“Mak, aku enggup sughang,” teriak Aldo. Kedua tangannya terjulur ke depan ingin meraih ibunya. Lilis menggeleng dan mundur perlahan, air matanya kembali berderai membasuh mukanya.
“Jangan, Do. Tenanglah kau di sana,” Lilis berucap terbata. Antara rasa sedih yang mendalam dan juga rasa takut. Aldo maju ke depan. Lilis beringsut mundur. Sebenarnya dia ingin sekali meraih tubuh anak bujangnya. Tapi dia tersadar, bukankah Aldo sudah meninggal seminggu yang lalu. Dia lalu berbalik, kemudian berlari di antara ilalang. Dia tidak tahu mengapa bisa berada di sini, setahunya pekuburan anaknya berada di belakang masjid. Tidak ada ilalang di sana.
Sesekali dia menoleh ke belakang. Ternyata Aldo hanya beberapa langkah di belakangnya. Dia semakin ketakutan dan tanpa sengaja menginjak akar pohon kamboja, lalu terjatuh. Dia terbangun, lalu melirik ke belakang. Aldo sudah di depannya, tetapi muka anaknya tersebut terasa menyeramkan.
“Tiidaaaaak…..,” Lilis berteriak, kemudian terbangun dari tidurnya.
***
“Mimpi Aldo lagi?” Yanto, suami yang ada di sampingnya ikut terbangun. Dia hanya mengangguk. Peluh bercucuran di dahinya. Suaminya bangkit dari dipan, berjalan ke luar kamar.
“Minum dulu,” Suaminya mengangsurkan segelas air putih, lalu melanjutkan, “Sepertinya kita harus menemui ustaz, agar kau bisa tenang.”
Lilis masih diam sambil menghabiskan air putih dalam genggamannya. Dia menarik napas perlahan. Mimpi ini sudah ketiga kalinya. Setelah mimpi pertama dan kedua, Lilis bersikeras ingin menemui orang pintar. Tak mengacuhkan usul suaminya. Lilis melihat jam di dinding, masih pukul 2 dini hari. Masih beberapa jam lagi sebelum waktu subuh, dia tahu bahwa dia tidak akan terlelap lagi.
Mimpi pertama masih diabaikan oleh Lilis. Dia beranggapan mimpi itu wujud kerinduannya kepada sang buah hati. Rasa ketidakikhlasan dari dirinya, mengapa anak bujangnya yang belum berulang tahun ke-25 itu sudah dipanggil oleh yang Kuasa.
Rasa tidak percaya, Aldo-nya, sang lelaki kebanggaan keluarga harus pergi untuk selama-lamanya. Sang lelaki mandiri, yang sudah tinggal sendiri punya usaha sendiri. Masih bujangan. Harus meregang nyawa saat isolasi mandiri.
Aldo-nya tak bisa bertahan di hari ke-10 setelah virus covid-19 merasuk ke tubuhnya. Rasa penyesalan tak terkira di hati Lilis dan suaminya, mengapa mereka begitu menganggap remeh virus tersebut. Beranggapan anaknya akan sembuh dengan sendirinya. Menganggap anaknya akan sama dengan anak-anak lain yang terpapar. Mereka akan mampu melawan virus di dalam tubuh, dengan sendirinya.
Rasa penyesalan yang tak pernah habis, karena saat video call sehari sebelum tubuh Aldo melemah, dia tidak membawa anaknya ke rumah sakit.
“Gak usah mak, Aldo baik-baik saja,” begitu jawaban Aldo saat mereka VC. Harusnya dia ingat, anaknya punya riwayat penyakit jantung. Harusnya dia ingat itu.
Salahnya juga, di hari itu dia masih ikut suaminya ke kebun. Panen sawit, yang harganya memang sedang di puncaknya. Menambah pundi-pundi tabungan mereka.
Penyesalan itu datang terlambat sekali. Saat mereka di kebun, tetangga Aldo menelpon mereka.
“Aldo sesak, saat ini terus mengerang kesakitan,” suara ditelpon itu mengejutkannya. Bergegas dia dan suaminya mendatangi kediaman Aldo. Pikiran-pikiran buruk, berseliweran melintas di kepalanya.
Aldo akan baik-baik saja. Begitu selalu yang diucapkan bibirnya. Setiba di rumah dia menjerit.
“Aldo…..”
“Aldo akan sehat, Mak,” Bisik Aldo sambil memegang dadanya. Air mata Lilis kembali menganak sungai.
“Diobati di rumah saja, yah,” Ucap Aldo lemah saat akan dibawa ke rumah sakit. Ayahnya menggeleng, dengan dibantu beberapa tetangga mereka menggotong tubuh Aldo ke dalam mobil.
Sepanjang perjalannya, Aldo terus merintih. “Sesak, mak. Sakit”, di sela rintihan, Aldo terus berzikir.
Lilis tak henti menangis, tersiksa melihat kondisi anaknya. Ya Allah sembuhkanlah anakku, begitu bisiknya.
Setiba di rumah sakit, saat para perawat sedang memakai APD, tubuh Aldo semakin lemas. Dia membisikkan kalimat laa ilaaha illallah dengan pelan. Aldo pergi untuk selama-lamanya, sebelum dokter memberikan tindakan.
Lilis menangis histeris. Dia merasa ini adalah mimpi, tapi bila mimpi mengapa terasa begitu sakit. Di sebelahnya, suaminya juga berurai air mata.
***
Sesuai permintaan keluarga, berhubung tidak adanya hasil swab. Pihak rumah sakit menyetujui untuk mengantar jenazah ke rumah mereka di kampung. Tidak ada tindakan pemulasaran di rumah sakit. Fardu kifayah jenazah, akan dilakukan sendiri di rumah duka.
Pagi harinya, Aldo diantar ke tempat peristirahatnya dengan wajah-wajah sedih para keluarga, kerabat, dan sahabat. Semua tidak menyangka, anak periang yang sholeh itu akan meninggalkan mereka di usia masih belia. Semua pelayat dirundung duka. Penguburannya diiringi dengan air mata. Lilis dan anak perempuannya-kakak Aldo, beberapa kali pingsan, saat jenazah dimasukkan ke liang lahat. Mereka harus dipapah saat meninggalkan area perkuburan.
Tiga hari setelah pemakaman, Lilis tidak bisa tidur. Walaupun dia memejamkan matanya, namun dia tetap sadar. Pikirannya mengembara tak tentu arah. Orang-orang datang untuk shalat magrib berjamaah, lalu membacakan yasin untuk almarhum. Lilis membersamai para tetamu, namun tubuhnya seakan melayang, tidak berada di rumahnya.
Malam berikutnya dia bermimpi didatangi Aldo. Aldo tak mau sendiri, begitu ucapan anaknya itu. Mimpi pertama tersebut dia abaikan. Namun setelah mimpi kedua datang, dia agak memaksa suaminya untuk menemaninya bertemu orang pintar, pak Dul.
Dari pak Dul, mereka diminta untuk ziarah ke kuburan Aldo. Mereka diharuskan untuk membawa nasi kunyit dengan ayam hitam, beras dua canting, kelapa satu butir, dan juga pasir dua genggam. Pasir tersebut untuk ditaburkan di atas makam. Kelapa tadi harus dibelah jadi dua, belahan yang menghadap ke langit dibawa pulang, sedangkan yang menelungkup ke bumi tetap ditinggal di atas kuburan. Beras dua canting juga harus dimasak di dekat kuburan dan dimakan bersama.
Lilis tidak menanyakan maksud setiap bahan yang dibawa. Namun dia berharap mimpi itu tidak datang lagi. Sekarang dia sudah ikhlas atas kepergian bujangnya. Doanya semoga mereka tidak tertular virus yang sama dan kembali kehilangan anggota keluarga.
Semua permintaan pak Dul, sudah diikuti. Tapi rupanya mimpi itu datang lagi. Kali ini Lilis harus manut dengan usul suaminya, mereka harus menemui pak ustaz. Mereka harus mendatangi penasehat spritual.
“Ibu belum ikhlas dengan kepergian Aldo,” begitu kalimat pertama yang diungkapkan ustad Lukman, saat mereka bertandang.
Lalu mengalirlah petuah kepada mereka disertai terjemahan ayat al Qur’an.
“Intinya bapak dan ibu harus lebih banyak beribadah. Rutin sholat dan mengaji. Insya Allah rasa kehilangan itu akan berangsur reda,” nasihat ustad Lukman sebelum mereka berpamitan sambil mengulurkan amplop ke tangan ustaz. Namun ustad menolaknya.
Mereka beranjak pulang. Memang merelakan kepergian orang tersayang akan sangat berat. Mudah diucapkan, sulit untuk diamalkan. Namun kali ini Lilis yakin dia akan mampu melaluinya.
“Selamat jalan, nak. Tenanglah di sana,” Bisik Lilis setulus hati. Air matanya kembali tumpah tak terbendung.
Keterangan
enggup sughang : tidak mau sendiri
Bagus.. Mengandung banyak pesan moral di dalamnya