Forum Lingkar Pena (FLP), organisasi yang telah berkiprah dalam kaderisasi penulis di Indonesia selama 28 tahun, kembali menunjukkan komitmennya terhadap dunia literasi dengan menggelar Seminar Nasional bertema “Literasi Digital: Menghubungkan Ide, Menginspirasi Dunia”.
Seminar ini digelar sebagai rangkaian dari Milad ke-28. Sebenarnya, Milad FLP jatuh pada 22 Februari 2025. Pada tahun 2025, FLP yang lahir pada tahun 1997 telah mencapai usia 28 tahun. Namun, menurut panitia, karena 22 Februari mendekati puasa Ramadan, maka agenda puncak peringatan Milad FLP diundur hingga Ahad, 27 April 2025. Tentu ini tidak mengurangi esensi, karena milad sebenarnya hanya sebuah momen, sementara pencerahan yang dilakukan FLP melalui literasi, terjadi di setiap saat.
Menurut Astrid Widayani, wakil walikota Surakarta yang memberi sambutan pada acara tersebut, usia 28 tahun adalah usia yang cukup matang. Mbak Astrid, demikian nama panggilan akrabnya, memberikan selamat milad kepada FLP yang telah konsisten dalam dunia literasi. Pemotongan tumpeng dan pembacaan puisi juga mengawali agenda yang sangat menarik ini.

Literasi Palestina
Bertempat di Aula Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispersip) Kota Surakarta, seminar ini dihadiri oleh sekitar 100 peserta, dan disiarkan secara live melalui Youtube Forum Lingkar Pena. Jadi, siaran ulang acara ini juga bisa disimak di sana. Seminar ini menjadi semakin bermakna, karena panitia berhasil menghadirkan pemateri dari berbagai latar belakang dengan kepakaran yang diakui oleh kalangan luas, untuk mengupas pentingnya literasi digital di tengah tantangan global, termasuk isu kemanusiaan.
Meskipun temanya adalah literasi digital, fokus dari seminar tersebut mengerucut pada literasi Palestina. Literasi digital bisa menghubungkan ide dan menginspirasi dunia. Adapun permasalahan dunia yang saat ini tengah menjadi fokus pembahasan di berbagai forum di dunia adalah isu Palestina. Mengapa isu Palestina selalu menarik untuk dibicarakan? Bukan saja karena skalanya sangat besar, dan waktunya pun sangat panjang. Tetapi, latar belakang masalah Palestina ternyata sangat pelik dan sulit diuraikan.
Masalah Palestina Sangat Rumit, Mengapa?
Ganjar Widhiyoga, Ph.D, dosen dan pakar hubungan internasional yang sekaligus Sekjen BPP FLP periode 2017–2021, memberikan perspektif geopolitik yang jarang disorot. Ia menjelaskan bahwa, “Salah satu sebab mengapa terjadi konflik di Palestina adalah keinginan Israel untuk membuat terusan sendiri yang menandingi Terusan Suez. Ini agar kepentingan Israel dalam perdagangan dunia bisa aman. Jalur perdagangan melalui Terusan Suez telah menghasilkan efisiensi luar biasa dan keuntungan hingga ribuan triliun. Namun, terusan yang akan dibangun Israel melewati Gaza, sehingga Gaza harus ditaklukkan.”
Selain itu, akar masalah Palestina juga ternyata cukup rumit, karena ternyata Inggris, sebagai pemegang mandat atas Palestina, telah melakukan “politik tiga kaki” dengan memberikan janji-janji manis kepada 3 pihak sekaligus. Pada rentang waktu 1920-1948, Inggris melakukan politik ambigu dengan memberi janji kepada bangsa Arab, yakni melalui surat Mc Mahon kepada Syarif Husein di Mekah pada tahun 1915 bahwa jika Arab membantu Inggris dalam Perang Dunia I, maka Arab akan mendapat kemerdekaan, termasuk Palestina. Selain itu, melalui Deklarasi Balfour 1917, Inggris ternyata memberikan harapan kepada bangsa Yahudi melalui gerakan Zionisme, bahwa Palestina adalah “tanah air bagi bangsa Yahudi”. Selain itu, diam-diam Inggris juga melakukan perjanjian dengan Perancis dalam perjanjian Sykes-Picot 1916, bahwa Timur Tengah adalah menjadi zona jajahan mereka.
“Jika ular berlidah dua, maka Inggris berlidah tiga,” ujar Ganjar, memberikan analogi atas apa yang dilakukan Inggris pada masa itu.
Selain itu, juga ada sejumlah alasan lain mengapa problem Palestina sangat kompleks, di antaranya bahwa isu Palestina merupakan kepentingan dari 3 agama sekaligus, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi. Karena kompleksitas itulah, maka menyelesaikan problem Palestina benar-benar sangat jauh dari sekadar membalikkan telapak tangan.
Misi Penting Untuk Penulis
Pizaro Gozali Idrus, jurnalis dan Direktur Baitul Maqdis Institute, menekankan pentingnya narasi yang utuh dalam meliput isu Palestina. Inilah sebenarnya misi para penulis. Ia menyampaikan, “Para penulis dan jurnalis harus bisa menulis apa yang terjadi di Palestina dalam konteks yang utuh, agar tidak ada framing yang merugikan Palestina.” Sosok yang juga pernah menjadi wartawan di Anadolu Agency, sebuah media yang berpusat di Ankara, Turki, menyoroti bagaimana media dan literasi digital dapat menjadi alat perjuangan dalam melawan disinformasi dan ketidakadilan informasi.
Sementara, Al Razi Izzatul Yazid, Humanitarian Division Head Rumah Zakat dan Sphere Trainer, menyoroti sisi kemanusiaan dari konflik tersebut. Ia mengungkapkan, “Untuk membangun kembali Gaza, dibutuhkan waktu sekitar 15 tahun dan dana lebih dari 600 triliun rupiah. Semua unsur harus terlibat dalam proses membangun kembali kota Gaza.” Al Razi juga menekankan pentingnya literasi digital untuk mengedukasi masyarakat dan mendorong solidaritas global melalui kanal-kanal digital. Karena itu, penulis juga punya peran yang sangat penting dalam proses perdamaian di Palestina.
Moderator seminar, Afifah Afra, penulis senior dan CEO Indiva Media Kreasi, juga Pimred Fiksi Islami, memandu jalannya diskusi dengan hangat dan dinamis. Diskusi yang berlangsung dari pukul 09.00 hingga 12.30 WIB ini tak hanya menggugah pemikiran, tetapi juga memperkuat tekad peserta untuk mengambil peran aktif dalam penyebaran literasi yang bermakna dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan.
Seminar nasional ini menegaskan bahwa literasi digital bukan sekadar kemampuan teknis, tetapi juga alat strategis untuk menyuarakan keadilan, membentuk opini publik yang sehat, dan menginspirasi dunia melalui tulisan dan gagasan yang bermakna.