Menyikapi Kehilangan: Belajar dari Adam dan Hawa

0
1

Kehilangan adalah keniscayaan yang dihadapi oleh setiap orang di dunia ini. Siapa pun orangnya, apa pun status sosialnya, dan berapa pun tinggi keimanannya kepada Allah, tetap tidak akan luput dari peristiwa kehilangan. Mulai dari kehilangan harta benda, rumah, pekerjaan, kedudukan, hingga kehilangan orang-orang yang kita cintai.

‘Amul Huzni

Dalam sejarah Rasulullah SAW, kita mengenal adanya ‘amul huzni atau tahun kesedihan. Saat itu Rasulullah Saw baru saja kehilangan dua orang yang paling beliau cintai, yaitu istri beliau Ibunda Khadijah binti Khuwailid ra dan disusul oleh paman beliau Abu Thalib. Kehilangan dua orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan beliau, sebagai manusia, Rasulullah pun merasakan kesedihan yang dalam. Hingga Allah Swt menghibur hati Rasulullah Saw dengan peristiwa Isra’ Mi’raj. Sebuah hiburan yang luar biasa, bagaimana Allah mempertemukan beliau dengan malaikat, para nabi dan rasul terdahulu, dan puncaknya adalah berdialog dengan Allah Swt.

Dari peristiwa ‘amul huzni kita dapat melihat bahwa kehilangan pun dapat menimpa Rasulullah Saw dan merasakan kesedihan adalah hal yang manusiawi. Saat kehilangan Ibrahim putra beliau, Rasulullah Saw juga menangis, lalu langsung mengucapkan, “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun”. Namun demikian, kehilangan tidak seharusnya membuat seorang hamba yang beriman menjadi down, hilang semangat, berputus asa dari rahmat Allah, dan lebih parah lagi jika sampai mempertanyakan takdir Allah Swt.

Kisah Nabi Adam dan Hawa

Mari kita belajar dari bapak dan ibu kita, Adam dan Hawa. Beliau berdua pernah mengalami kehilangan terbesar yang pernah ada dalam sejarah kemanusiaan. Pada saat diturunkan ke bumi, sesungguhnya Adam dan Hawa kehilangan surga. Bisa dibayangkan, jika kehilangan nikmat dunia yang tidak seberapa saja bisa membuat manusia merasa sedih, bagaimana perasaan Adam dan Hawa ketika kehilangan surga? Beliau berdua sebelumnya terbiasa hidup di surga, dengan kenikmatan tanpa batas dan tempat yang terbebas dari segala rasa takut dan khawatir. Namun, tiba-tiba Allah menurunkan keduanya ke bumi, tempat yang betul-betul asing, tanpa modal apa-apa, dan terpisah satu sama lain. Bisa dibayangkan betapa besar kesulitan, kecemasan, dan kehilangan yang mereka rasakan.

Namun, apa yang dilakukan oleh Nabi Adam dan Hawa Ketika diturunkan ke bumi? Beliau bertaubat dan berdoa “Wahai Tuhan kami, kami telah berlaku zalim pada diri kami. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan mengasihi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” Setelah itu, Adam dan Hawa tidak berdiam diri dan larut dalam kesedihan, kehilangan, atau penyesalan terhadap masa lalu. Keduanya terus berjalan, berusaha, dan saling mencari satu sama lain. Life must go on, manusia tidak bisa terjebak dan terus tinggal di masa lalu. Nabi Adam dan Hawa tidak pernah mempertanyakan, mengapa Allah menurunkan mereka ke bumi? Mengapa kehidupan mereka yang tadinya sangat nyaman di surga harus berpindah ke tempat yang serba sulit ini? Hal itu juga tidak membuat Adam dan Hawa berputus asa. Adam dan Hawa juga tidak lantas hanya duduk lalu menunggu datangnya keajaiban dari langit. Pada akhirnya, setelah perjuangan yang panjang, dan atas pertolongan Allah Swt, Adam dan Hawa bisa bertemu kembali dan hidup bersama dengan keturunan beliau yang masih menghuni bumi hingga saat ini.

Merasa sedih karena kehilangan sesuatu atau seseorang adalah hal yang wajar. Akan tetapi yang perlu diingat adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia itu hakikatnya bukanlah milik kita. Karena itulah ketika kehilangan atau mendapat musibah kita diperintahkan untuk mengucapkan “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun” Sesungguhnya kami dari Allah dan kami akan kembali kepada Allah. Karena semuanya milik Allah, maka Allah bebas untuk mengambilnya kapan saja dan kita manusia tidak punya hak untuk keberatan dan mempertanyakan.

Di surat Al Baqarah ayat 30, saat malaikat menanyakan mengapa Allah menciptakan manusia yang akan membuat kerusakan di muka bumi, maka jawaban Allah adalah “Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui”. Dengan demikian sudah sangat jelas bahwa bukan tempatnya bagi manusia untuk mempertanyakan apa yang menjadi kehendak Allah, termasuk juga ketika mengambil sesuatu dari sisi manusia. Tugas manusia hanyalah menjalani takdir dengan sebaik-baiknya dan berprasangka baik kepada Allah Swt.

“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau!” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS Al Baqarah: 30)

Wallahu a’lam bishshowab.


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here