Kerbau Pak Bejo

3
506

Perumahan ini akan indah jika tidak ada kotoran kerbau!
Begitu yang diinginkan oleh seluruh warga Griya Baru Permai. Bayangkan, di zaman modern begini masih ada kotoran kerbau di jalan? Mobil dan motor cling yang keluar dari rumah-rumah mewah di sana setiap pagi harinya, mau tak mau melindas sesuatu yang menjijikkan berwarna hijau kekuningan itu. Belum lagi baunya yang menyengat. Benar-benar merusak pemandangan!

“Pak Bejo itu apa nggak punya perasaan!” umpat seorang wanita berdandan menor. Laki-laki di sampingnya yang sedang mengemudi ikut memasang tampang cemberut. Begitu juga pengendara motor yang meliuk-liuk, menghindari kotoran kerbau itu.
“Kerbau sialan!”

Dan berbagai keluhan lainnya. Selama ini kejengkelan itu mereka pendam. Namun bincang-bincang antarpembantu rumah tangga, dibumbui oleh gosip ibu-ibu yang suka ngrumpi, plus malunya bapak-bapak dengan komentar para tamu mereka, membuat warga sepakat untuk berkumpul di rumah Pak RT. Uneg-uneg mereka tumpahkan di sana.

”Dulu saat perumahan itu dibangun, posisi rumah pak Bejo memang sudah ada di sana. Setiap kali hendak ke sawah untuk membajak, ya jalan ini yang dilewati Pak Bejo,” ujar Pak RT menjelaskan. “Jadi kalau sekarang jalan sini udah halus dan banyak perumahan bagus berdiri, bukan salah pak Bejo. Ya memang jalannya lewat depan rumah Bapak-Ibu semua!”

“Betul Pak RT, tapi kan harusnya Pak Bejo mengerti, kalau lingkungannya sekarang bukan seperti dulu lagi. Tetangganya pun jauh berbeda,” ucap Pak Herman, seorang manager perusahaan tekstil di kota itu.

“Iya, Pak RT. Masak tiap pagi kita ditambahi sarapan yang lain, melihatnya saja saya mual,” kali ini suara bu Arini, wanita karier yang memiliki beberapa butik.
“Merusak kebersihan perumahan!”
“Membawa virus penyakit!”
“Polusi udara!”

Dan segala protes yang dilayangkan warga pada pak RT. Untuk langsung bilang pada Pak Bejo, warga tentu saja tak berani. Pak Bejo adalah sesepuh di wilayah itu, suaranya selalu terdengar dari mushola samping rumahnya ketika waktu sholat tiba.

Alhasil, protes warga itu diakhiri dengan musyawarah bagaimana caranya agar kerbau pak Bejo tak membawa masalah. Ada beberapa orang yang merelakan diri jadi pemain sandiwara. Tak masalah, yang penting warga nyaman.


“Saya ingin membeli kerbau Pak Bejo. Sepertinya kok kerbau itu membawa rezeki, ya?” Pak Hardian meminta langsung pada Pak Bejo yang nampak terkejut.

“Sampeyan itu pegawai kantor ngapain mau beli kerbau?” Pak Bejo terkekeh-kekeh. Giginya yang tak lagi lengkap kelihatan. “Memangnya sampeyan punya sawah untuk dibajak?”

“Nggg…ti tidak…tapi…” Pak Hardian gugup. “Saya ingin memberikan kerbau itu untuk keponakan saya yang ada di kampung,” jawabnya lega karena menemukan alasan yang tepat.

“Walah… Pak, sampeyan ini kok lucu, di kampung kan lebih banyak kerbau yang bisa dibeli, lebih murah dan lebih dekat. Lha kalau kerbau saya harus diangkut-angkut, nambahi ongkos!” lagi-lagi Pak Bejo tertawa.

Pak Hardian tak menyerah, “Tapi saya ingin kerbau Pak Bejo, sepertinya membawa untung begitu!” ujarnya sambil tersenyum ramah.

“Membawa untung apa? Sampeyan itu syirik lho kalau bilang begitu! Kerbau ya kerbau, yang ngasih untung itu Gusti Allah. Kalau saya untung ya karena saya memakai kerbau itu untuk membajak sawah,” jawab Pak Bejo, tegas.
“Tapi, Pak….!”
“Maaf, Pak Hardian. Saya tidak menjual kerbau saya!”
Pak Hardian pun pulang dengan senyum kecut.


“Sawah? Sawah yang mana?” tanya Pak Bejo pada Pak Romli, yang datang ke rumahnya hendak membeli sawahnya.
“Yang di selatan jalan, Pak, yang sering Bapak bajak itu!”

“Lha nanti kalau sawah itu saya jual, saya kerja apa?” Pak Bejo malah balik bertanya. Wajahnya menahan ketersinggungan.
Pak Romli garuk-garuk kepala. Setelah Pak Hardian gagal dengan rencana pertama, gilirannya menjalankan rencana kedua. Kalau Pak Bejo tidak punya sawah untuk dibajak, kemungkinan besar kerbaunya akan dijual juga. Dan itu berarti, keinginan warga akan segera terpenuhi.

“Hasil penjualan sawah nanti kan bisa untuk modal usaha, Pak. Saya janji akan membelinya dengan harga tinggi!” Rayu Pak Romli.
Pak Bejo termangu.
“Bagaimana, Pak?”
“Saya tidak akan menjual sawah saya!” Bentak Pak Bejo seperti kehilangan kesabarannya.
Pak Romli pun pamit dengan muka yang memerah.


“Adik saya ingin tinggal dekat saya, tetapi perumahan di sini sudah penuh. Karenanya, saya berniat membeli rumah Pak Bejo, agar adik saya bisa tinggal tak jauh dari saya,” dengan halus pak Hasan mengatakan keinginannya.

“Kenapa tidak membeli rumah yang lainnya?” tanya Pak Bejo, ketus. Kali ini dia mulai curiga dengan aksi ‘pembelian’ yang ditujukan padanya.

“Rumah yang lain tidak dijual, Pak, saya sudah menanyakan pada mereka,”
“Lalu apa sampeyan pikir rumah ini dijual?!”

Pak Hasan tercekat. Pandangan Pak Bejo seperti sebuah belati yang menusuk-nusuk. Hatinya tiba-tiba dirayapi ketakutan. Takut kalau konspirasinya dengan warga yang lain akan terbongkar. Takut jika Pak Bejo mengetahui skenario kebohongan yang mereka lakukan. Takut kalau….
“Silakan sampeyan pulang, saya tidak menjual rumah saya. Titik!”
Seperti dua rekannya yang lain, Pak Hasan pun melenggang tanpa hasil.


Di rumah Pak RT lagi. Warga kembali berkumpul.
“Bagaimana, Pak, kita sudah mencoba semua rencana yang kita susun. Tapi tetap saja Pak Bejo nggak mau menjual kerbaunya,” suara Pak Hardian.

“Iya, malah kita kena malu karena Pak Bejo akhirnya marah,” Pak Hasan menimpali.
Semuanya terdiam sesaat.

“Apa nggak sebaiknya kita ngomong baik-baik dengan Pak Bejo?” Pak RT kembali membuka pembicaraan. Yang duduk di sekelilingnya saling pandang.

“Kita sampaikan kalau kotoran kerbaunya benar-benar mengganggu warga,”
“Kalau begitu, Pak RT yang bilang langsung ke beliau. Kalau saya sudah kapok!” ujar Pak Romli.

“Iya, Pak. Sampeyan kan ketua RT di sini, jadi pantas saja kalau menegur warganya,” tambah yang lainnya.
Pak RT terdiam sesaat. Dia bimbang antara berani atau tidak menegur Pak Bejo yang sangat diseganinya itu.

“Assalamu’alaikum!” tiba-tiba terdengar salam dari pintu luar. Sosoknya yang telah sepuh dengan kulit legamnya karena terbakar terik matahari, tersenyum ramah pada semua yang di dalam rumah.
Warga di rumah Pak RT tercekat.

Orang yang mereka bicarakan tiba-tiba datang. Tak ada yang tahu, Pak Bejo sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka. Persis yang telah diduga Pak Bejo sebelumnya.

“Maaf Bapak-bapak, saya mengganggu,” kata Pak Bejo, lembut. Tak ada nada kemarahan dalam raut wajahnya yang penuh guratan karena dimakan usia. Pak Bejo hanya ingin menjelaskan semuanya.
“Saya tahu maksud panjenengan semua itu baik,” lanjutnya. “Tapi izinkan saya menjelaskan,” Pak Bejo menatap satu-satu wajah tetangganya. Tak ada satu pun yang berani balas menatap.

“Saya ini orang ndeso, yang tidak bisa bekerja apa-apa selain di sawah dan memelihara kerbau. Saya minta maaf, kalau selama ini membuat resah warga sini,” Pak Bejo tertunduk.
Semua tak ada yang bersuara.

“Saya tahu, kotoran kerbau saya mengganggu panjenengan semua, tapi kalau kerbau itu saya jual, berarti saya nggak punya pekerjaan. Lalu saya mau makan apa?” suaranya melemah.
“Setiap pagi saya ke sawah mbajak, satu-satunya jalan ya lewat depan rumah Bapak-bapak semua. Kalau tiba-tiba di situ kerbau saya e-ek, saya juga nggak bisa ngelarang dia,”
Hening sesaat.

Semua larut dalam rasa serba tak enak. Perasaan bersalah perlahan-lahan merayapi hati. Kerbau dan pekerjaan Pak Bejo adalah penghidupannya. Kalau kemudian gara-gara pekerjaan itu warga tak berkenan, apakah kemudian begitu saja dia melepaskan sumber penghidupannya?

“Maafkan saya… tapi tolong beri saya solusi,” ujar Pak Bejo terpatah-patah. Sudut matanya berair. Pekerjaan baginya adalah harga diri. Dan kerbau itulah harga dirinya. Harga dirinya sebagai laki-laki!

Yuk, baca karya-karya Riannawati!


Previous articleAiko Tatami Putri
Next articleSimfoni Bunga Rumput 06
Rianna Wati
Rianna Wati, lahir di Wonogiri 5 November 1980, saat ini tinggal di Surakarta bersama keluarga kecilnya. Aktivitas menulis dilakukannya sejak SMA dan bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) sejak kuliah di Fakultas Sastra UNS. Saat ini menjadi staf pengajar di Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UNS. Gelar S2 diraihnya dari prodi Ilmu Sastra UGM dan saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di Kajian Budaya UNSBuku-buku fiksi yang pernah terbit diantaranya Elegi Cinta di Karimunjawa, Jatuh Cinta Pada Bunga, Ramai-Ramai Masuk Surga, Biar Cinta Bicara, Cinta adalah Luka, Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf, Arvayuna, Romansa, Petrichor, Salju Sungai Seine, Simfoni Hati dan beberapa buku kolaborasi hasil penelitian dan pengabdian masyarakat. Bisa dihubungi di email: riannawati@staff.uns.ac.id, FB Rianna Wati, Twitter @riannawati dan IG Rianna Wati.

3 COMMENTS

  1. Catatan yang saya (pembaca) tulis saat membaca cerpen “Kerbau Pak Bejo” karya Bu Riana. Cerpen yang menarik terbukti pada saat membaca paragraf pertama langsung menawarkan masalah dalam cerpen ini sehingga membuat saya (pembaca) merasa ingin membaca paragraf selanjutnya. Seperti yang dikatakan Hilmi Faiq Redaktur cerpen Kompas, “Pembaca akan melanjutkan membaca (cerpen) diliat dari beberapa detik awal (paragraf pertama) jika paragraf itu menarik maka pembaca akan melanjutkannya.”

    Namun, menurutku pada paragraf awal masih bisa dikuruskan contoh “mau tak mau melindas sesuatu yang menjijikkan berwarna hijau kekuningan itu.” sejatinya cuma ditulis “mau tak mau melindas itu.” maknanya akan tetap sama. Sesuatu lagi yang membuat imageryku berlompatan adalah setelah membuat citraan bau, tapi kalimat selanjutnya tiba-tiba mendapatkan citraan penglihatan. Membuat saya (pembaca) sedikit “lho heh”.

    Paragraf kedua pemilihan diksi “mengemudi” bisa disiasati dengan mengganti “mengendarai” karena tidak enak saat dibaca. Yang unik adalah Bu Rianna menyebutkan “laki-laki di sampingnya” ini menimbulkan beberapa pemaknaan di antaranya, laki-laki itu adalah suaminya, anaknya, adiknya, dan mungkin lagi selingkuhannya (dengan alasan berdandan menor). Paragraf dua ini beberapa terjadi typo “antarpembantu” yang tidak menampilkan spasi di antara dua kata itu, “ngrumpi” yang harusnya ngerumpi atau merumpi. Kalimat terakhir terasa kaku karena ada pemenggalan titik yang harusnya bisa langsung dituntaskan “warga sepakat untuk berkumpul di rumah Pak RT. Uneg-uneg mereka tumpahkan di sana.” bisa diganti dengan “warga sepakat untuk berkumpul di rumah Pak RT untuk menumpahkan uneg-uneg mereka di sana.”

    Penyampaian paragraf 5 sangat menarik, dari protes yang saling bersahutan itu membuat saya (pembaca) secara tidak sadar membayangkan cerpen ini. Namun, sedikit kekurangan nampaknya pada paragraf ini masih terdapat kalimat yang kaku “Untuk langsung bilang.”

    POV yang ditampilkan saat mencoba bersandiwara membeli barang milik pak Bejo sangat menyenangkan untuk dibaca. Yang mengejutkan saya (pembaca) ketika melanjutkan membaca cerpen ini adalah saat Pak Bejo masuk dalam pembicaraan di rumah Pak RT. Saya (pembaca) tidak terpikir yang menurut saya ini cerita sedikit memberikan shock berkali-kali. Dan saya kira endingnya adalah Pak Bejo yang akan marah, tapi yang terjadi adalah plot twist dari itu. Benar-benar cerpen yang bagus meskipun cerpen ini sebuah karya sastra populer.

  2. setelah membaca beberapa cerpen yang ditulis oleh beliau (penulis), ada yang menjadi ciri khas penulis yaitu tentang bagimana penulis menuliskan tulisannya secara gamblang, tidak banyak basa-basi, dan point yang ingin disampaikan oleh penulis langsung tersampaikan kepada pembaca. Semoga penulis senantiasa diberi kesehatan agar dapat memberikan kebermanfaatannya bagi orang lain dengan keahliannya, (yaitu menulis)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here