Air Mata Ibu

16
607

Ibu adalah orang yang sangat perhatian dengan aku, kakak, dan ayah. Mulai dari pakaian, makanan, dan tempat tinggal, ibu paling jago mengurusnya. Ibu tidak pernah lupa seragam sekolah kami, dan seragam kerja ayah. Entah kapan waktunya ibu merapikan semua. Yang aku tahu, setiap selesai mandi pagi semua seragam sudah ada di atas tempat tidur. Rapi dan wangi. Ibu juga selalu memasak menu kesukaan kami yang tidak sama. Pasti repot, ya? Tetapi, tidak sekali pun ada keluhan dari mulutnya.

Karena penasaran, aku berbohong pada ibu, “Bu, malam ini aku mau tidur sama ibu. Boleh, ya?”
Tentu saja ibu tidak langsung memberi izin, apalagi usiaku sudah tujuh tahun. Walaupun aku belum bisa pakai baju sendiri, belum bisa menyuap makanan sendiri, tetapi aku tetap harus tidur sendiri, demikian nasihat ibu yang selalu aku ingat. Aku harus memohon pada ibu sekuat tenaga, baru mendapat izin. Aku tahu, rayuanku sebagian besar tidak masuk akal menurut ibu. Aku tidak peduli! Yang penting dapat izin.

Hore!
Akhirnya aku akan tahu, bagaimana cara ibu mengerjakan pekerjaan rumah.

Malamnya …
Ibu mengecup keningku. Ada doa yang sangat pelan, dan tidak kuhapal saat beliau mengusap ubun-ubunku. Mungkin itu doa kasih-sayang seorang ibu, atau bisa jadi harapan ibu pada Sang Pencipta untuk kebaikanku. Dengan pelan, ibu turun dari tempat tidur. Aku yang pura-pura tidur langsung memberi ruang sedikit pada kedua mata. Pura-pura miring kanan agar bisa melihat ibu.

Ibu menuju dapur. Aku mendengar suara air yang mengalir dari keran. Sebentar kemudian ada suara air yang berkupyak-kupyak, dan air keran berhenti bersuara. Mungkin, ibu sedang melakukan sesuatu. Aku sangat ingin tahu. Sip! Aku akan ke kamar mandi, dan pura-pura mau pipis, dengan begitu, aku bisa melihat apa yang ibu lakukan. Namun, baru saja kaki akan keluar kamar, aku mendengar suara yang belum pernah terdengar. Apa itu?

Aku merangkak dari kamar menuju pintu dapur dalam. Cara ini hanya sedikit menimbulkan suara, dibanding bila aku jalan. Dari sini, terlihat jelas kalau ibu sedang menangis. Suara itu dan tangisnya mirip saat aku batal mendapat mainan baru. Apa ibu sedang kecewa? Apa aku yang membuat ibu kecewa? Atau, kakakku, atau ayah? Mendadak aku coba ingat satu per satu tentang tingkah laku kami. Mungkin saja kami yang selalu ibu istimewakan sebenarnya sudah melukai hatinya?

Mungkin aku yang tidak sempurna ini menjadikan ibu sedih? Tidak. Ini tidak benar. Ibu selalu sayang padaku. Ibu bilang aku istimewa dan calon penghuni surga. Bagaimana bisa bila ibu sangat yakin aku calon penghuni surga dan membuatnya kecewa? Jadi, aku pikir bukan karena keadaanku ibu menangis. Bila keadaan ini penyebabnya, kenapa tidak dari dulu saja ibu menangis?

Bagaimana dengan kakakku?
Kakak bintang kelas, sekaligus bintang lapangan. Aku bahkan sangat bangga pada kakakku. Kakak sangat sayang padaku. Dia akan berlari ke tepi lapangan setelah mencetak gol hanya demi memelukku. Aku orang pertama yang kakak izinkan pegang pialanya dan ibu lah mendapat pelukan paling lama dari kakak. Satu-satunya hal yang menyebalkan dari kakak adalah saat iseng meledekku agar jalan cepat. Apa keisengan kakak yang membuat ibu kecewa? Kupikir bukan. Lantas, apa kalau begitu?

Ayah.
Setahuku, ayah sangat sayang padaku dan kakak. Selalu bicara lembut, bahkan tidak pernah marah pada kami. Ayah bekerja pagi dan pulang malam. Sekali, aku pernah tahu ayah pulang sangat malam, dan aku sedang terjaga dari tidur. Aku mendengar sebuah kalimat dari ibu, “Lain kali kalau pulang telat kasih kabar.”
Apa gara-gara ini ibu jadi menangis?
Sulit menebak orang dewasa. Aku ingin lekas berusia dewasa agar bisa tahu kenapa ibu menangis, dan bagaimana caranya agar ibu tidak menangis. Seharusnya tidak perlu menunggu dewasa juga mungkin, ya, itu terlalu lama. Aku tidak ingin ada setetes pun airmata orang yang sangat sayang pada kami keluar karena kecewa pada kami. Tidak.
***

Kamu tahu bagaimana bingungnya jadi anak yang istimewa?
Simak kelajutan ceritaku ini, semoga saja kamu tidak pernah mengalami.
Tadi malam, aku melihat ibu menangis di depan ayah. Aku hapal ucapan-ucapan dari ibu dan ayah, tetapi masih juga tidak mengerti apa maksudnya hingga sekarang. Tolong beritahu aku apa maksudnya jika kamu tahu, okei? Setidaknya setelah tahu, mungkin aku bisa melakukan satu hal yang menggantikan tangis ibu menjadi keceriaan seperti hari sebelumnya. Tolong aku, ya?

“Aku layak mendapat yang lebih baik,” kata ayah pelan.

“Tidak ada yang lebih baik di luar kita, Mas. Kita mestinya belajar ikhlas bahwa aku terbaik untukmu, kamu juga terbaik untukku,” sahut ibu.

Suara mereka pelan. Tangis ibu pelan. Namun, sepertinya mereka bicara dengan sangat serius.

“Ingat, setan yang menghiasi semua di luar tampak lebih baik,” kata ibu dengan lembut, “jika kapal bertemu gelombang, maka nakhoda dan semua penumpang bisa bekerjasama cari jalan keluar. Berusaha lewati gelombang, bukan berganti penumpang. Apalagi menggganti kapal,” lanjut ibu.

Aku sangat bingung.
Siapa yang akan naik kapal?
Apakah ayahku akan berganti pekerjaan menjadi nakhoda kapal, sehingga ibu menangis? Apakah yang ayah maksud lebih baik adalah pekerjaannya jadi nakhoda kapal? Oh, kalau betul begitu, ayah bisa lebih lama tidak pulang seperti ayah temanku, kerja di kapal dan bertahun-tahun tidak pulang. Pantas saja kalau ibuku menangis, dulu pas ayah pulang sangat malam saja ibu menegur, apalagi pulang sangat lama.
Mereka masih terus bicara. Pembicaraan yang banyak tidak aku tahu maksudnya. Ayah bilang, “Anak-anak ikut saya. Saya akan mendidik, dan membesarkan mereka.”
Apakah aku akan ayah ajak ke kapal saat jadi nakhoda? Ah! Sangat aneh!

“Tidak. Yang berkhianat tidak berhak mengasuh anak-anak,” jawab ibu.

Ibu mengelap airmatanya dengan tisu. Kallimatnya sama sekali belum aku paham. Ayah kulihat beda. Sangat beda. Ayah yang kulihat sekarang adalah kebalikan dari ayah yang bersama kami. Kalau diumpamakan suhu, bersama kami selalu hangat dan bersama ibu seperti es. Dingin sekali. Tatapannya juga beda. Tatapan ayah pada ibu saat ada kami, dan sekarang? Itu beda! Ayah seperti sedang bermusuhan, walaupun mereka tetap bicara pelan.

“Tidak ada wanita baik yang menerima godaan laki-laki beristri, apalagi wanita itu juga masih memiliki suami. Istighfar, Mas. Istighfar. Kalian berdua salah.”
Semakin rumit saja kalimat ibu.
Kepalaku sakit.

Ketika aku akan menguping ibu dan ayah lebih lanjut, ada tangan Kak Afkar memegang telinga kanan. Tidak, Kak Afkar tidak menariknya. Aku tahu, ini ajakan untuk tidak menguping. Kami pun kembali ke tempat tidur dan kamar masing-masing. Aku masih terus ingat kalimat ayah dan ibu, hingga kedua mata tidak lagi melihat redupnya cahaya lampu.

Pagi harinya, kami masih sarapan bersama. Sama seperti pagi sebelumnya. Ibu masih menyendokkan lauk dan menyiduk sayur ke piring ayah. Ayah mengajak kami untuk mengunyah makanan dengan pelan. Ibu masih tersenyum ramah, ayah juga sama. Tidak ada sisa airmata di pipi ibu; ibu menutupinya dengan bedak halus. Ayah tidak marah pada ibu, demikian juga sebaliknya.
Jadi, yang semalam itu apa?

Apakah ibu dan ayah anak-anak lain juga demikian?
Mereka berdua bisa sedih, bicara aneh, dan tidak anak-anak mengerti, tetapi paginya semua kembali berjalan dengan wajar?

Kembali terlintas di bayanganku saat ibu menangis malam hari, pada saat akan mencuci baju. Itu tangis yang sepertinya sangat sedih. Walaupun aku anak laki-laki dan masih kecil, aku bisa membedakan mana tangis sedih, dan mana tangisan bahagia. Yaitu saat ibu sendiri, dan ibu memeluk kakak mengangkat piala juara. Duanya tidak sama. Isaknya juga beda. Satu terlihat ada guncangan di pundak ibu, satunya ibu memejam sambil tersenyum padahal airmata berjatuhan.

Iya, sedih dan bahagianya ibu beda. Sangat beda!
Daripada penasaran lebih jauh, aku berniat melakukan sesuatu setelah sarapan. Ya, aku harus
bertanya langsung pada ayah, tanpa ibu perlu tahu. Aku akan bicara pada ayah sebagai sesama laki-laki. Ini urusanku dengan ayah. Sebagai laki-laki pantang membuat ibu ibu bersedih, apalagi itu adalah ibuku.
“Ayah. Maukah ayah tetap bersama kami? Azul tidak mau Ayah menjadi nakhoda dan mencari penumpang lain di laut!”

Ayah menatapku.
Kedua matanya seperti menyemburkan api, tetapi melelehkan air. Aku tidak tahu, apakah aku salah meminta dengan kalimat begini, atau betul. Ayah berjongkok dan memelukku. Aku merasa seperti sedang dililit ular; sangat erat ayah memeluk. Ayah tidak menjawab apa-apa. Aku yakin, ayah akan tetap bersama kami, tidak pergi dan pulang lama menjadi nakhoda kapal. Aku tidak akan pernah ikut ayah, tanpa ada ibu bersama kami!

Ayah melepaskan pelukannya.
Telapak tangan kanannya mengusap-usap kepalaku. Mata ini melihat ke arah dekat kulkas. Ibu menatap kami dengan kedua mata memerah. Apa sejak tadi ibu melihat sekaligus mendengar apa yang aku ucapkan kepada ayah? Ah, tidak masalah! Jika ibu tahu, semoga saja tidak lagi menangis sedih. Semoga saja aku sudah melakukan hal yang benar, dan ayah akan menuruti apa saran sesama laki-laki.[]


16 COMMENTS

  1. Kepiawaian Mbak Kayla mengolah kata sudah gak diragukan lagi. Terasa sekali kemelut yang dihadapi keluarga ini melalui gaya cerita yang ditampilkan. Two thumbs up, Mbak Kayla.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here