Kucing-kucing dan Keinginan Ibu

0
112

Jika tetangga tahu bagaimana ibu memperlakukan kucing-kucing di rumahku, aku yakin mereka akan sama sepertiku, menganggap ibu terlalu berlebihan dalam mengurus kucing-kucingnya. Kucing-kucing itu telah menjelma anak ibu, menjelma adik-adikku. Ibu mengurus kucing-kucing itu hampir selayaknya manusia.

Kucing ibu berjumlah lima. Dua tahun yang lalu datang seekor kucing dengan warna rambut putih-hitam ke rumah. Suasana hujan deras disertai petir. Kucing itu meringkuk di bawah kursi teras. Matanya seperti orang mengantuk. Pertama kali yang mendapati bahwa di bawah kursi teras ada kucing adalah aku.

Melihatnya aku tidak tega. Aku cuilkan ikan bandeng jatah makan siangku. Kuberikan padanya. Yang awalnya terlihat tak punya tenaga, kucing itu menjadi bersemangat. Bulunya tampak kumal dan tubuhnya begitu kurus. Ketika hujan reda, kucing itu sempat pergi. Namun, keesokan harinya ia muncul lagi. Aku bilang kepada ibu kalau di teras ada kucing. Ibu keluar dan bilang kepadaku dengan nada memelas, bahwa ia kasihan kepadanya.

Semenjak itulah, rumahku menjadi rumah kucing itu. Kucing itu seakan seperti menemukan tempat yang baru. Setiap hari ibu memberinya makan, meski kebanyakan makanan yang diberikan bukanlah ikan atau tulang ayam. Paling sering ibu memberikannya tempe dicampur dengan nasi. Kemudian juga telur. Yang membuatku tidak habis pikir, kucing itu juga doyan roti kemasan.

Kucing itu kuberi nama Belang karena memang warnanya yang putih hitam. Lambat laun ia membesar, hingga kemudian mengandung dan melahirkan dua ekor anak kucing berwarna cokelat dan abu-abu. Hanya saja kucing yang berwarna cokelat mati. Di rumah pun menjadi ada dua kucing. Pada awalnya aku menyarankan ibu untuk membuangnya, sebab suara kucing abu-abu begitu berisik ketika ibu sedang di dapur atau membawa piring—kucing itu meminta makan.

“Jangan dibuang. Kalau kamu tidak sanggup, biar ibu yang merawat. Ibu sudah meniati untuk merawatnya. Lagi pula kalau terganggu dengan suaranya lucu juga, bukankah suara kucing memang seperti itu?” ucap ibu kala itu.
Ucapan ibu tidak membuatku memaksakan diri untuk membuangnya. Aku melihat ibu begitu menyayangi kucingnya. Akhirnya aku menjadi terbiasa dengan suara kucing abu-abu. Kalau Belang suaranya tidak seberisik kucing abu-abu.

Kucing abu-abu pun semakin besar. Belang kembali melahirkan tiga anak, adik kucing abu-abu. Tapi hanya bertahan satu bulan, ketiga adik kucing abu-abu mati. Hingga kemudian kembali melahirkan lagi, dua ekor kucing. Jumlah kucing menjadi empat. Kucing abu-abu sudah agak besar. Hingga Belang melahirkan seekor lagi setelah kelahiran dua kucing yang terakhir. Jumlahnya menjadi lima.

Ibu semakin menyayangi kucing-kucingnya. Kelima kucing itu benar-benar seperti anak ibu. Saat kucing-kucing itu mendekat pada ibu dan ibu tidak membawa makanan, ibu seringkali mengaku merasa berdosa. Wajah-wajah yang mengundang iba melongok ke atas, seperti rakyat kecil yang menantikan bantuan pangan dari pemerintah.

Terkadang pula salah satu atau dua dari mereka berleha-leha di pangkuan ibu. Paling sering adalah kucing bungsu. Yang sering kupegang adalah kucing abu-abu. Dalam perjalanan merawat kucing itu ibu acap kali mengeluh. Apalagi terhadap kucing paling kecil, ibu sering mengomel dengan nada gemas, mengancam akan membuang, walaupun ibu tidak pernah benar-benar merealisasikan. Apa yang membuat ibu mengomel?

Karena kucing yang masih kecil ketika buang kotoran sembarangan. Kucing kecil sering kali membuangnya di keset pintu dapur. Jadi ibu setiap hari membersihkan keset, sudah seperti membersihkan ompol bayi. Sementara empat kucing lainnya sudah mengerti di mana seharusnya membuang kotoran—mereka dulu juga demikian, kecuali si Belang sebab ia datang di rumah sudah dengan ukuran tubuh yang tidak kecil.

Sebenarnya aku risih dengan keluhan-keluhan ibu mengenai kucing yang buang kotoran sembarangan. Namun, aku sendiri tidak pernah mau untuk membersihkannya. Mauku hanya mengelus-elus rambut-rambut mereka. Oh, ya sebenarnya ayah juga risih mendengar keluhan-keluhan ibu. Ayah bilang kalau memang keberatan membersihkan lebih baik tidak usah memelihara kucing. Meskipun begitu ayah juga kadang membantu ibu karena tidak tega. Ayah juga suka kucing, tapi tidak punya niat memeliharanya.

“Beli kurungan kucing kalau tidak dipakai, untuk apa?” kataku kepada ibu, setelah ibu mengeluh yang kesekian kali.
Memang, ibu membeli kurungan untuk kucing, agar kucing-kucing itu tidak mengganggu acara masak ibu. Sebelum membeli kurungan, ibu sudah mengatasi dengan menutup pintu dapur. Namun, suara kucing yang terlalu dekat—karena kucing-kucing itu pasti di dekat pintu dapur—membuat ibu akhirnya membuka pintu. Kata ibu percuma, walaupun tidak diganggu, suara itu lama-lama juga membuat telinga gatal.
“Akhirnya ibu risih juga!”
“Kamu ada benarnya juga, memang lebih baik dibuang. Suaranya lama-lama membuat tidak betah!”

Akhirnya ibu mengakui! Kalau suara kucing itu membikin telinga menjadi gatal. Meski begitu, apa yang diucapkan ibu hanya sebatas di mulut saja. Pada nyatanya ibu tidak membuang kucing-kucingnya. Ibu tetap memperlakukan mereka seperti seorang anak. Dan memang, semenjengkel-menjengkelkannya seorang anak, tetaplah harus dirawat.

Ibu membeli tiga kurungan. Supaya suara-suara kucing itu sedikit berjarak dengan dapur. Kurungan kucing itu ibu letakkan di depan. Sebelum acara memasak dimulai, ibu masukkan terlebih dulu kucing-kucing ke dalam kurungan. Awalnya berjalan lancar, lama-lama ibu tidak melakukan hal itu lagi. Ibu membiarkan dirinya diganggu kucing-kucing itu ketika memasak—agar tidak terlalu mengganggu dan ibu hendak memasak ikan atau ayam, ibu mencuilkan beberapa suir untuk kucing-kucing itu.

“Biarlah kucing-kucing itu menganggu ibu, bukankah orangtua mau tidak mau harus siap menghadapi bocahnya yang rewel?” ucap ibu, setelah aku kembali mengatakan untuk apa membeli kurungan kalau pada akhirnya tidak digunakan.
Ucapan ibu menegaskan kalau ia menganggap kucing-kucing itu sebagai anaknya. Mengapa bisa sampai sebegitunya? Pagi-pagi sekali ibu sudah sibuk membersihkan kotoran yang ada di keset pintu dapur, sembari kucing yang paling kecil menunggui tidak jauh dari ibu. Ibu selalu mengajaknya bicara, seperti ibu-ibu yang mengomel karena anaknya ngompol di kasur. Selesai bersih-bersih, ibu memasak.
Ketika masakan sudah matang, ibu tidak langsung menyuruh aku dan ayah untuk makan. Ada prosesi meracik makanan untuk kucing terlebih dahulu, baru kemudian ibu menyuruh aku dan ayah untuk makan.

“Ngompolan! Kalau pipis itu di luar! Uhh, sayang….” Kata ibu, setelah makan selesai sembari mengelus-elus kucing paling kecil.
“Itu kayak kakak-kakakmu, yang tidak pipis di dalam rumah.”
Benar-benar ibu, batinku sedikit menggeleng-gelengkan kepala. Aku terkadang bertanya-tanya apa yang membuat ibu demikian? Aku tidak yakin semerta-merta karena kehadiran kucing-kucing itu. Terkadang ayah marah-marah kalau ibu malah mengajak kucing-kucing itu bicara, ketika ayah sedang mengajaknya berbicara. Ibu dianggap berlebihan dalam memberlakukan kucing-kucing itu.

Pagi ini, ibu kembali menunjukkan perlakuannya terhadap salah satu kucing. Ibu menggendong kucing abu-abu dan kucing itu seperti orang mengantuk. Ibu kemudian duduk di kursi sembari mengajaknya berbicara.
“Sudah kenyang ngantuk, ya?”
Ketika aku hendak pergi, ibu menanyakan kepadaku pertanyaan yang sama seperti tiga hari yang lalu. Ibu menagih janjiku. Sebelum aku berjanji kepadanya mengenai suatu hal, memang aku menceritakan kalau aku sedang dekat dengan seseorang dan aku pasti akan membawanya ke rumah.
“Mengapa tidak segera kamu bawa ke sini? Kalian menunggu apalagi?” kata ibu.

Kalian menunggu apalagi? Tiga kata itu sedikit mengagetkanku. Seakan-akan ibu ingin segera aku pergi ke dunia yang baru; sebuah rumah tangga. Padahal aku baru saja menyelesaikan kuliahku. Aku memperhatikan ibu dan kucing yang ada di gendongannya. Ibu benar-benar seperti sedang menggendong anak kecil.
“Sudah dua hari ini Masmu tidak mengirim kabar ke ibu maupun ke ayah. Apa dia juga tidak mengirim kabar ke kamu?”
“Tidak,” ucapku.
“Kok tidak berkirim pesan, blas!” keluh ibu.
“Baru dua hari lho, Bu. Mungkin Mas sedang sibuk. Lagi pula, mau mengabari apa? Toh, biasanya hanya berkirim pesan candaan, toh?”
“Ya, kali saja ada kabar membahagiakan.” Suara ibu terdengar nelangsa.
Mata ibu tiba-tiba menjelma sumur yang dalam dan kering. Di kedalaman matanya, ibu seperti menantikan sesuatu yang tidak kunjung datang. Aku terus memperhatikan ibu.

Tiba-tiba aku menyalahkan diri sendiri karena tiga hari yang lalu telah membuat janji dengan ibu. Mengapa sebagai anak aku tidak peka? Wajah kakakku dan istrinya berkelebat dalam kepalaku. Aku membayangkan apa yang menjadi keinginan mereka dalam rumah tangganya. Seharusnya aku tidak menceritakan dan membuat janji. Dengan aku cerita, pikiran ibu pasti berkembang ke mana-mana. Dan….

“Sudah empat tahun masmu menikah, tapi belum dikaruniai cucu. Ibu kasihan sama, Masmu,” ucap ibu.
Ucapan ibu seperti menegaskan. Aku bisa merasakan, ucapan yang baru saja sesungguhnya ditujukan untuk diri ibu sendiri, bukan masku. Ya. Aku bisa merasakan. Kedalaman mata itu menantikan kehadiran cucu. Dan aku? Aku mengerti, mengapa ibu segera begitu ingin aku melunasi janjiku.

Jejak Imaji, Juni-September 2022
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2021. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumnus Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat @risen_ridho.


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here