Kisah Patah Hati Para Perempuan Utama

0
81

Kebahagiaan tak identik dengan tumpukan kesenangan. Kabahagiaan bukanlah akumulasi dari kegembiraan. Justru jika kesenangan diibaratkan dengan kemanisan hidup, maka terlalu banyak mengenyam hal yang manis, justru akan membuat hidup kita menjadi kurang bermakna. Bukankah ketika kita terlalu banyak mengasup minuman manis, maka lidah kita justru menjadi terasa pahit? Kebahagiaan tidak selalu terlahir dari limpahan kenikmatan, meskipun kenikmatan tentu akan menjadi unsur penting yang membangun istana kebahagiaan seseorang.

Lihatlah bagaimana seorang ibu saat hendak melahirkan. Rasa sakit akibat kontraksi saat proses partus, merupakan sebuah momen yang akan selalu diingat para ibu. Konon, rasa sakit saat melahirkan itu setara dengan 20 tulang yang patah secara bersamaan. Namun, setelah si bayi lahir, dan kemudian sang ibu merasakan kelembutan kulitnya, tatapan lucunya, dan sebagian garis wajah yang ter-copy pada parasnya, sakit itu seakan hilang begitu saja, dan muncullah rasa bahagia tiada tara.

Siapa manusia paling berbahagia di dunia ini? Rasulullah SAW dan keluarganya. Tentu. Tetapi, apakah kehidupan Rasulullah, istri dan puteri-puterinya bergelimang kesenangan? Tak selalu. Bahkan, tiga puteri Rasulullah, semua mengalami masa-masa pahit dan patah hati yang bagi seorang wanita tentu sangat memicu nyeri. Namun, penderitaan mereka hanyalah menjadi selingan dari kebahagiaan hakiki yang diperoleh sebagai buah kesabaran.

Puteri pertama Rasulullah, Zainab r.a., menikah dengan seorang pemuda utama, bernama Abul Ash bin Ar-Rabi’, putera seorang bangsawan Quraisy yang terpandang dan kaya raya, yang juga masih sepupu dari Khadijah r.a., ibunda Zainab binti Muhammad. Abul Ash dan Zainab awalnya saling mencintai, sampai kemudian Islam datang, dan Zainab memeluk Islam, namun suaminya belum mau masuk Islam. Ketika kaum Muslimin hijrah, Zainab tetap tinggal bersama suaminya di Mekah.

Saat terjadi perang Badar, Abul Ash menjadi tawanan kaum Muslimin. Zainab sangat sedih dan berusaha untuk membebaskan sang suami. Sebagai tebusan, dia mengirimkan kalung pemberian Khadijah kepada Kaum Muslimin. Melihat kalung itu, Rasulullah sangat terharu, dan akhirnya meminta Abul Ash dibebaskan. Akan tetapi, sejak saat itu, yakni tahun ke-2 hijriah, Abul Ash dan Zainab bercerai. Zainab ikut bersama ayahnya di Madinah, dan Abul Ash dibebaskan.

Mereka berdua, meski saling mencintai, namun memilih hidup terpisah, karena Abul Ash masih bersikeras mempertahankan keyakinannya. Zainab pun tak mau keluar dari Islam, dan memilih bersama ayahanda tercintanya. Namun, derita cinta itu akhirnya berakhir. Hidayah datang kepada Abul Ash. Pada tahun ke-8 hijriyah, Pria itu akhirnya masuk Islam, dan datang kepada Rasulullah untuk kembali rujuk dengan Zainab. Rasulullah menikahkan mereka kembali secara Islam, setelah berpisah sekitar 6 tahun lamanya, dan mereka hidup berbahagia dalam naungan Islam.

Kedua adik Zainab, Ruqayyah dan Ummu Kultsum memiliki nasib yang hampir sama. Ruqayyah yang lahir pada tahun 603, atau 20 tahun sebelum hijriah, menikah dengan seorang pria bernama Utbah bin Abu Lahab, putra dari Abu Lahab. Bisa ditebak, saat Islam datang, Abu Lahab dengan tegas meminta anaknya menceraikan Ruqayyah. Padahal saat itu, Ruqayyah sama sekali belum disentuh oleh Utbah. Akan tetapi, Allah SWT memberikan pengganti kepada Ruqayyah seorang jodoh yang sangat utama, seorang sahabat Rasulullah yang utama, yakni Ustman bin Affan.

Saat perintah hijrah ke Habasyah, Ustman membawa sang istri ke Habasyah. Perjalanan yang sangat berat ke Habasyah, ditambah perjalanan hijrah ke Madinah, membuat kesehatan Ruqayyah menurun drastis dan wafat pada tahun 2 Hijriah. Ustman sangat bersedih dengan wafatnya sang istri tercinta. Namun, beliau mendapatkan pengganti yang tak kalah hebat, yakni Ummu Kultsum, yang tak lain adalah adik dari Ruqayyah. Karena menikahi dua puteri Rasulullah, Utsman bin Affan mendapatkan gelar: Dzun-Nurain yang artinya “sang pemilik dua cahaya.”

Sebelum menikah dengan Ustman, Ummu Kultsum juga mengalami penderitaan yang cukup tragis. Beliau sebelumnya menikah dengan Utaibah bin Abu Lahab, saudara dari Utbah bin Abu Lahab. Sama dengan sang kakak, beliau pun diceraikan oleh Utaibah.

Dari kisah di atas, kita melihat, bahwa ketiga puteri Rasulullah, perempuan-perempuan yang memiliki keutamaan luar biasa, ternyata menghadapi problematika cinta yang sangat pelik. Mereka harus berpisah dari orang yang dicintainya demi mendapatkan cinta yang lebih tinggi, cinta kepada Allah SWT. Ya, itulah sumber kebahagiaan sejati.


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here