uangnya sudah diganti sama Tuhan. Hehehe…!”
“Ummm…!” Nia manyun.
* * *
Sore ini aku kedatangan seorang tamu. Seorang pemuda seumuran Nia yang ternyata teman SMA-nya dulu. Pemuda itu kebetulan bekerja sekota dengan Nia. Dan setiap akhir pekan dia mudik ke kampungnya yang masih tetanggaan dengan desaku.
Pemuda itu membawa titipan dari putri sulungku itu. Sebuah amplop putih dengan hiasan kotak-kotak biru merah di pinggirnya. Setelah kubuka di dalamnya terdapat uang dengan jumlah yang kuminta. Ah ternyata, Nia sudah berubah pikiran. Tapi tunggu, selain ada uang, ada suratnya juga. Ini memang kebiasaan Nia, kalau ingin berkomunikasi lebih jelas dia selalu menulis surat. Padahal sebetulnya dia bisa saja langsung nelpon atau mengirim pesan WA.
…..
Bapakda tercinta, maafkan atas sikap Nia kemarin di telepon. Nia sadar, semestinya sebagai anak, Nia tidak boleh begitu. Semoga bapak mau memaafkan Nia. Ini Nia kirimkan uang seperti yang Bapak minta. Tidak perlu diganti, karena ini sudah kewajiban Nia sebagai anak. Semoga uang ini bisa bermanfaat dan bisa digunakan dengan sebaik-baiknya.
Sebagai penutup, Nia ingin mengingatkan bapak sebagai calon kepala desa tentang sebuah kisah. Kisah khalifah Umar dan anaknya. Waktu itu anaknya butuh sesuatu dan sang khalifah bermaksud memenuhinya, tapi dia tidak punya uang untuk membelinya. Sehingga dia memutuskan untuk meminjam sejumlah uang kepada bendahara negara dan untuk menggantinya sang khalifah bersedia gajinya dipotong bulan depan. Namun, si bendahara negara tidak lantas langsung memberi. Tapi bendahara itu mengingatkan sang khalifah dengan bertanya, siapa yang menjamin umurmu sampai bulan depan? Dan sang khalifah pun tersadar dan tidak jadi meminjam kepada kas negara. Bendahara itu mengingatkan tentang ketidakpastian sesuatu.
…..
Awalnya aku senang menerima titipan dari Nia. Tapi ketika membaca suratnya, aku merasa seperti ‘tertohok’. Anakku seakan mengguruiku. Dia tidak percaya kepadaku kalau aku tidak bisa mengganti uangnya. Tega sekali dia mengirim surat yang isinya seperti itu. Aku tidak rela. Uangnya harus kukembalikan.
* * *
Apa yang kuperkirakan terjadi juga. Bapak salah memahami isi surat yang kukirimkan untuknya. Dia mengirim sebuah pesan WA.
Nia, ambil kembali uangmu! Bapak tidak mau memakainya. Bapak ngeri kalau tidak bisa umur bapak untuk menggantinya.
Membaca WA bapak, sepertinya dia tersinggung. Padahal sudah jelas kukatakan di surat itu kalau dia tidak perlu menggantinya. Dan tentang kisah Umar itu kutuliskan dengan maksud agar bapak tidak pernah menjanjikan sesuatu yang tidak pasti. Seperti dia selalu menjanjikan untuk mengganti pinjaman seseorang dengan hasil dari tanah pecatu yang akan dia peroleh kalau menang pemilihan kepala desa.
Aduh si bapak. Bagaimana ya caranya agar aku bisa berkomunikasi yang baik denganmu?
S e l e s a i
Catatan :
1. Iya pak, ada apa? (Bahasa Sasak/ suku di Lombok)
2. Pecatu = tanah milik pemerintah desa berupa sawah/ ladang yang pengelolaannya dikelola oleh desa yang semua keuntungannya diberikan kepada Kepala Desa selama dia menjabat.
Kau telah berada di alam kubur. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk anak-anak negeri. Saya sangat merindukan antum saudaraku. Masih sedih kehilangan sahabat baik. Semoga Alloh SWT melapangkan kubur, dan memberikan balasan surga.