Oleh: Asnani Ummu Afra (Riau)
Pada dini hari, azan berkumandang masuk melalui jendela yang masih tertutup rapat. Daun pintu sedikit terbuka pertanda ayahku telah terlebih dahulu pergi ke masjid. Sedikit cahaya lampu luar masuk melalui pintu. Menambah sedikit penerangan di kamar tidur kami. Kami tidur hanya memakai lampu watt paling kecil, sehingga kondisi di dalam ruangan begitu suram dan temaram.
Kulihat ibu di sampingku sudah dalam posisi duduk, masih belum sepenuhnya siuman dari kantuknya. Aku memperhatikan beliau mengucek mata dan beringsut maju ke depan. Tangan beliau meraba-raba tepi kasur, mencari sesuatu. Pasti beliau berniat untuk menjalankan satu ritual pentingnya sebelum sholat subuh.
Benar sekali… Beliau mendapatkannya benda itu.
Sekantong obat puyer, belasan bungkus di dalamnya, bersama pipet drop dan segelas air putih yang ditutupi. Perlengkapan obatan adikku.
Setelah memasukkan puyer ke dalam pipet dan dicampur air putih, beliau bergeser mundur mendekati adikku yang masih pulas tidur. Aku memperhatikan ibu mulai mengusap kepala adik, membangunkannya untuk memberinya obat.
Setelah sedikit drama, maka lenyaplah obat puyer putih itu dari pipetnya.
Ibu kembali menenangkan adik agar bisa melanjutkan tidurnya. Tanpa susu formula, adik bisa tidur kembali karena sudah menyusui satu jam yang lalu.
Ibu kemudian menghadap dan membangunkanku, tidak lupa beliau juga memberikan obat demam kepadaku yang mulai meriang. Obat demam pun mendarat masuk ke mulutku.
Selalu, tidak pernah lupa, Ibu membacakan doa kepada kami sebelum memberikan obat tersebut.
“Allahumma ‘afina fii badanina
Allahumma ‘afina fii sam’ina
Allahumma ‘afina fii basharina”
Dan ditutup dengan hamdalah.
Inilah kami, anak surga prematur. Begitu kata ibu.
Kami begitu menikmati ritual yang ibu berikan kepada kami. Sehari dua kali untuk obat wajib. Bahkan bisa tiga atau enam kali jika kami panas tinggi. Maka jenis paracetamol drop dan paracetamol syrup yang akan sering mendarat di mulut kami. Pahitnya segala jenis obatan sudah menjadi manis di kehidupan kami. Di umur yang muda, kami lebih banyak mengonsumsi obat-obatan daripada permen-permen yang biasa dijual lima ratusan di toko-toko kelontong. Obat-obatan itu sudah menjadi familiar dan enak di mulut kami.
Ah… ayahku medis sadis, kata mereka.
Bayi baru tiga hari saja sudah disediakan sekantong obat-obatan. Mentang-mentang ahli medis, keluar masuk rumah sakit saja kerjanya, sampai melupakan anak istri sendiri.
Jangan begitu… Kami adalah anak surga prematur yang coba bahagia dengan jalan hidup yang tidak pernah kami kehendaki ini.
Berdamai dengan takdir itu lebih baik. Kata ibu.
Seratus makanan mewah di cappadocia tidak berarti apa-apa buat kami anak surga prematur ini. Cairan obat putih–kadang berwarna-warni dengan berbagai ukuran botol-botolan itu lebih lezat, obat dari segala gemuruh dari perut yang lapar, tidak mesti menunggu ke cappadocia.
Jika ayah dan ibu punya kelebihan uang, itu bukan untuk pergi liburan, tetapi pergi berobat untuk aku dan adik. Namun, itulah arti liburan sesungguhnya bagi kami.
Lahir prematur bukan pilihan ibu untuk kami.
Lahir prematur juga bukan pilihan kami.
Dalam ketenangan aku berjuang keras di dalam inkubator. Setiap hari menunggu orang tuaku datang menjengukku dengan sebotol kecil ASI peras dan obat-obatan. Bersama bacaan al-Fatihah dan al-Ma’tsurat sebagai penyemangatku.
***
Matahari telah mencumbui bumi, ibu dan ayah masih belum menjengukku.
Aku dengar ibu sedang berjuang berat memeras ASI-nya yang masih mogok. Aku rindu bacaan Al-Fatihah dan Al-Ma’tsurat dari mereka. Entah dari mana mereka mendapat ilmu itu, yang ku tahu, ibu rutin mengikuti pengajian pekanan dari rumah ke rumah bersama ibu-ibu lainnya. Aku ingin dipeluk mereka. Tapi, buto ijo bermata merah yang beseragam putih itu tidak mengizinkan. Konon kata mereka, bayi mudah terinfeksi virus. Jadi aku tidak boleh diganggu.
Hingga beberapa hari kemudian, tiba waktunya aku dapat dipeluk dan digendong dan didekap ibuku di dada beliau tanpa perantara kain. Ibu menutupiku dengan jilbab sarungnya.
Ah, nikmatnya di pelukan hangat ibu jauh melampaui rasa dikurung dalam toples kaca besar bagi bayi seberat satu kilo empat gram sepertiku ini.
Setiap anak berhak bahagia dengan keadaan dan takdir yang dia hadapi. Disebabkan kekayaanlah ibuku itu bahagia.
Iya, dia orang yang sangat kaya menurutku. Kaya akan pemikiran-pemikiran positif, emosi-emosi positif dan motivasi-motivasi positif. Kutahu itu dari kalimat ibu, fabiayyiala irobbikuma tukazziban.
“Ibu, kenapa ibu sering melafalkan kalimat tersebut?” Begitu pertanyaanku pada ibu kemarin.
Ibu tersenyum sambil mengusap rambutku yang telah diikatnya tadi pagi.
“Benar kamu mau tau, Nak?” goda beliau sambil menghadap dan menatapku. Alisnya sedikit terangkat.
“Iya, Ibu. Setiap hari Ibu menyebut kalimat itu. Kenapa sebenarnya?” Kubalas tatapannya demi menunjukkan bahwa aku serius ingin tahu.
“Ada ketenangan, Nak. Rasa bahagia,” ucapnya.
Aku masih belum mengerti…
“Kamu suka taman mainan?”
“Iya suka, Ibu.”
“Jika Ibu ajak kamu ke taman mainan, bagaimana rasanya, Nak?”
“Wah… aku akan merasa senang sekali, Ibu. Bisa bermain. Mainan banyak. Aku pasti sangat bahagia,” jelasku pada ibu dengan ekspresi bahagia hingga berdiri dari dudukku.
“Begitu juga Ibu, Nak. Kalimat itu membuat Ibu bahagia tanpa merasa khawatir. Artinya, maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan.” Nada beliau sedikit tegas ketika menyampaikan arti dari kalimat tersebut.
“Ooh… jika begitu, maka ajarkan aku untuk menghafalkannya, Ibu. Biar aku bisa punya banyak sekali kebahagiaan,” sambungku polos.
“Iya sayang. Pasti. Bersama ayat-ayat suci Alquran lainnya. Karena kalian adalah surga yang tidak ada prematurnya.”
Ibu pernah berkata bahwa kalimat tersebut merupakan ‘manisnya obat kehidupan’ bagi kami.