Suara yang Tersembunyi

1
76

Aku sungguh tidak menyangka akan mendengar kalimat itu. Beberapa menit lalu aku dan Sarah, adik angkatku, baru saja pulang dari rumah pakdhe. Kami terbiasa pulang-pergi melalui pintu belakang, maka jika tidak ada yang menjawab salam kami, boleh dipastikan ada tamu di ruang depan. Memang benar, sayup-sayup kudengar ayah sedang ngobrol dengan seseorang. Segera setelah melepas jilbab, meraih tumpukan baju di atas meja jahit dan memberi isyarat pada Sarah untuk mengambil sisanya, aku berjalan menuju ruang tengah yang bersisian dengan ruang tamu. Diam-diam ikut menyimak pembicaraan di ruang tamu sambil melipat baju hasil jahitan bapak.

“Saya hendak melamar putri bapak,”

Aku tersentak dari lamunan. Tonggeret yang menjerit dari belakang rumah seperti membisu seketika. Suara yang selalu aku rindu itu kembali terdengar. Suara Giri.

Aku menengok ke arah gorden tebal yang melambai pelan. Mengintip dari celah kecilnya, mendapati semua orang di ruang tamu hening. Melihat satu sama lain sambil merapatkan jaket atau sarung. Menggosok-gosok gelisah seolah hawa dingin berubah membekukan. Asap-asap yang berputar di atas mulut cangkir blirik mendadak hilang.

Jadi ini tujuan yang sebenarnya? Bertandang di malam yang dingin dengan tiba-tiba seperti malaikat maut memberi kejutan. Bagaimana mungkin, topik pembicaraan hasil olahan kebun desa kami yang panjang tadi berubah sebegitu drastisnya menjadi persoalan lamaran? Hanya lima menit setelah perbincangan disela dengan menikmati santapan singkong keju hangat buatan Bang Ahmad. Tapi, yah, aku tidak marah tentu saja. Justru ingin meloncat tinggi ke langit berbintang dan berteriak heboh untuk pamer kepada seluruh dunia. Binar-binar kemerahan kuyakin mulai muncul di pipiku bersamaan dengan gemuruh jantung yang mengkhawatirkan sekaligus menggembirakan.

Cukup sepersekian detik, ratusan memoriku hadir bertabrakan, berebut posisi terdepan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kepalaku. Aku hanya ingat bagaimana hebatnya Giri saat presentasi di depan kami, para penduduk desa yang ditempati mahasiswa universitas negeri kota sebelah. Betapa bahagianya aku saat terpilih ikut berdiskusi dengan mereka yang rata-rata sebaya denganku, membicarakan olahan pangan dari desa kami dengan asyik. Ujung rambut hitam lebatnya yang lucu saat angin mempermainkannya. Senyum hangatnya saat ia kagum denganku dan menawarkan bantuan mencari beasiswa. Percakapan tentang kabar dinas PNS nya yang dekat dari rumah, lalu percakapan hari itu, beralih ke percakapan lainnya, peristiwa lain, semuanya. Semua tentangku dan Giri, yang membuatku menyadari betapa penuh hatiku saat namanya terdendang dalam bentuk suara apapun.

“Serius, Mas?”
Bapak dengan suara berat menengahi pergumulan batinku, memposisikan diri sebagai pemegang kendali percakapan mulai saat itu juga. Intonasinya jelas terdengar senang sekali, bahkan bagiku yang hanya melihat sedikit punggung bersarungnya. Untung saja hanya bapak, Bang Ahmad dan Mbak Ayu istri Bang Ahmad yang duduk membersamainya di ruang tamu. Kalau saja Mbah Uti ikut, beliau akan mengomel soal kelakuan anak muda zaman sekarang yang tidak sesuai prinsipnya.

Aku menunggu jawaban itu dengan perasaan tak karuan, tapi pertanyaan itu menggantung. Tidak terdengar jawaban. Mungkin dia mengangguk saja. Aku bergeser, merapatkan diri ke papan pemisah antara ruang keluarga dan ruang tamu di samping gorden agar keberadaanku tetap tersembunyi. Aku mengatur nafas, berharap mendengar setiap kata tanpa kesalahan sedikitpun sembari memukul-mukul dadaku sendiri, berdoa agar gemuruhnya yang menyesakkan segera berhenti. Meski tentu saja tidak akan pernah berhasil.

“Saya punya dua putri, Mas,” kata Bapak kemudian.

Tentu saja dia sudah tahu, Bapak! Ia sudah menjadi teman kami sejak saat itu!
Aku meremas baju-baju dengan penuh kekesalan. Perasaan bercampur baur seperti ini benar-benar merusak malamku yang tenang. Bagaimana lagi, aku adalah satu diantara dua putri bapak, yang entah siapa nanti akan tersebut pada pembicaraan malam ini. Betapa menyusahkannya menunggu sebuah berita mengejutkan yang akan tersampaikan dalam beberapa detik saja!

“Hana, kamu…” Sarah tiba-tiba saja muncul dari ruang makan sambil membawa tumpukan kain baru, melihatku heran sampai-sampai memiringkan kepalanya.
“Ssshhh… sini!” aku berbisik padanya, menggerak-gerakkan tanganku, mengajak Sarah ikut melakukan tindakan tidak terpuji: menguping pembicaraan orang lain. Sarah seperti biasa menurut, berjingkat mendekatiku saat sebuah nama tersebut di telinga kami.

“Sarah, pak”
Deg. Seperti ada palu yang menghantamku tiba-tiba.

“Sarah?” Bapak bertanya kembali.

“Nggih, Pak,” jawab Giri dengan suara yang mantap.

Aku kehilangan nafas.
Sarah.
Sarah, katanya?

Seluruh tubuhku bergetar lemas. Aku tertunduk memandang lantai. Berbagai macam peristiwa yang mempertemukanku dengannya kembali datang. Menghadirkan emosi yang menusuk-nusuk, karena kali ini ada sosok baru di dalamnya, yang selalu tersisihkan sebab duniaku, kupikir hanya tentang aku dan Giri. Sosok itu bernama, Sarah.

Sarah, yang menjadi adik tiriku setelah keluarga satu-satunya meninggal dunia. Sarah, yang aku kenalkan pada Giri beberapa saat setelahnya, ikut berdiskusi untuk membantu Bang Ahmad mengenai dagangan singkong kejunya. Sarah dan senyum manisnya yang membuatku mati-matian menyusun rencana agar bapak mau menerimanya sebagai anak angkat.
Sarah, yang, kini aku mengerti kebiasaannya tiga bulan terakhir, menyudut menulis sesuatu di buku harian birunya. Aku paham betul, mengapa ia menjawab “Nanti saja Han, nanti aku ceritakan,” saat kutanya mengapa ia tampak berseri-seri setiap malam dan pagi.

Kupaksakan menengadah, melihat wajah Sarah yang kebingungan. Mulutnya bergerak-gerak tanpa suara, seperti bertanya ‘apa? ada apa? kenapa?’

Aku menggeleng-geleng, tidak kuasa berkata apapun. Mulutnya bergerak-gerak lagi, menanyakan sesuatu. Tapi aku hanya melihat kabut saat mataku memanas dan sesuatu yang cair mengaliri pipiku. Aku berlari meninggalkan baju yang keriting berserakan di lantai, keluar menuju kamar mandi tamu di belakang rumah. Sarah hendak mengejar, tapi tertahan oleh sesuatu. Panggilan Bapak.
Aku menutup pintu kamar mandi. Tak mampu menahan apapun lagi, aku menjerit. Memukul-mukul dinding. Menangis sedalam-dalamnya.


1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here