“Kita bisa membeli sperma kalau hanya ingin punya anak.”
Kata-kata Ratna masih saja terngiang di telingaku meski sudah seharian aku berpisah dengannya. Bahkan masih membuat dadaku berdesir. Teman SMA-ku yang dulu sangat bersahaja itu sudah berubah. Tidak hanya dari dandanannya saja yang menurut dia mencerminkan wanita modern yang mandiri, tetapi cara berpikirnya pun sangat berbeda.
“Indah?”
Aku termangu dengan sosok seorang wanita berblues krem tua dengan rok agak mini yang ragu-ragu menyapaku saat aku keluar dari ruanganku. Sepatu coklat tua yang ber-high-heel sekitar lima belas sentimeter menambah kesan jangkung. Aku mengangguk pelan tanda membenarkan sapaannya, sambil mencoba mengingat siapa gerangan dia.
“Maaf, mbak ini siapa?” Aku memandangnya dengan seksama, sementara keningku mengernyit, merasa masih belum mengenalinya.
“Aku Ratna, Ndah. Ratna, teman SMA.”
“Ya, Allah. Ratna Savitri ya?”
Aku mengulurkan jabat tangan. Tetapi Ratna justru memelukku erat. Sesaat kami tenggelam dalam keharuan setelah lebih dari lima belas tahun tidak bertemu.
“Kamu dosen ya?” Aku mengangguk pelan. Entah kenapa aku merasa asing dengannya. Tidak ada chemistry bergejolak di diriku, sebagaimana seharusnya dua orang teman lama bertemu.
“Bagaimana kalau kita berbicara di ruanganku?”
Aku berbasa-basi menawarkan waktu. Entah apa yang membuat Ratna yang dulu berjilbab rapat, kini menjadi sosok wanita yang sama sekali lain. Mungkin karena itulah aku kesulitan untuk mengenalinya.
“Boleh. Tetapi aku hanya ada waktu lima belas menit. Mau ada seminar.”
Senyum terus saja mengembang di bibirnya. Tetapi anehnya aku tidak menemukan pesona dari wajahnya. Aku masih mencoba membandingkan sosok wanita di hadapanku yang sama sekali lain dengan Ratna yang dulu aku kenal.
“Kenapa? Kaget dengan penampilanku ya?” Aku tercekat dengan kalimatnya. Mungkin dia merasa risih dengan pandangan penuh selidikku.
“Gimana kabarmu?”
“Alhamdulillah,” aku menjawab singkat. “Kamu sendiri?”
“Ya, beginilah. Selalu loncat dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu seminar ke seminar lain. Pokoknya mobiling dari Sabang sampai Merauke.”
“Terus, keluarga?”.
“Aku belum menikah, Ndah. Malas!”
“Malas?” Aku tercekat, tetapi sebisa mungkin kusembunyikan reaksiku.
“Iya. Perkawinan kan hanya sebuah lembaga yang melegalkan seorang pria untuk menguasai wanita. Dan aku bukan wanita yang mau dijajah pria. Aku tipikal wanita mandiri yang tidak harus menggantungkan hidup kepada pria.”
“Aku rasa tidak sepenuhnya benar, Rat. Perkawinan masih sebuah lembaga suci untuk mewujudkan hidup yang berkualitas. Banyak harmonisasi antara pria dan wanita yang menghasilkan sesuatu yang besar yang tidak bisa dinilai hanya dengan penelaahan atau penelitian belaka. Dalam rumah tanggaku, misalnya, kami sama-sama mendapatkan perasaan aman, nyaman, saling membutuhkan dan banyak lagi.”
“Tetapi tetap saja sang suami yang dominan, kan?”
“Iya, karena biar bagaimana suami kan tetap kepala rumah tangga.”
“Aku setuju-setuju saja dengan dogma itu, kalau memang suami bisa mendapatkan lebih banyak uang dari kita. Lebih pintar dari kita. Lebih cekatan dari kita. Pokoknya lebih segala-galanya dari kita. Tetapi kalau kenyataan istri-lah yang lebih banyak berperan dalam keluarga, seharusnya kan ada aturan yang membolehkan wanita menjadi kepala keluarga.”
“Tetapi dalam agama kan sudah dinyatakan bahwa ar-rijaalu qawwaamuna ‘alan nisaa’. Dan aku percaya, apa yang sudah digariskan Allah, itulah yang terbaik buat kita, karena kita tidak bisa menyibak rahasia di balik ayat tersebut”.
“Itulah Ndah. Agama, undang-undang, peraturan dan segala yang ada di bumi ini seolah dikonsep hanya untuk pria. Pria boleh berpoligami, sementara wanita tidak. Aurat wanita seluruh tubuh, bahkan suara kita pun haram. Sementara pria boleh bertelanjang dada ke mana-mana. Kerja ini dilarang, melakukan itu tercela. Ah, pokoknya tidak adil.”
“Aku rasa tidak bisa hitam putih begitu untuk mengurai apa yang kamu katakan itu Ratna. Penafsiran manusia bisa saja salah, tetapi esensi syari’at tidak bisa dibantah. Ini bukan masalah adil atau tidak, tetapi sebuah keniscayaan hidup seorang hamba.” Aku melirihkan suaraku. Intonasinya pun kubuat sehalus mungkin agar aku bisa mengerem nuraniku yang mulai terusik.
“Tetapi apapun, kita hidup di jaman modern yang sudah menuntut kesetaraan, Ndah. Sudah saatnya wanita menjadi pemimpin. Wanita harus diberi porsi yang sama dengan pria, karena emansipasi adalah sebuah keharusan.”
“Aku setuju dengan emansipasi, Ratna. Tetapi tentunya tidak serta merta penyamarataan dalam segala bidang. Fitrah pria dan wanita yang memang berbeda adalah alasan kenapa kesetaraan tidak lalu berarti sama persis. Ada sesuatu yang hanya bisa bagus dikerjakan pria, begitu pun ada yang memang hanya bisa dikerjakan wanita. Itulah yang tadi aku bilang, harmonisasi antara keduanya sangat diperlukan demi keberlangsungan hidup yang lebih indah.”
“Tetapi pria tetap saja merasa berhak menguasai wanita. Mereka seenaknya mengintimdasi dan menyiksa wanita. Menjadikan wanita sebagai barang dagangan yang bisa seenaknya mereka rasakan, lalu mereka buang.”
“Kalau menurutku itu kasuistik, Ratna. Tidak semua. Bukankah banyak juga dari kaum kita yang dengan alasan beragam kemudian melacurkan diri. Dengan iming-iming kemewahan, rela dijadikan simpanan. Bahkan demi sebuah cita-cita, merelakan kehormatannya. Kalau sudah begitu, berarti kita punya peran dalam pelecehan itu.”
“Itu karena sistem yang memojokkan wanita berada dalam posisi yang serba tidak punya pilihan. Lihat saja, di mana-mana wanita hanya menjadi pemanis.”
“Nah, bukankah itu justru sebuah pilihan?. Kenapa mereka hanya mau menjadi pemanis? Bukankah di jaman yang sudah begitu luas dan beragam pilihan hidup ini, kita bisa mempunyai banyak kesempatan agar tidak hanya menjadi pajangan?”
Itulah, Ndah, wanita butuh banyak lagi pejuang untuk membela kepentingan mereka. Untuk menyuarakan nasib mereka agar wanita tidak hanya menjadi pemanis dan pajangan. Aku muak dengan kenyataan yang menempatkan wanita hanya sebagai kacung belaka.”
“Aku setuju Ratna. Tetapi pembelaan tanpa batas hanya akan menjadi bumerang bagi kita. Lihat saja, bagaimana kita mati-matian membela rok mini atau penampilan seksi di tivi. Menurutku itu bukan lagi perjuangan untuk perbaikan nasib wanita, karena moral dan agama tidaklah mengenal gender.”
“Lho, kamu kok justru memojokkan kaum kita, Ndah.”
“Ini bukan masalah siapa membela siapa, Ratna. Siapapun yang berbuat tidak baik, mau pria ataupun wanita, harus kita ingatkan. Bukan justru kita bela membabi buta. Dalam kondisi apapun, kearifan tetap kita perlukan karena itu justru senjata ampuh untuk bisa mengangkat derajat wanita.”
Ratna terdiam sesaat. Pandangan matanya tajam menusuk. “Ah, aku tidak mengerti jalan pikiranmu, Ndah. Aku kira, setelah menjadi dosen, kamu akan berpikiran moderat dan mau ikut memikirkan kaum kita, tetapi ternyata kamu masih saja kolot. Kamu masih hidup di jaman Kartini yang mau mengabdi sepenuhnya kepada pria.”
“Terserah kamu mau bilang apa, Ratna. Aku akui, aku memang tipikal wanita yang masih menempatkan pria sebagai sosok yang menjadi pembimbingku. Aku bisa menjadi superwomen, tetapi aku tetap butuh pria. Kasarannya, bagaimana kita bisa punya anak kalau tidak hidup bersama pria?”
“Kita bisa membeli sperma kalau hanya ingin punya anak. Jaman sudah canggih, Ndah. Tidak harus nikah kalau hanya untuk itu. Dengan begitu aku bisa meneruskan perjuangan Kartini tanpa harus dikuasai pria.”
Kali ini aku yang tertegun. Batinku berulang melafadhkan istighfar. Sudah sejauh itu pola pikir sahabatku yang dulu sangat enak untuk diajak bertukar pikir. “Aduh, sudah lebih lima belas menit, Rat. Aku harus mengajar lagi.”
“Oh iya. Kalau begitu aku cabut dulu. Nanti kita sambung lagi ya!”
“Maaf, aku tidak bisa, Rat. Anakku masih sakit, jadi aku harus segera pulang. Lain kali, mungkin.”
“Ah, wanita selalu saja yang terepotkan. Bagaimana kita bisa terbang tinggi kalau sebentar-sebentar harus balik ke sarang?” Ratna masih senewen. Tangannya berkali mengepal. “Makanya, Ndah, jangan mau didikte oleh lelaki. Sekali-kali kamu harus tegas dan minta pada suamimu untuk gantian mengurus anak kalian!”
Aku hanya tersenyum tidak mengomentari kata-kata Ratna, takut berlarut-larut. Dia begitu teguh dengan apa yang dia pegang, berseberangan dengan apa yang aku pikirkan. Aku merasa tidak ada gunanya debat kusir.
Kata-kata Ratna masih saja terngiang. Ah, begitukah seharusnya emansipasi? Aku tidak bisa membayangkan akan jadi seperti apa hidup ini kalau seandainya sebagian besar wanita berpikiran seperti halnya Ratna yang menempatkan pria sebagai lawan bukan sebagai mitra untuk menciptakan keharmonisan hidup. Padahal banyak pria yang sudah menempatkan wanita sejajar dengannya. Banyak kemajuan yang berarti dengan isu-isu kesetaraan gender. Tentu semua perlu proses, agar apa yang diperjuangkan Kartini tidak hanya menjadi hangat sesaat.
Mungkin Kartini akan menangis kalau saja menyaksikan apa yang telah diperjuangkannya sudah salah dimengerti oleh kaumnya.