“Usiamu masih lima tahun saat itu. Kau belum mengerti apa-apa. Hanya Ibu yang paling mengerti apa yang terjadi. Semuanya menjadi rahasia.” Ibu baru saja menyeduh secangkir teh di atas meja. Aku duduk di hadapannya, menyaksikan asap mengepul di atas gelas kaca bening, lalu hilang terbawa udara.
Aku baru saja tiba di rumah sekitar setengah jam yang lalu. Kebetulan, ada jadwal cuti, bisa kumanfaatkan untuk melepas rindu. Lagi pula, jarak Palembang ke Lubuk Linggau tidak terlalu jauh. Aku menumpang di kereta api beberapa jam, berjalan beberapa puluh meter ke luar gerbang stasiun, lalu mencari angkutan umum.
Beberapa penjaja sempat menawarkan makanan padaku, tapi aku menolak. Rasanya, aku hanya perlu bersabar beberapa saat untuk menikmati masakan Ibu.
Usianya sudah tidak muda lagi. Dia hanya sendiri di rumah. Aku dan Farhan hanya pulang sekali-sekali. Terlebih Farhan, sejak kuliah di Jakarta, dia semakin jarang pulang. Jadwalnya padat. Aku sempat menyarankannya untuk kuliah di kampus negeri di Palembang, tapi dia menolak. Kata dia, mencari pengalaman. Lagi pula, Ibu tak pernah menolak keinginannya. Bagi Ibu, asal kami bahagia, dia bahagia.
“Farhan baru satu tahun,” Ibu melanjutkan. Dia meletakkan gelas di hadapannya, di atas tikar anyaman dari pandan yang sudah tua. Pelan-pelan, dia menyusun jarinya, merapatkannya di sela-sela. “Dia bahkan tak tahu apa-apa.”
Ibu hampir menceritakan itu setiap aku pulang kampung. Tapi aku tak pernah peduli. Bagiku, apa yang disampaikannya adalah isi hati yang selama ini dia pendam sendiri. Kadang dia bercerita tentang makanan sehari-hari, kadang tentang tetangga, pekerjaannya, atau sesekali bercerita tentang kesepian. Meski begitu, dia tak pernah bosan menceritakan itu padaku.
“Jadi, Kinanti, waktu itu Ibu sempat bertanya, ada apa. Tapi yang Ibu dengar hanya napasnya saja. Dia tersenyum. Keringatnya mengucur. ‘Aku baik-baik saja,’ katanya. Lalu dia tidur.”
“Kenapa tak pernah dijawab, Bu?”
“Ibu juga tidak tahu. Dia tidak terlihat seperti orang sakit. Dia benar-benar sehat. Kalau saja kau ingat, waktu usiamu dua tahun, kita sempat jalan-jalan ke Palembang. Kau masih sangat kecil saat itu. Dia menggendongmu di bahunya, kau tertawa-tawa. Senang sekali.”
Aku ingat betul hari itu. Kami bermain seharian. Di tepi Sungai Musi, kapal-kapal pengangkut batu bara sesekali melintas. Puluhan hingga ratusan ton diangkat dalam sekali jalan. Kecepatannya pelan, bahkan bisa jadi tak lebih cepat dari seorang dewasa berlari.
“Farhan masih dalam kandungan. Meski Ibu sudah hamil tua, tapi Ibu senang. Ibu selalu ingat.”
Kata Ibu, itu terakhir kali kami bepergian jauh bersama. Beberapa bulan kemudian, Farhan lahir. Ibu senang sekali. Ayah turut menemani persalinan Ibu malam itu. Ibu pernah bercerita, usai mengazankan Farhan, Ayah langsung menggendongnya. Dia senang sekali. Kata Ibu, aku sampai cemburu setiap kali Ayah lebih memilih menggendong Farhan daripada aku. Tapi untuk yang itu, aku tak benar-benar ingat.
Saat-saat bahagia itu, Ayah selalu pulang membawa oleh-oleh. Aku berteriak paling kencang. Bahkan, kadang-kadang, aku memamerkan semuanya pada orang-orang yang lewat di depan rumah kami. Ibu bilang, aku tak boleh seperti itu. Tapi menurutku, itu adalah sebuah kebanggaan yang semua orang harus tahu.
“Di balik kebahagiaan itu, dia sering kelelahan. Kadang-kadang, sepulang kerja, dia langsung tidur. Ibu sering menanyakan pada Ayahmu, tapi lagi-lagi dia merasa baik-baik saja.”
Rumah kecil kami tak banyak berubah. Bangunannya, kamarnya, bahkan letak beberapa benda seperti lemari, meja, kursi, dan tempat tidur. Ibu malas menggeser-geser benda-benda itu. Meski dia bisa saja meminta Farhan menggesernya, dia tidak pernah mau melihat anak-anaknya lelah. Kadang-kadang, Ibu malah geleng-geleng kepala ketika aku mencucikan piring di rumah.
Di rumah kecil itu, ada sebuah kamar yang, kata Ibu, selalu menjadi tempat Ayah menyendiri. Di sana, berbaris buku-buku dalam lemari. Jika dia punya waktu senggang, dia akan menghabiskannya seharian di sana. Kadang-kadang, jika tengah malam dia terjaga atau susah tidur, dia juga akan menghabiskan waktunya di sana. Subuh-subuh, ketika Ibu bangun dan tak menemukannya di kamar, Ibu langsung bisa menebak keberadaan Ayah. Kadang Ayah tertidur di sana, atau kadang dia masih terjaga sambil baca buku.
“Sebenarnya, Ibu sudah sering bilang padanya, jangan terlalu sering begadang, tapi dia mengaku tidak bisa tidur. Kadang-kadang, Ibu usahakan menunggu Ayah sampai tidur, tapi lebih sering Ibu yang tertidur lebih dulu. Sebab Ibu harus bangun pagi untuk menyiapkan sarapan buat kalian.”
Ibu menduga, kebiasaan buruk itulah yang sering membuat Ayah susah tidur. Lama-lama, Ayah mengaku pusing dan mudah lelah. Ayah tak pernah cerita.
Jika Ayah kelelahan, Ibu sering menyarankannya untuk libur saja, ambil cuti, atau tidak terlalu memaksakan diri. Tapi begitulah Ayah, dia tidak benar-benar bisa menjadi orang yang diam di rumah. Baginya, akan sangat bersalah jika dia tak memenuhi tanggung jawabnya sebagai abdi negara. Kadang, jika Ayah pulang terlalu larut, dia tidak mau tidur, memilih untuk tidak tidur sama sekali.
Diam-diam, Ayah sering sakit kepala. Kata Ibu, dia kadang terlihat menahannya, memilih untuk tidur lebih cepat, atau memegang dengan kedua tangannya. Tapi seringkali dia akan terjaga tengah malam, lalu menghabiskan waktunya di ruangan khusus itu.
“Pernah, ketika Ayah sudah berangkat kerja, Ibu membereskan tempat tidur. Sebelumnya Ibu tidak sadar, tapi waktu itu banyak rambut. Beberapa hari, Ibu sering melihat rambut rontok. Ibu berharap tidak terjadi apa-apa pada Ayah.”
Ayah tak pernah cerita. Baginya, bekerja adalah suatu kewajiban yang pantang untuk ditinggalkan. Selain itu, dia juga tidak ingin kami tahu apa yang terjadi.
Sakit kepala Ayah semakin parah. Dia tak lagi bisa menahannya. Ibu akhirnya menemani ke dokter. Di sanalah semua rahasia terbuka. Ayah mengidap kanker otak dan sudah masuk stadium tiga. Sejak hari itu, Ibu tak mau berdiam diri di rumah. Pagi-pagi, Ibu sudah menjajakan kue di depan rumah. Kata Ibu, usiaku masih empat tahun saat itu. Kadang-kadang, Ayah hanya bisa berbaring seharian. Tubuhnya semakin lemah. Meski beberapa kali mencoba melakukan pengobatan, tapi tetap saja, takdir berkata lain. Kesehatan Ayah semakin memburuk. Rambutnya perlahan-lahan rontok, badannya semakin kurus, tubuhnya semakin lemah.
“Ayah meninggalkan kalian.”
Sejak hari itu, aku hanya bisa mengenang Ayah. Usiaku belum genap lima tahun, sedangkan Farhan belum mengerti apa-apa.
Aku baru merasa kehilangan ketika masuk sekolah. Anak-anak lain diantar ayah mereka, sedangkan aku hanya punya Ibu. Beberapa kali aku iri, mereka bisa tertawa bersama, sedangkan aku hanya bisa mengenang.
Kata Ibu, jika rindu, kami harus mendoakan Ayah. Ibu juga sering mengajak kami berziarah, jika kami bertanya di mana Ayah. Ibu tak pernah menangis di depan kami. Aku belajar banyak dari sana. Aku pun tak pernah ingin mengeluh, sebagaimana Ayah selalu kuat ketika badan tegapnya harus kalah melawan kanker.
“Ayah pergi begitu cepat, tapi Ibu tak pernah lelah merawat kalian, seperti Ayah yang tak pernah lelah meski tubuhnya menyerah. Itulah yang membuat Ibu kuat. Kalian adalah harapan Ayah, dan kalian harus menjadi sekuat Ayah.”
Ibu menjatuhkan air matanya. Kepalanya rebah di pelukanku.
*****