Pagi ini kami kedatangan warga baru, dia seorang laki-laki tampan, memiliki postur tubuh yang ideal, dan sepertinya dia dari kalangan orang berada. Dia mengenakan setelan jas dan dasi yang bagus. Kami menyambut dengan sangat antusias, bahkan kami menampilkan tarian adat desa kami dalam menyambut dan menjamu tamu.
Sebut saja dia Leo. Mungkin Leo masih sedikit canggung dengan kami, sehingga Leo tidak merespon apa-apa dengan sambutan kami. Wajarlah, konon di negaranya dia adalah seorang yang terhormat, seorang pejabat tinggi yang memiliki rumah mewah, mobil mewah, dan semua yang serba mewah. Entahlah, mungkin Leo harus dipindahtugaskan ke daerah kami ini. Leo hanya butuh penyesuaian seperti Parmin, pendatang baru minggu lalu. Setelah beberapa hari di sini, dia juga sudah mulai bisa beradaptasi dengan kebiasaan kami.
“Kita harus membuat jamuan yang istimewa malam ini untuk merayakan kedatangan Leo,” ucap Kusno dengan nada yang sumringah.
“Yah, kita sih tergantung atasan saja malam ini makan apa. Yang penting kita tidak mati kelaparan,” jawab Teguh ketus.
“Hai, Leo. Selamat datang di desa kami. Anggaplah rumah sendiri, kami semua saudara. Namaku Supri, semoga betah ya.”
“Halo Mas Leo, aku Siti. Aku kembang desa di sini. Kalau ada apa-apa panggil aja aku. Nggak usah malu-malu, yah,” goda Siti dengan gaya kemayunya.
Kemudian, satu per satu dari kami memperkenalkan diri kepada Leo. Kusno, Teguh, Parmin, Jaya, Gadis, Linda, dan semuanya. Tapi pandangan Leo masih sama, seperti seorang yang ketakutan, yang ingin segera lari dari tempat ini, bahkan dia selalu memegangi tas kecil yang seperti koper itu dengan erat. Ketika Leo ditawari untuk mengganti bajunya dengan baju kebangsaan kami dia malah lari dan bersembunyi di balik bilik yang sudah disediakan untuk dia. Mungkin Leo belum terbiasa dengan keadaan seperti ini, adat yang masih terjaga, kekeluargaan yang masih erat, dan rasa persaudaraan yang tak pernah hilang meskipun kami dari latar belakang yang berbeda-beda.
Matahari sudah mulai merendah menyentuh lautan, sinarnya yang semakin rembang membuat suasana di desa ini semakin indah. Setelah penyambutan kedatangan Leo siang tadi kami tetap beraktivitas seperti biasa. Desa kami memang tidak seberapa luasnya, bahkan warga kami hanya puluhan, tidak sampai ratusan warga. Tapi kami bisa pergi kemanapun kami mau, meskipun pusat kegiatan tetap berada di lingkungan desa kami, tidak perlu jauh-jauh. Warga kami pun banyak yang bekerja sebagai PNS, pekerja kantoran, pengajar, pegawai bank, petani, penjual batu akik, penjual bakso, penjual jamu, wartawan, anak sekolah, dan masih banyak lagi. Tidak sedikit juga warga kami yang pengangguran dan putus sekolah.
Tapi, semua itu bukanlah perbedaan yang harus kami jadikan masalah besar. Kami tetap bisa menjaga tali silaturahmi justru dengan adanya perbedaan itu, miskin-kaya, tua-muda, semua sama. Kami juga memiliki seragam yang kami sebut baju kebangsaan, meski sederhana tapi baju itu yang membuat kami semakin rukun. Baju berwarna putih yang selalu kami gunakan dalam kegiatan apapun.
Pemimpin kami juga sangat baik hati, beliau tidak pernah membiarkan warganya mati kelaparan, beliau selalu memberi kebebasan kepada kami untuk berbicara atau berpendapat, beliau memfasilitasi apapun yang kami butuhkan tanpa harus basa-basi atau embel-embel uang, beliau juga selalu mengajarkan kami untuk hidup rukun.
“Hei, hei, hei, Pak Pimpinan datang, beri salam, beri salam…” teriak Hari sambil berlari-lari kecil di halaman.
Semua warga berkumpul dan dengan sendirinya berjajar seperti pagar betis menyambut kedatangan Pak Pimpinan.
“Selamat malam, Paaakkkk….!!!!” seru para warga dengan serempak.
Seperti biasa, Pak Pimpinan hanya tersenyum sambil melambaikan tangan dan menyuruh kami bubar, karena beliau tidak suka diperlakukan istimewa oleh warganya. Setiap tiga hari sekali beliau selalu memeriksa warganya, jika ada yang sakit atau kesusahan langsung beliau tangani.
Malam pun semakin larut, sudah waktunya kami para warga untuk memejamkan mata. Di desa kami, juga ada peraturan jam malam. Ketika jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB para warga sudah harus masuk bilik masing-masing dan tidur, karena keesokan paginya kita harus kembali beraktivitas. Kebiasaan semacam ini kami terapkan juga demi kebaikan para warga untuk menjaga kesehatan, tidur teratur, dan bangun tepat waktu.
Leo, dia masih saja belum beranjak dari tempat duduknya di pojokan dinding biliknya. Padahal sudah waktunya para warga tidur.
“Aku tidak gila, aku tidak gila, aku tidak gila….” teriak Leo dengan wajah penuh emosi.
Memang, siapapun yang masuk ke desa kami harus siap dianggap gila. Sebab desa kami lain dari desa-desa yang lain. Kami memiliki pemimpin yang lain daripada yang lain, memiliki peraturan sendiri, peraturan yang membahagiakan kami bukan peraturan yang justru mengekang kami. Di sini kami bebas mengekspresikan apapun yang kami mau.
***
Matahari sudah menyapa pagi dengan sinarnya yang hangat, meski belum setinggi galah. Semua warga sudah bangun dan memulai aktivitasnya masing-masing. Burung-burung pipit yang meregangkan sayap-sayapnya siap untuk terbang mencari sesuap nasi untuk anak-anaknya. Pohon waru yang bertengger tegap di tepi lapangan menggugurkan daun-daunnya yang mulai kering, desisan angin pagi lembut menyapa semangat kami. Suasana yang sulit kita jumpai di perkotaan. Manusia-manusia yang masih setengah sadar menggantungkan handuknya di pundak dan bergegas menuju kamar mandi karena perut mulas, perempuan-perempuan dengan rol rambut yang masih bertengger di kepalanya sibuk menyiapkan sarapan, bahkan ada yang duduk-duduk di teras sambil membaca koran dan menyeruput kopi hitam.
Sungguh indahnya tempat ini, damai, dan sejahtera. Hal yang selama ini selalu aku rindukan. Meski baru beberapa bulan aku di sini, tapi aku merasa lebih tenang. Ramah tamah dan sopan santun penghuninya membuatku enggan enyah dari tempat ini.
“Mereka semua bukan orang gila, mereka hanya orang-orang yang merasa haknya terampas, orang-orang yang menjadi korban ketidakadilan, orang-orang yang suaranya tidak pernah di dengar. Aku Krisna.”
Leo hanya terduduk diam sambil terus memegangi tasnya yang entah berisi apa, badannya bergetar, gemetar seperti orang ketakutan. Mungkin dia juga berpikir bahwa orang-orang yang berada di sini semua gila. Padahal mereka hanya orang-orang yang membutuhkan perhatian khusus, mereka sudah lelah dengan peraturan yang selalu berubah-ubah dan membuat mereka tertekan. Maka dari itu mereka lebih memilih untuk hidup di sini, membangun desa sendiri dengan peraturan yang membahagiakan mereka.
“Aku tidak gila…” teriak Leo.
“Aku tahu, aku pun tidak gila. Tidak ada yang gila di sini. Apa kamu dianggap gila oleh orang-orang di negaramu?”
Leo masih membisu dengan tatapan kosong dan ketakutan. Aku mengajak Leo keluar dari biliknya. Awalnya Leo menolak. “Aku akan menunjukkan sesuatu padamu,” aku menunjukkan identitasku dan akhirnya dia memenuhi ajakanku. Aku mengajak Leo duduk di kursi rotan di bawah pohon waru tepi lapangan.
“Kamu lihat laki-laki setengah baya berpeci di sebelah tangga itu?” aku menunjuk ke arah Kusno yang sedang berpidato di samping tangga.
“Dia Kusno. Sudah hampir 5 tahun dia tinggal di sini dan dia selalu melewati hari-harinya dengan berpidato seperti itu. Dia adalah seorang yang cerdas, dia sempat mencalonkan diri sebagai kepala desa di kampungnya. Tapi, sayang dia dicurangi oleh lawannya sehingga dia depresi dan memilih tinggal di sini. Dia tidak gila, dia hanya ingin suaranya didengar oleh orang-orang.”
Aku mengalihkan pandangan ke sebelah timur lapangan.
“Dia Siti. Aku akui dia wanita paling cantik di sini. Dia seorang kembang desa yang menjadi biduan di desanya dulu. Dua tahun lalu, Siti harus mengalami kejadian pahit. Dia dilecehkan oleh segerombolan pemuda yang sedang mabuk. Dia ketakutan, dia malu, dia tidak berani mengatakan kepada siapapun tentang kejadian itu. Akhirnya, orang tuanya menganggap Siti gila dan mengirimkannya ke tempat ini. Sekali lagi, dia tidak gila, hanya dianggap gila oleh orang tuanya.”
“Dia Parmin, satu minggu sebelum kedatanganmu dia datang. Tanpa keluarga. Dia sarjana hukum, lulusan terbaik dari universitas terbaik di kotanya. Aku sendiri belum mengetahui mengapa dia memilih hidup di tempat ini. Mungkin karena tempat ini terlalu indah dan ramah.”
“Indah?” Leo terperanjat menanggapi ucapanku.
“Ya. Kamu lihat di sebelah sana?” aku menunjuk ke arah taman.
“Dia selalu duduk di ayunan itu selama di sini. Dia paling muda di antara kami, usianya baru 15 tahun. Tahun lalu dia tidak lulus ujian sekolah, mungkin dia depresi sampai pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Keluarganya menitipkan dia di tempat ini dengan harapan agar lebih tenang. Namanya Gadis.”
“Kalau yang ada di sebelahnya itu Teguh, laki-laki cerdas. Dia menolak penggusuran tanah di kampungnya dulu. Seorang kontraktor muda berusaha menggusur beberapa lahan di kampungnya untuk dijadikan real estate dengan iming-iming ganti rugi sebesar milyaran rupiah. Namun Teguh menolak dengan tegas, sampai-sampai dia melabrak ke kantor kontraktor itu hingga dia dianggap gila dan dimasukkan ke tempat ini.”
“Dan….”
“Kamu?” tanya Leo.
“Aku bukan siapa-siapa di sini. Aku hanya mencari ketenangan dari hiruk pikuk kota yang membuat bising.”
“Mengapa di sini? Kamu tidak gila kan?”
Aku berdiri sambil menikmati pemandangan yang indah dari tengah lapangan ini.
“Kamu masih berpikir di sini tempat orang gila? Di sinilah tempat yang sesungguhnya. Aku lebih memilih dianggap gila, seperti mereka, tapi hidupku damai. Hidup bersama orang-orang tanpa kemunafikan dan sandiwara.”
Bagus…
Jadi, siapa sebenarnya yang gila ya?
Cerpen bagus 👍👍
Hihihi… Mari kita renungkan bersama, siapa yg sebenarnya gila.
Terima kasih Mbak Afra komentarnya ☺