Bejo dan Untung

0
134

Aku tak tahu persis sejak kapan dua orang kakak-beradik itu muncul di depan rumahku. Semenjak suamiku dipindahtugaskan di sini, di sebuah kota kecil yang berjarak tigapuluh kilometer dari kota Solo, aku memang belum cukup bersosialisasi dengan warga di lingkungan baru. Hanya menyapa tetangga di sekitar kompleks pada minggu-minggu pertama. Selebihnya, waktu satu bulan ini kami habiskan dengan proses pindahan rumah dan pindahan tempat kerja yang cukup melelahkan. Namun kemunculan Bejo dan Untung, dua anak kecil kakak-beradik itu membuat acara pindahan kami menjadi terasa berbeda.

“Fad.. Fad..” begitulah suara mereka ketika memanggil nama anakku, Fadhil. Panggilan “Fad” terasa sangat tidak ramah di telingaku, karena teman-teman Fadhil di rumah lama kami terbiasa memanggilnya dengan empat huruf terakhir, yaitu “Dhil”, bukan “Fad”. Selain panggilan mereka yang terdengar tak biasa, suara mereka juga tidak memiliki intonasi. Terdengar sangat datar dari awal hingga akhir. Aku sempat bergidik ngeri dan mengira ada teror hantu di rumah baru. Pada umumnya, jika yang empunya rumah tidak menjawab, bukankah si tamu akan mengeraskan suaranya? Bahkan biasanya anak-anak akan lebih vulgar jika soal urusan teriak-meneriak.

“Bu, aku mau kerumah Bejo dan Untung!”
Fadhil begitu saja berlalu kemudian berlari menghampiri kedua teman barunya-yang saat itu baru kutahu nama mereka adalah Bejo dan Untung-tanpa memberiku kesempatan untuk bertanya. Aku masih tak mengerti darimana Fadhil mendapat teman seperti mereka. Dari namanya saja sudah tak biasa untuk anak zaman sekarang. Apalagi penampilan mereka yang, maaf, hitam, kumal dan bau. Padahal banyak sekali anak-anak di kompleks ini yang lebih bersih dan terawat. Aku tidak sedang melabeli keluargaku adalah yang paling bersih dan terawat. Tapi aku pikir pasti semua orang akan sependapat denganku ketika menyaksikan penampilan mereka berdua. Kaos oblong kusut yang sering kujumpai ada lubang di ujungnya, celana pendek warna-warni yang seperti terbuat dari bahan sisa, atau kemeja yang warnanya sudah sangat pudar, adalah pakaian mereka setiap harinya. Kalau dalam bahasa jawa, mereka ini terlihat “ora kopen”, yang artinya tidak terawat.

Satu bulan berlalu, Fadhil, Bejo dan Untung terlihat semakin akrab. Hari ini aku menganjurkan mereka bertiga untuk bermain di dalam rumah saja, karena jika main di luar, aku takut mereka berdua akan mengajak Fadhil ke tempat yang tak terduga. Kami belum tahu betul lingkungan di sini, apalagi Fadhil, bisa-bisa dia diajak main ke sungai di ujung desa. Saat main di rumah, ‘kan aku bisa mengawasi mereka sambil bekerja. Walaupun hanya bermain lego, menonton TV, atau main perang-perangan. Jujur, aku sudah tidak memedulikan penampilan mereka walaupun tak bisa dielak bahwa bau mereka masih sama. Yang penting Fadhil sudah punya teman baru yang tulus, begitu pikirku. Karena tak mudah mendapatkan teman di lingkungan baru, apalagi untuk usia Fadhil yang baru enam tahun. Anak-anak di kompleks ini lebih banyak yang berusia balita, atau malah sudah beranjak remaja.

Allahu akbar… Allahu akbar!
Adzan asar berkumandang. Saat itu ayah Fadhil kebetulan pulang kerja lebih awal. Seperti kebiasaan kami di rumah lama, suamiku akan mengajak Fadhil untuk menunaikan salat di masjid atau musalla, karena anak laki-laki memang harus dibimbing salat berjamaah. Fadhil langsung beranjak wudu dan mengambil sarung serta pecinya. Namun aku melihat Bejo dan Untung masih asyik bermain lego, menumpuk-numpuknya menjadi istana.

“Ayo ke masjid!” Fadhil mengajak mereka berdua untuk berhenti bermain dan segera menunaikan salat. Mereka masih tampak asyik, sepertinya istana mereka belum selesai.
“Ayo, keburu iqamat!” suamiku menimpali. Aku yang melihat mereka berdua tidak menyahut sama sekali segera beranjak menghampiri.
“Dek, udah ya mainnya. Lanjut lagi nanti sehabis salat asar.”
Mereka berdua malah saling tatap, tidak bergerak.
“Pakai sarung di masjid saja.” Lanjutku.
Fadhil dan ayahnya langsung keluar rumah karena suara iqamat sudah terdengar dari toa. Namun Bejo dan Untung masih tak bergerak. Air muka mereka nampak kebingungan. Seperti orang yang baru mendengar kata salat, masjid, dan iqamat.
“Sepertinya ada yang aneh dengan mereka berdua. Aku tak pernah melihat mereka ada di masjid selama ini, tidak seperti anak-anak lainnya.” Ucap suamiku sepulang dari masjid.
Aku memang belum menceritakan perihal teman baru Fadhil itu padanya. Dulu aku memang sudah melarang Fadhil bergaul dengan Bejo dan Untung, tetapi Fadhil beralasan dia tak mempunyai teman lain selain mereka berdua. Selain itu, menurut Fadhil, Bejo dan Untung sangat asyik ketika diajak bermain. Tidak seperti teman-temannya dulu yang suka merebut mainannya atau bahkan suka mengeluarkan kata-kata kasar. Bejo dan Untung sangat jauh dari itu semua. Kata-kata bijak jangan memandang orang dari fisiknya sepertinya harus lebih aku amalkan.
“Mbak, sebaiknya anaknya jangan dibolehin bergaul dengan dua anak itu!” suatu pagi ketika aku sedang menyapu, mbah Sarmi menghampiriku. Beliau adalah tetangga yang rumahnya berjarak lima puluh meter dari rumah kami.
“Memangnya kenapa, mbah?”
“Cari teman yang lain saja, yang lebih baik. Banyak kok, anak-anak baik di sini. Itu saja pesanku, mbak. Kasihan nanti anaknya, eman-eman.”
Mbah Sarmi berlalu begitu saja, menggantungkan banyak tanya di kepala. Aku hanya menatapnya pulang berjalan tertatih dengan tongkatnya. Aku ingin mengerjarnya, ah, tapi baru kuingat kompor di dapur masih menyala.
***
Sore itu tetiba saja awan gelap menggantung di langit. Aku buru-buru menginjak gas lebih dalam agar mobil yang baru saja kucuci tadi pagi tidak terguyur hujan. Ketika sampai di pertigaan, terlihat dari kaca, Bejo dan Untung berjalan lesu dari arah rumahku.
Byurrr…
Hujanpun tumpah. Beruntung aku sudah sampai rumah. Kulihat ayah Fadhil berdiri di depan pintu. Kukira dia akan membawakan barang belanjaanku, tapi semenit kemudian malah cecaran pertanyaan yang kudapatkan.
“Sebenarnya dua anak itu siapa, sih? Kutanya kenapa mereka nggak pernah ke masjid, malah diam saja. Kutanya ada berapa rekaat dalam salat subuh, bisa-bisanya nggak tahu. Mereka itu umur berapa? Kok Fadhil bisa berteman dengan anak macam itu?”
Aku buru-buru mengajak suamiku untuk masuk ke dalam, takut nanti jika ada tetangga yang mendengar. Walau aku yakin suara hujan yang deras saat ini cukup meredam suaranya. Fadhil terlihat diam di pojok ruang tamu, pasti dia tadi sudah ketakutan setelah diinterogasi ayahnya. Memang bukan tanpa alasan suamiku marah-marah begitu. Dia takut Fadhil akan terkena pengaruh buruk.
“Mas, aku juga memiliki pertanyaan yang sama sepertimu. Aku tak tahu asal-usul anak itu.”
Aku mencoba menjawab selembut mungkin. Karena jika aku menjawab apa adanya-Fadhil tidak punya teman lain selain mereka-pasti suasana akan lebih suram. Bisa-bisa aku juga ikut disalahkan. Maka aku segera teringat perkataan mbah Sarmi tempo hari. Daripada aku semakin dicecar pertanyaan oleh suamiku, segera aku keluar rumah, tergopoh-gopoh di bawah payung menuju rumah mbah Sarmi. Aku harus tahu kebenaran tentang dua anak itu.
“Assalamu’alaikum, mbah…”
Terlihat Mbah Sarmi sedang duduk di dapur yang bisa nampak langsung dari pintu depan. Mbah Sarmi segera beranjak dengan tongkatnya dan mempersilakanku duduk di dipan alakadarnya. Nampaknya beliau sudah tahu maksud kedatanganku.
“Maaf ya mbak, kemarin mbah pergi begitu saja. Mbah ndak kuat kalau berdiri lama-lama.”
“Iya, ndak apa-apa, mbah.” Jawabku sambil membenarkan posisi duduk.
“Dulu mbah memang berteman dengan kakek mereka. Namanya Kasno.” Kata mbah Sarmi mengawali cerita tanpa kuminta. Asap dari rokok klobot yang dihisapnya menguar ke udara.
“Tapi, si Kasno itu dulu ikut partai terlarang. Ndak ada warga yang mau dekat-dekat dengannya.” Lanjut mbah Sarmi. Aku mengangguk-angguk dengan seksama.
“Anaknya cuma satu, Jali namanya. Tapi dengar-dengar, si Jali malah punya ilmu hitam.” Mbah Sarmi menghisap rokok klobotnya dalam-dalam. Aku jadi agak mengerti, mengapa Bejo dan Untung seperti asing dengan kata masjid dan salat.
“Mereka semua sempat menghilang, tapi enam tahun yang lalu Kasno kembali, membawa Bejo dan Untung yang saat itu masih bayi. Ya mereka berdua itu, anaknya Jali.”
Mbah Sarmi menandaskan rokoknya di asbak sambil menatap langit-langit rumah. Sepertinya masih banyak yang ingin ia ceritakan, tapi kurasa penjelasan mbah Sarmi sudah cukup membuatku mengerti apa yang harus aku lakukan.
“Maturnuwun nggih, mbah.” Kataku, memecah keheningan.
“Sepurane ya, mbak. Pasti njenengan bingung sebagai warga baru. Mbah Sarmi kaget sekali waktu kemarin melihat anak njenengan main dengan dua anak itu, karena disini tidak ada satupun anak yang main dengan mereka. Mbah takut sekali anak njenengan jadi ikut-ikutan nakal.”
Aku menghela nafas panjang.
“Saya yang seharusnya minta maaf, mbah. Sebagai warga baru, seharusnya saya yang mencari tahu.” Aku mengucapkan terima kasih pada mbah Sarmi karena sudah memberi penjelasan tentang asal-usul Bejo dan Untung.
Hujan masih deras. Air yang turun seperti isi pikiranku saat ini : banyak, dan tak terbendung.
***
“Fad.. Fad..”
Kembali suara itu terdengar. Hari ini hari Minggu. Awan putih bergumul di langit yang biru. Segera kubukakan pintu, dan menyuruh mereka berdua masuk. Di ruang tamu sudah kusiapkan beberapa baju Fadhil yang masih layak pakai, sarung, peci, alat tulis, dan buku iqro. Alih-alih melarang Fadhil untuk berteman dengan mereka, aku akan membimbing mereka ke jalan yang lebih baik. Karena aku yakin, tidak ada anak kecil yang terlahir jahat. Hanya lingkunganlah yang tidak berpihak.
Dan aku yakin, pasti ada alasan mengapa orang tua mereka memberi nama Bejo dan Untung. Semoga mereka berdua bisa menjadi orang yang beruntung, dengan hidup yang lebih layak dan lebih baik di masa depan.

————– selesai —————-
Biodata Penulis
Haniah Nurlaili, lahir di Sragen, 27 Mei 1989. Sudah cukup lama vakum dari dunia kepenulisan dan sekarang sedang memulai kembali. Karya terakhir yang dimuat di media massa adalah cerpen di harian Solopos dan Joglosemar pada tahun 2012. Beberapa judul yang pernah dimuat antara lain : Malam Pertama Rani, Job Fair, Pengemis Pasar, Aku dan Pengemis Tua. Pada bulan Desember 2021 mengikuti event membaca cerpen yang diadakan oleh akun Youtube Litera Cafe dan berhasil meraih juara pertama.


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here