Langit begitu cerah. Mentari dan awan bergerak beriringan begitu padu. Di persimpangan jalan, terlihat seorang pria tua tengah mendorong gerobaknya sambil sesekali berteriak. Berusaha memanggil orang di jalanan yang dia lewati. Namanya Pak Danu. Begitulah pekerjaan yang dia lakukan saban hari. Hingga akhirnya dirinya sampai di tempat biasa dia berjualan. Bersama para pedagang lainnya, dia menunggu suara yang menjadi tanda dagangannya akan diserbu.
KRING … KRING…
Para anak-anak berbaju merah putih, langsung berhamburan keluar sambil mengambil uang dari saku mereka. Senyum para pedagang merekah. Kemudian dengan sigap mereka lanjut melayani para pembeli kecil lucu yang saling berdesakan.
Telur gulung, roti bakar, tahu goreng, mainan anak-anak, dan banyak lagi pedagang yang selalu berjualan di depan pagar sekolah dasar tersebut. Tetapi dagangan yang paling laku adalah dagangan milik Pak Danu yakni “Bakso goreng.”
“Bang, saya beli dua ribu, Bang,” teriak seorang anak bertubuh gempal.
“Aku dulu bang. Sebentar lagi mama datang,” jawab anak perempuan lain.
“Bang, jangan pedas ya,”
“Bang saya dulu,”
“Cepat Bang, cepat.”
“Sabar ya, Adik-adik,” ujar Pak Danu menenangkan mereka
Anak-anak itu sangat menyukai bakso buatannya. Sehingga Pak Danu makin bersemangat berjualan. Dia menenangkan anak-anak dan melayani mereka dengan sangat baik. Beberapa lama kemudian para murid sekolah dasar tersebut pulang karena sudah dijemput oleh orang tuanya. Pak Danu sangat senang karena dagangannya tinggal sedikit.
Tiba-tiba seorang anak baru saja keluar dari pintu pagar sekolah. Kelihatannya dia baru selesai piket kelas. Peluh membasahi dahinya kemudian pandangannya mengarah ke arah gerobak bakso milik Pak Danu. Anak itu menatapnya cukup lama.
“Adik sini,” panggil Danu, bapak penjual bakso goreng itu
“Iya bang,”
“Adik mau bakso? Tidak apa-apa, tak usah bayar. Ini gratis untuk adik,” seru Danu sambil memberi setusuk bakso goreng
“Bang, boleh enggak saya minta satu tusuk satenya,” ujarnya penuh harap
“Tusukannya saja? Baksonya adik enggak mau?”
“Saya butuh tusukannya saja bang. Boleh ya?”
Danu bingung. Namun akhirnya dia memberi satu tusuk sate dan bakso goreng pada anak tersebut. Anak kecil itu langsung tersenyum kemudian dia berlari pulang ke rumahnya. Bapak penjual bakso goreng itu terheran-heran melihat tingkah anehnya.
Sejak hari itu, anak tersebut selalu meminta satu tusuk sate setiap hari. Pak Danu akhirnya selalu menyisihkan satu tusuk yang belum dipakainya untuk diberikan pada anak itu. Lucunya, anak itu tidak pernah membeli bakso goreng sehingga membuat Danu kebingungan.
Suatu hari karena harga tusuk sate naik, Danu memutuskan menjual bakso gorengnya di gelas kecil. Tusuk sate yang biasa dia gunakan diganti dengan tusuk gigi yang lebih murah. Meski begitu anak-anak tetap menyukainya. Namun karena tindakan Danu, anak yang biasa meminta tusuk sate itu malu dan langsung berlari pulang tanpa menatap gerobak Danu lagi.
Hari demi hari berlalu. Anak tersebut tidak pernah menemui Danu lagi. Rasa bersalah hinggap di hati Pak Danu. Dia merasa bersalah karena membuat anak itu bersedih. Maka setelah dagangannya habis, Pak Danu memutuskan untuk menunggu anak itu. Cukup lama. Hingga hanya ada dia yang ada di sana setelah penjual lainnya memutuskan pergi.
“Ah itu dia!” seru Danu sambil menunjuk ke depan gerbang sekolah.
“Adik sini,” panggil Danu menyuruh anak tersebut untuk mendekat
“Iya, Bang,” jawab anak tersebut sambil malu-malu
“Nih. Bapak beli satu bungkus lidi khusus buat kamu. Ini hadiah dari bapak. Enggak usah bayar. Maafkan bapak karena membuatmu sedih.”
Anak tersebut menerima lidi dengan riang. Dia sangat senang kemudian memeluk erat Pak Danu.
“Terima kasih ya, Pak,”
“Maaf ya, Adik, bapak penasaran lidi ini untuk apa? Kok kamu tidak pernah mau kasih tahu bapak?”
“Oh itu …”
“Bapak boleh tahu kan?”
“Iya boleh. Bapak mau ke rumah Tio? Nanti Tio tunjukkan.”
“Ya ampun Dik, maafkan bapak ya. Padahal bapak selalu memberimu lidi tapi lupa menanyakan namamu,” keluh Danu sambil menahan malu.
“Iya, Pak, saya juga minta maaf karena selalu meminta lidi sama bapak. Tetapi saya membutuhkannya,” ujar Tio.
Tio mengajak Pak Danu ke arah rumahnya. Melewati gang sempit dengan jalanan yang becek serta berlubang. Hingga akhirnya tibalah dia di sebuah rumah kayu yang kecil dan terlihat kumuh. Pak Danu masuk ke dalam dan matanya mulai berkaca-kaca tak mampu menahan kesedihan.
Seorang wanita tua tengah terbaring menahan rasa sakit dan ada seorang anak kecil yang bermain di samping ibunya. Ketika anak tersebut melihat Tio, dia langsung kegirangan dan memeluknya.
“Kakak rumah Anto belum jadi loh. Gimana nih? Soalnya besok tugasnya harus diserahkan pada Bu guru,” ucap seorang anak yang ternyata bernama Anto
“Iya, Nih lihat kakak bawa banyak lidi. Tugas kamu pasti akan selesai hari ini.” Tio memeluk adiknya penuh kasih sayang dan menunjukkan pada Pak Danu sebuah rumah-rumahan dari lidi. Sederhana seperti rumahnya namun terlihat lebih rapi. Tio sangat menyayangi adiknya sehingga tidak mau merepotkan ibunya yang tengah sakit. Demi adiknya, dia rela berkeliling mengumpulkan lidi untuk menyelesaikan tugas sekolah adiknya, sekaligus merawat ibundanya karena ayahnya telah lama meninggalkan mereka.
Pandangan Pak Danu mengarah pada karung kotor yang ada di pojok ruangan. Dia membuka dan sedikit haru ketika melihat isinya. Botol-botol air mineral, kaleng bekas, dan berbagai barang rongsokan lain memenuhi karung tersebut.
“Tio, ini untuk apa?” tanya Pak Danu
“Oh itu akan saya jual esok pagi, Pak. Untuk membeli nasi dan lauk. Soalnya mama sudah lama sakit, tetapi sekarang sudah lebih baik. Kata mama besok mama bisa bekerja lagi,” seru Tio dengan polosnya
“Kamu tidak malu?”
“Tentu tidak. Kata mama, ini lebih baik daripada Tio mengemis di jalan. Mama sangat tidak suka jika Tio seperti itu. Meski sedikit, setidaknya ini hasil kerja keras Tio sendiri.”
“Di mana ayah kamu Nak?” tanya pak Danu lagi.
Tio terdiam. Dia mencoba untuk tidak menjawab. Namun karena melihat raut wajah pak Danu yang sangat penasaran dia akhirnya berkata pelan.
“Ayah sudah bahagia. Sekarang ayah sudah tidak sakit lagi, dan kami bertiga sangat senang,” ucap Tio.
Pak Danu yang mendengar penuturan Tio langsung tahu apa maksud anak tersebut. Dia mencoba menahan tangis namun tak kuasa. Danu akhirnya berbalik agar kedua anak kecil itu tidak melihatnya.
Menyaksikan ketulusan Tio demi ibu dan adiknya, serta ketegaran ketika ayahnya telah tiada membuat Danu malu. Malu karena merasa dia tidak lebih baik dari Tio dalam menyayangi keluarganya.
“Nak, tolong ajarkan bapak artinya kasih,” gumam pak Danu sambil menahan tangis.