Kaos Kaki dan Sekotak Tisu

1
62

Siang itu, matahari sedang garang-garangnya saat Bulan dan Bintang terengah-engah mengangkut barang bawaan menuju tepi jalan, menunggu kendaraan yang akan membawa mereka menuju kampung halaman. Setelah satu semester kuliah, waktu liburan akhirnya tiba.

Bulan melongok memperhatikan jalan, tapi sepertinya belum ada tanda-tanda mobil penumpang akan lewat.
Bintang menarik napas panjang dan menyeka keringat di jidatnya yang lebar seperti lapangan bola. Meski sering diledek, Bintang justru berbangga dengan jidat lebarnya. Konon itu pertanda kapasitas otaknya besar sehingga dia cerdas.
Tiba-tiba Bintang tertawa. Bulan menoleh heran.

“Kenapa, sih?” tanyanya.
“Itu,” tunjuk Bintang. “Aku kasihan sama kakimu. Hitam, terpanggang matahari.”
Melihat ke arah kaki sendiri, Bulan ikut tertawa. Memang persis seperti yang dideskripsikan Bintang.
“Makanya, coba deh, kamu mulai pake kaos kaki. Kayak aku dong. Jadi kaki terhindar dari pancaran matahari yang berlebihan, serta sinar-sinar berbahaya yang bisa merusak kulit,” ujar Bintang menasihati.

Bulan hanya mengangguk-angguk. Soal ini, boleh jadi Bintang lebih paham. Dia kan kuliahnya kedokteran. Yah, walaupun jurusannya adalah psikologi, bukan dokter kecantikan. Tapi dia rupawan, kulitnya tidak jerawatan, juga tidak hitam legam. Maka, Bulan percaya bahwa kebenaran ucapan Bintang bisa dipertanggungjawabkan.

“Eh, tapi kan, ada tuh orang yang bau kaos kaki!” Pikiran ini melintas di kepala Bulan, yang segera diwujudkan dalam perkataan. Dia bergidik mengingat waktu ujian akhir semester di hari terakhir, teman yang duduk di sampingnya membuat Bulan berkali-kali kehilangan konsentrasi karena sesuatu mengganggu indera penciumannya. Bulan yakin dengan pasti itu adalah bau kaos kaki, karena baunya persis sama seperti ketika waktu SMA dulu ia pernah memakai kaos kaki yang sama selama tiga hari. Bulan lupa mencucinya sampai sudah tidak ada lagi kaos kaki bersih yang tersisa. Semenjak itu, Bulan hanya memakai kaos kaki saat benar-benar diperlukan.

“Yee, makanya mesti rajin jaga kebersihan dong. Kaos kaki itu sama aja seperti baju, seperti kerudung. Rajin diganti dan dicuci agar tetap bersih dan higienis. Terhindar dari kuman serta bau tak sedap.” Statement Bintang sudah hampir sama dengan ucapan petugas penyuluh kebersihan. Atau malah sales deterjen.

“Kamu tau nggak, Lan,” Suara Bintang berubah serius. Bulan jadi agak merinding mendengarnya. Biasanya, kalau sudah begitu, Bintang akan mengeluarkan kalimat yang makjleb, semacam quote atau wise word.
“Banyak perempuan Islam yang tidak paham beragam manfaat di balik perintah hijab,” tuturnya.
“Memangnya kamu tahu banyak?” tanya Bulan, memotong.
“Nggak juga. Aku tahu hanya beberapa.” Bintang sedikit sewot. Pertanyaan Bulan memecah konsentrasinya. Niat hati ingin menyusun wise words, akhirnya berubah menjadi ceramah.

“Misal ya, ada yang belum paham bahwa kerudung itu bukan hanya untuk fashion semata, sehingga bisa dibongkar-pasang. Padahal itu gunanya untuk menutup aurat, lho. Yang demikian, menjadikan muslimah lebih terjaga dari gangguan. Selain itu, dengan menutup aurat, kulit juga bisa lebih cerah dan terhindar dari penyakit.”
Kok ujung kalimatnya serasa ada iklan tersembunyi ya? Bulan urung menyuarakan komentarnya. Ia lebih memilih menanyakan satu hal yang mengganggu pikiran.

“Bagaimana dengan orang yang bilang, ngapain pakai kerudung kalau kelakuan masih kurang bagus?”
Bulan sudah menyiapkan diri mendengar penjelasan. Tetapi rupanya Bintang hanya menjawab dengan dua kalimat, yang sukses membuat Bulan merenung panjang.
“Allah memerintahkan muslimah untuk menutup aurat, saat sudah baligh. Bukan saat sudah baik.”
***

Setelah perjalanan selama kurang lebih dua jam, akhirnya mereka sampai juga di rumah. Usai makan dan istirahat sejenak, Bulan bersiap memulai misi pertamanya, membereskan kamarnya yang berdebu. Dengan bersenjatakan sapu, pengki, pel dan kemoceng, ia mulai bekerja.

Bintang melirik sekilas dari ruang tengah. Bulan nampak sibuk berlalu-lalang, mengeluarkan setumpuk barang, memilah-milah, memindahkan lalu mengaturnya kembali dengan rapi. Ia mengakui, saat Bulan membersihkan, hasilnya pasti sangat oke. Sayangnya, di masa liburan seperti ini, peristiwa itu hanya akan terjadi dua kali. Saat pertama datang, dan saat akan kembali nanti ke kontrakan. Jeda waktu di antaranya akan dihabiskan Bulan untuk bersantai menikmati libur tanpa peduli kamarnya perlahan menjelma kapal pecah.

“Haatchi!”
Suara bersin Bulan yang cukup kencang, membuat Bintang yang sedang sibuk di dengan laptopnya itu menoleh. Lalu tangannya mengulurkan kotak tisu sambil tetap fokus mengamati layar. Ada tugas analisis film yang harus diselesaikannya segera.
Bulan keluar menyambut kotak tisu itu dengan sumringah. Rasanya, Bintang semakin menjadi manusia peka sejak kuliah di jurusan Psikologi.

“Bilang apa?” tanya Bintang.
Sumringah di wajah Bulan berubah menjadi ekspresi cemberut. “Makasih,” katanya sedikit ketus. Huu, baru menolong sedikit saja, sudah minta terima kasih.
Anehnya, Bintang justru menjeda filmnya lalu membalikkan badan.
“Kok makasih?” tanyanya sambil mengangkat alis.

Bulan mengerutkan kening, “Terus aku harus bilang apa?” tanyanya heran.
“Kalau habis bersin kamu harusnya bilang apa?” Bintang balik tanya.
“Eh?” Aduh, Bulan jadi merasa tidak enak hati karena sudah salah sangka. “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah,” katanya sambil nyengir.
“Yarhamukillah, semoga Allah merahmatimu.”
“Yahdikumullah, semoga Allah memberimu petunjuk.”
“Ada yang lengkapnya, lho.”
“Apa?”
“Yahdikumullah wayuslihbalakum.”
“Yahdikumullah wayus—apa?”
“Yahdikumullah wa-yus-lih-ba-la-kum.”
“Artinya?”
“Semoga Allah memberimu petunjuk, dan memperbaiki keadaanmu.”

Bulan manggut-manggut. Ia merasa baru saja mendapat petunjuk. Semoga kebiasaan buruk sangkanya bisa berkurang.
“Kamu tahu kenapa harus baca alhamdulillah kalau sudah bersin?” tanya Bintang tiba-tiba. Bulan yang masih sibuk membersit hidung jadi mengaduh lagi dalam hati. Masih berlanjut nih pertanyaannya? Untungnya di kepala Bulan masih tersimpan materi biologi favoritnya.
“Tahu dong. Kita harus bersyukur karena Allah sudah berkenan mengeluarkan bibit-bibit penyakit dari saluran pernapasan kita.”

Bintang mengacungkan jempol, membuat Bulan merasa bangga. Biasanya dia selalu dapat tausiyah karena sembarangan menjawab pertanyaan-pertanyaan Bintang.
“Selain itu?”
“Hah? Masih ada? Memangnya apa lagi?”
“Kamu ingat hadits tentang hak seorang muslim terhadap muslim lainnya? Yang berkaitan dengan bersin?”
“Oh, aku tahu dong. Kalau ada yang bersin, kita harus mendoakan. Iya kan?” Bulan menjawab lagi dengan bangga.
“Kurang tepat. Redaksi kalimatnya itu gini, apabila ia bersin dan MEMUJI ALLAH, maka doakanlah,” jelas Bintang.
“Oh, yayaya.”
See? Hanya orang-orang yang mengucap alhamdulillah yang berhak didoakan agar mendapat rahmat Allah.”

Aduh, perasaan Bulan jadi tidak enak. Alamat bakal dapat tausiyah panjang lagi sepertinya. Terlebih saat dilihatnya Bintang sudah mematikan laptop.
“Aku tidak mau memberi sesuatu pada yang tidak berhak. Tapi aku kasihan juga kalau kamu kehilangan hak untuk didoakan. Makanya aku ingatkan,” katanya, lalu beranjak pergi.
Bulan menatap sekotak tisu di pangkuannya. Ia merasa hatinya menjadi gerimis. Ah, lagi-lagi ia berburuk sangka. Padahal meski cerewet, Bintang adalah saudara yang baik.

*****


1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here