Pak Jaya yang Aneh

0
168

Aku dan seluruh anak kampung tak suka Pak Jaya. Orangnya aneh. Sukanya memakai baju hitam. Jarang bicara, dan lebih senang menyendiri. Kemana-mana lebih suka jalan kaki atau naik sepeda kunonya, padahal banyak angkutan umum berseliweran di jalan raya, yang melewati kampung kami. Demikian juga, hampir seluruh rumah di kampung ini memiliki kendaraan bermotor. Dari sepeda motor hingga mobil. Bahkan, ada yang punya bus atau truk.

Rumah Pak Jaya sangat sepi. Halamannya yang luas ditanami oleh pepohonan tinggi yang berdaun sangat lebat. Mangga, rambutan, duku, dan mahoni. Aku tidak pernah masuk rumahnya. Tetapi kata anak-anak yang pernah diajak orangtuanya kesana, rumahnya sangat dingin. Begitu masuk ke halaman, rasanya sudah seperti membuka pintu lemari es. Padahal di rumah itu tidak ada kulkas.

Ya, kata ayahku, di dalam rumah Pak Jaya, nyaris tak ada benda-benda elektronika. Tak ada televisi seperti di rumahku, yang sering terus menyala meskipun tak ada yang menontonnya. Tidak ada kipas angin yang terus berputar meskipun udara tak terlalu panas. Juga tak ada tape recorder seperti punya kakakku yang selalu disetel keras-keras hingga kuping terasa berdenging.

Bahkan, kata orang pula, di rumah Pak Jaya hanya ada beberapa bola lampu. Itu pun jika malam, hanya satu bola lampu berdaya lima watt yang ia nyalakan. Bola lampu itu berada di ruang tengah. Jadi, saat malam, rumah besar berhalaman luas itu sangat gelap.

Jalan depan Pak Jaya dibiarkan tanpa penerangan. Ini sangat mengganggu, karena untuk datang ke masjid, tempat aku biasa belajar mengaji selesai shalat maghrib, aku harus melewati rumah itu. Ini yang membuat aku sangat tidak suka terhadap Pak Jaya yang aneh itu.

Aku memang tak sendiri. Ada Kak Anom dan Surya, anak tetanggaku. Tetapi, rasanya benar-benar tak enak, jika harus melewati rumah itu dengan menahan debar-debar takut di dadaku. Bagaimana jika dari rumah yang terkesan angker itu, mendadak keluar hantu pocongan, genderuwo ataupun kuntilanak? Hii, seram kan?
Sebenarnya, sudah berkali-kali Ustadz Ahmad, guru mengaji kami mengatakan, hantu pocongan, genderuwo atau kuntilanak itu tidak ada. Tetapi, tetap saja aku merasa, mahkluk-makhluk itu senantiasa mengintaiku dari balik rimbun pepohonan halaman rumah Pak Jaya yang gelap gulita.

Pernah suatu hari, saat pulang dari masjid, aku dikerjai Kak Anom dan Surya. Mendadak saja mereka berlari meninggalkanku saat lewat depan rumah Pak Jaya. “Hantuuuu!” teriak mereka. Aku terkejut, dan berusaha mengejar laju lari mereka. Namun, aduuuh, sandal jepitku ternyata putus. Aku jatuh tersandung.
“Ada apa?!” terdengar suara berat di belakangku.
Ya Tuhan, Pak Jaya yang seram itu keluar rumah. Rasa takutku semakin kuat. Tubuhku menggigil. Bagiku, Pak Jaya sama menyeramkannya dengan hantu itu sendiri. Cepat aku mengambil sandalku, dan berlari sekuat tenaga, tak mempedulikan rasa sakit di lututku yang lecet, berdarah.
Aku sempat ngambek dan mogok ke masjid. Baru setelah ayah berjanji akan menghukum Kak Anom dan mengantar-jemputku saat mengaji, aku pun bersedia untuk kembali ke masjid.


Cihuuy! Ini malam minggu. Aku senang sekali, karena kakakku yang pertama, Kak Dian pulang dari Semarang dan membawa DVD film anak-anak kesukaanku. Tiga keping DVD lagi. Masing-masing berdurasi satu jam. Aku akan menyetel DVD sepuasnya.

Kak Anom juga sudah punya rencana bermalam minggu. Ia akan mencoba game baru yang ia sewa dari play station. Di kamar Kak Anom, ada televisi kecil yang sengaja dibelikan ayah untuk Kak Anom, supaya tidak berebut dengan aku. Ya, aku memang lebih suka nonton film baik dari stasiun televisi maupun dari player. Aku merasa pusing jika harus main games. Mungkin karena aku perempuan, aku jarang menang kalau main games.

Ibu juga berencana menyelesaikan pesanan kue-kue dari teman kantornya. Mixer, oven listrik, blender dan segala peralatan sudah dipersiapkan. Tak ketinggalan ayah, katanya beliau akan melembur pekerjaan kantor. Komputer, printer, scanner dan modem sudah ready! Hehe, kasihan ya, ayah dan ibuku. Malam minggu malah bekerja.

Sejak selesai shalat isya di masjid, kami sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Namun … peet! Tiba-tiba lampu neon di ruang televisi mati. Eh, tak hanya lampu, televisi juga mati. Di dapur, ibu berteriak-teriak. Demikian juga ayah dan Kak Anom.

“Yaaah, mati lampu!” gerutu Kak Anom. “Sedang asyik-asyiknya di level dua puluh.”
“Duuuh, mana belum disimpan lagi, filenya,” keluh ayah.
Kami semua mengeluh. Tanpa aliran listrik, kami sungguh tak bisa apa-apa. Rasanya luar biasa menyebalkan. Apalagi ketika sampai satu jam lampu tak juga menyala. Kalau sudah begini, biasanya baru tengah malam lampu menyala kembali. Huh, sebal sekali!

Ibu menyalakan lilin. Kami semua duduk di ruang tengah. Wajah kami merengut. Ayah malah berbaring di sofa sembari mencoba tertidur.
Dalam kondisi tak enak itu, mendadak terdengar suara alunan biola. Indah sekali. Mendayu-dayu menembus sunyinya malam. Ayah langsung terlonjak.
“Sudah lama aku tak mendengar Pak Jaya main biola. Aku akan menemaninya!” ayah meloncat bangun, lalu meraih gitar dan melenggang keluar.

Sejenak kemudian, terdengar suara paduan dari beberapa alat musik yang mengalun harmonis, dari arah lapangan bulu tangkis dekat rumah. Tak hanya biola dan gitar, juga ada cello dan gitar kecil. Ibu tertarik keluar. Kak Anom juga. Aku sebenarnya tak terlalu suka musik keroncong seperti yang tengah dimainkan bapak-bapak itu. Tetapi karena aku takut sendirian di dalam rumah, akhirnya aku ikut keluar.

Suasana di dekat lapangan bulu tangkis mendadak riuh. Sebuah orkes musik keroncong memainkan banyak lagu. Para orang dewasa terlihat gembira. Anak-anak pun ikut gembira, karena berkumpul dan kemudian bermain petak-umpet. Di langit, ada rembulan. Bulat sempurna. O, o… ternyata ini malam bulan purnama.

Aku dan Kak Anom berkejar-kejaran bersama teman-teman yang lain. Ternyata, asyik juga bermain di luar saat malam. Aku sangat jarang melakukan hal ini. Ayah dan ibu, menurut cerita, sering melakukan hal itu saat masih kecil.

Mendadak, aku menarik tangan Kak Anom. Ada sekelebat bayangan masuk ke rumah kami. Jangan-jangan pencuri.
“Kita lapor ke ayah,” bisik Kak Anom. Cepat kami berlari menuju tempat ayah.
“Yah, ada orang menyelinap ke rumah kita!”
“Apa?” Ayah terlihat kaget. Ia mendadak bangkit, namun merasa bingung. “Gelap sekali!”
“Ada apa, Pak Amir?” tanya Pak Jaya.
“Ada orang masuk ke rumahku….”
“Tunggu sebentar, ya?!”

Mendadak dengan cepat Pak Jaya berlari. Gerakannya gesit sekali, seperti terbiasa melihat dalam gelap. Kami semua dengan tegang menatap ke arah perginya Pak Jaya.
“Apa yang dilakukan Pak Jaya?” tanya ibu.
“Mungkin hendak menangkap orang itu… dia itu jago beladiri, lho!”

Para lelaki dewasa segera bersiap-siap. Namun belum sempat mereka menyusul, Pak Jaya telah kembali, dengan menggandeng seorang lelaki muda. Wajah lelaki muda itu tertunduk, sementara Pak Jaya mencekal tangannya dengan kuat.
“Pemuda ini hendak mencuri di rumah Anda, Pak Amir!” ujar Pak Jaya.
Kami semua berdecak kagum. Cepat sekali Pak Jaya menangkap pencuri itu.


Malam itu, rumah Pak Jaya ramai sekali. Anak-anak bermain-main tanpa rasa takut. Apakah sudah ada penerangan di halaman rumah Pak Jaya? Tidak ada. Masih tetap gelap. Namun, aku sudah tak takut lagi pada gelap. Karena Tuhan telah menciptakan bintang dan bulan untuk menerangi malam.

Pak Jaya telah mengajari kami, seirit mungkinlah menggunakan energi, karena suatu saat energi akan habis. Aku memang belum bisa mengurangi nonton televisi, tidur tanpa sinar lampu berlebihan, atau mematikan kipas angin ketika udara tak terlalu panas. Namun, aku akan mencoba. Aku tak ingin anak cucuku besok tidak kebagian energi. Kasihan, kan?



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here