Aku berjalan agak terengah sambil menggendong ransel besar berisi pakaian dan buku-buku menuju peron Stasiun Tegal. Aku yakin masih ada beberapa belas menit sebelum KA Tegal Arum berangkat menuju Jakarta. Tak ingin banyak buang waktu, maka aku bergegas menuju mesin pencetak tiket.
“Rahmi!”
Teriakan dari jenis suara yang akrab di telingaku menghambat langkah. Yanwar? Aku ingin menoleh, tapi tiketku harus segera dicetak atau aku akan kehabisan waktu.
“Rahmi!” terdengar derap lari Yanwar menuju ke arahku. Aku makin terburu.
Saat aku sudah sampai di depan mesin tiket, aku segera mengarahkan ponselku ke pemindai berlaser infra merah. Dari belakangku, terdengar Yanwar terengah.
“Rahmi… kamu… yakin… tetap… mau… berangkat?” tanyanya sambil mengatur napas.
Akhirnya aku berbalik. Wajah Yanwar dipenuhi tetesan keringat, sementara matanya menampakkan kemuraman.
“Keputusanku sudah bulat, Mas.” Aku melanjutkan langkah menuju antrean pemeriksaan tiket. “Hanya orang goblok yang menyia-nyiakan kesempatan ini. Kenapa Mas nggak paham juga?”
Yanwar menggamit tangan kananku yang masih menggengam gawai. “Berat sekali, Rahmi, untuk menunda pernikahan kita. Aku gagal menerima keputusan kamu.”
“Kalau begitu cari saja perempuan lain, Mas, yang sudah siap menikah dengan kamu,” tandasku akhirnya. Berat pula aku rasakan, namun aku sudah berkeputusan. Dan keputusanku adalah tetap mengejar cita-citaku menjadi dokter.
“Tapi aku cintanya hanya sama kamu, Rahmi,” suara Yanwar mulai meninggi.
“Tolong lepaskan tanganku, Mas, atau aku teriak,” sergahku.
Suara operator pengabar jadwal kereta menggelegar dan memberi jeda pada percakapan kami. Yanwar terlihat kalut, dan terpaksa melepasku pergi. Aku gegas menuju petugas pemeriksa tiket karena KA Tegal Arum dikabarkan akan berangkat dalam sepuluh menit. Sementara Yanwar masih mematung menatapku dengan sedih. Dari jauh, aku melihat matanya mulai berkaca-kaca. Aku tetap melangkah menuju masa depanku tanpa mengucap selamat tinggal. Karena jauh di lubuk hatiku, aku yakin, kami akan bertemu lagi. Bila Tuhan menghendaki.
- * * *
Sepuluh tahun berlalu…
Mobilku mulai memasuki Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal. Di sanalah tujuanku: rumah warisan almarhum Bapak yang kini hanya ditempati Ibu. Lebaran tahun ini, aku diberi kesempatan libur selama seminggu.
Semua kawan sekolahku juga tinggal di Kecamatan yang sama. Kawan-kawan dari TK hingga SMA. Termasuk Yanwar.
Terakhir kami saling berkabar adalah tahun lalu, saat aku hendak mendaftar program spesialis. Saat itu Yanwar hanya menanyai kabarku dan kami mengobrol sangat lama. Selanjutnya, nampaknya dia memiliki kesibukan yang tinggi. Aku pun tak mencarinya karena 24/7 waktuku saja tak cukup untuk melakukan semua hal. Kami sama-sama terlalu sibuk.
“Alhamdulillah, yaa Allah… akhirnya kamu pulang juga, Nak,” seru Ibu sambil memelukku dengan haru.
“Ngapunten, nggih Bu… Rahmi baru bisa pulang sekarang,” rajukku.
Ibu segera membantuku mengangkat macam-macam barang dan oleh-oleh yang kubawa, meski susah payah kucegah. Setelahnya, Ibu menghidangkan berbagai makanan yang tak akan bisa kudapat di Jakarta: oseng tempe ponggol, potongan sayur dan saus kacang untuk diracik menjadi nasi lengko, tahu aci goreng, dan kesukaanku, glotak ditemani kerupuk mie kuning. Ketika aku mengetahui bahwa Ibu membuat glotak, aku segera menyantapnya dengan rindu. Glotak ibu adalah yang terbaik. Dua mangkuk langsung tandas seketika.
“Kamu masih menjalin hubungan dengan Yanwar, Mi?” tanya Ibu hati-hati saat aku akan mengambil centong glotak.
Aku terdiam sesaat. Berpikir. “Bukan berpacaran seperti dulu sih, Bu… Tapi masih saling berkabar.”
Ibu tertawa geli. Aku senang melihat Ibu tertawa. Tapi gelak tawa yang ditujukan pada hubungan yang tak jelas ini membuatku tak nyaman.
“Ibu sudah tahu itu sejak kamu memutuskan untuk kuliah di Jakarta, Nduk.”
Aku lanjut menggerogoti tulang sapi glotak. “Kalau maksud pertanyaan Ibu adalah meminta Rahmi untuk menikah, maka—”
“—kalau memang iya, bagaimana?” potong Ibu.
Aku mendadak kehilangan nafsu makan. Ibu tersenyum kembali.
“Mi, sepuluh tahun lalu, saat kamu baru lulus SMA, Bapakmu berusaha memaklumi kenyataan bahwa kamu punya cita-cita yang tinggi. Syukur, alhamdulillah, ternyata Gusti Pangeran memudahkan jalan cita-cita kamu menjadi dokter. Kamu dapat beasiswa penuh. Bisa tinggal di asrama kampus yang gratis. Bisa belajar hal-hal yang kamu sukai. Nggih to?”
Aku mengangguk dan mendengarkan saksama.
“Bahkan, Mi, menjelang Bapakmu ndak ada, beliau sebenarnya menolak untuk mengabarimu perihal penyakitnya. Beliau khawatir akan mengganggu kesibukanmu. Bapak ndak mau kamu kepikiran.”
Cerita itu sudah kudengar beberapa kali. Tak ada yang mengabariku perihal keadaan Bapak, kecuali Yanwar, di tengah proses koasku. Hatiku mulai remuk lagi.
“Ketika teman-teman Bapak dan Ibu sudah banyak gendong cucu, Bapak terus berusaha membesarkan hatinya. Membesarkan hati Ibu juga. Barangkali, bila kami mengikhlaskan kamu menjadi dokter penolong banyak orang, kami juga akan kecipratan pahala.”
“Bu…,” potongku, “Rahmi belum tahu apakah Yanwar masih berminat menikahi Rahmi atau tidak—”
“—lha kamu sendiri bagaimana?”
Ini adalah pertanyaan yang sulit. Sejujurnya, target yang ingin aku capai masih banyak. Aku ingin merenovasi rumah ini lebih baik lagi, kalau perlu aku bangun ulang jadi berlantai dua. Selain itu, kepergian Bapak tanpa kesempatan untukku membawa beliau ke Tanah Suci menjadi dendam tersendiri untuk diriku. Sementara, tiga bekerja di rumah sakit, keadaan ekonomiku belum mampu untuk memenuhi semua target itu.
“Rahmi mandi dulu ya, Bu,” aku beranjak dengan kalut.
“Yanwar rajin ke sini. Sekadar membantu Ibu melakukan pekerjaan wong lanang atau mengantarkan oleh-oleh,” pungkas Ibu saat aku hendak beranjak ke kamar. “Selama sepuluh tahun ini, Ibu tak akan menanyakan bagaimana Yanwar—”
Aku menoleh. Menatap Ibu dengan serius.
“—melainkan kamu…”
Apa yang terjadi pada kami selama sepuluh tahun ini bagaikan jalan di tempat. Aku sudah benar-benar mengikhlaskan Yanwar untuk memperistri perempuan lain bila ia memang tak bersedia menerima keputusanku yang memprioritaskan cita-cita.
“Kamu paham kan, Mi, aku tak pernah membohongimu,” rayunya saat menandangi rumah kami. Ibu mengabarinya tentang mudikku. Meski ia mengaku agak canggung, tetapi ia tetap mengunjungi kami.
Memang yang dia ucapkan benar. Sejak ia menyatakan perasaan padaku di bangku SMA—dan kami bersepakat menjalin hubungan dengan judul pacaran—ia selalu jujur, terbuka, dan nggak neko-neko. Pelukan kami yang erat pada agama Islam menjadikan hubungan ini tak lebih dari sekadar mengobrol dan belajar bersama. Setelah lulus terlebih dulu dan memutuskan untuk membantu usaha keluarganya berjualan bahan bangunan, tak ada yang membuat hubungan kami berbeda kecuali tuntutan keluarganya untuk segera menikah, terlebih dari ibunya. Namun, keputusanku terhadap masa depanku tampaknya mengubah arah pandang mereka.
“Lebih baik aku tirakat dan puasa, Mi, daripada mencari gadis lain. Tirakat dan puasa lebih mudah daripada percaya pada perempuan lain. Aku sudah mempercayakan hatiku padamu, Rahmi,” katanya malu-malu.
Aku geli mendengarnya. “Halah, gombal kamu, Mas…”
“Temenan kiye, Rahmi. Sung!”
“Ibu saksinya,” timbrung Ibu.
“Entah kenapa Rahmi merasa Ibu dan Mas Yanwar ini sekongkol,” cibirku sambil menuang teh hangat ke cangkir Yanwar. “Aku ragu, Mas, apa aku masih pantas buat kamu dan keluargamu…?”
Yanwar terdiam. Ibu pun tertunduk lesu.
“Aku memang berusaha mati-matian merawat persaudaraan ini, Rahmi. Aku yakin keluarga kita bisa bersatu dalam pernikahan. Dan aku buktikan, aku pun bisa menjadi semapan kamu sekarang.”
Apa yang Yanwar bicarakan bukanlah omong besar belaka. Gaya berpakaiannya, wangi tubuhnya, dan mobil yang ia bawa mencirikan seseorang yang sudah mengalami eskalasi kelas sosial. Bila kutarik pandanganku dan melihat semua sandiwara kehidupan ini dari atas, tampak perempuan dokter yang sangat egois mencapai target-targetnya hingga mengacuhkan lelaki sabar yang telah menjadi Tuan Bahan Bangunan mapan demi meminangnya. Hati kecilku menuntutku untuk bersyukur, tapi tetap saja kacamata kuda bernama ego ini tak mengijinkanku berpaling dari cita-citaku. Seolah, pernikahan akan menghambat itu semua.
Setelah obrolan yang menyenangkan itu, aku masih belum berminat menyambung hubungan dengan Yanwar seperti dulu. Tapi, Ibu gigih memotivasiku.
“Ibu yakin keluarga Yanwar akan mengerti kamu dan profesimu. Siapa yang tak bangga memiliki mantu seorang dokter?”
Aku masih saja diam. Jurnal-jurnal ilmiah kesehatan yang kusimpan di iPad membuatku sedikit terhibur. Di sanalah aku memusatkan perhatian.
“Baiklah, Nok, kalau kamu memang tidak ingin,” suara Ibu berubah menjadi isak. “Ora apa-apa, Nok, ora apa-apa…”
“Ibu…” aku buru-buru mendatanginya. Tubuh hangat berbalut kebaya itu kupeluk dengan iba. Rasa bersalah membuatku ikut menangis.
Akhirnya aku tawari Ibu untuk ikut mendampingiku balas mengunjungi Yanwar ke rumahnya. Barangkali aku bisa menemukan asa dan optimisme dalam memandang pernikahan setelah bertemu keluarga mereka.
- * * *
Saat pertemuan itu terjadi, aku tak menyangka hatiku akan terhibur karena orang tua Yanwar masih sangat ramah dan menerimaku. Padahal, setelah sepuluh tahun, seharusnya mereka menganggapku tak tahu diri karena meninggalkan lamaran anak bungsu mereka. Namun, tampaknya Ibu benar, tak ada orang tua yang tak bangga bila menantu mereka adalah seorang dokter. Mungkin selama ini aku hanya berpikir berlebihan.
“Rahmi, boleh bantu Ibu sebentar di dapur?” ajak ibu Yanwar.
Aku melirik ibuku. Ibu mengangguk sambil tersenyum.
Ibu Yanwar ingin aku membantunya menyiapkan makan siang. Masih ada tahu dan tempe yang sudah diungkep, tapi belum digoreng. Di situlah tugasku. Sambil membantunya memasak, ibu Yanwar melanjutkan obrolannya.
“Yanwar itu suka sekali sama tempe goreng tanpa diungkep. Tanpa digarami,” kata ibu Yanwar sambil menyemplungkan potongan-potongan tempe tambahan yang baru saja diiris ke dalam wajan. “Yanwar sebenarnya tidak suka yang asin-asin. Dia suka yang cenderung asrep, hambar. Kamu pasti sudah tahu to?”
“Wah… Mas Yanwar berubah ya, Bu? Dulu pas di sekolah, Mas Yanwar lahap kok makan segala macam. Saya malah baru tahu…” aku menutupnya dengan bahakan pelan.
Ibu Yanwar mematikan kompor gas, lalu menoleh menatapku.
“Yanwar itu akan jadi suami yang beruntung bila menikah dengan perempuan yang juga memahaminya. Bukan perempuan yang melulu minta dipahami.”
Aku sedikit mencelos kaget.
“Mungkin bila kamu masih ragu, lebih baik tidak usah, Nok Ayu…”
Ibu Yanwar memandangku dengan tatapan dalam dan tegas.
“Ibu-ne Yanwar bilang seperti itu…?”
“Nggih, Bu…” jawabku murung.
“Lalu bagaimana dengan kamu?”
Aku menoleh pada Ibu.
“Ibu setuju dengan Ibu-ne Yanwar,” ujar Ibu sambil menumpuk piring-piring yang baru saja dicuci. “Tidak ada orang tua yang sudi menikahkan anaknya dengan seseorang yang tidak serius, Nok.”
Bila “serius” diartikan “rela mengorbankan karier dan cita-cita demi pernikahan dan keluarga”, maka itu terdengar kejam untukku. Itu sama saja seperti menerimaku sebagian, dan membuangku sebagian. Kenapa harus perempuan yang selalu mengalah? Memangnya aku tak bisa serius berkeluarga tanpa mengesampingkan karier?
“Memangnya Rahmi terlihat tidak serius, Bu?”
“Memangnya kamu serius?”
Aku terdiam.
Ibu pun diam.
“Kalau memang kamu belum ada perasaan lagi pada Yanwar, ya sudah, tidak apa-apa. Ibu tidak memaksa kamu, Nok.”
Aku sangsi dengan pernyataan Ibu.
“Lha kemarin Ibu kok kecewa dengan Rahmi?”
“Siapa yang tidak kecewa jika keinginannya tidak terkabul?”
Aku jadi serba salah.
“Tapi sekarang tak Ibu pikirkan lagi. Terserah kamu. Ini hidupmu. Kamu yang memutuskan.”
Seharusnya aku senang dengan pernyataan Ibu. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya.
Sampai habis masa mudikku, aku tak banyak mengobrol lagi dengan Yanwar. Ia pun tak lagi datang ke rumah Ibu. Hubungan kami kembali dingin seperti semula. Semua karena asa yang tak kunjung tiba.
- * * *
Aku kembali ke Jakarta dengan senyuman Ibu yang dipaksa. Bungkamnya Ibu yang susah payah ia jaga. Juga, seutas restu yang jadi doa. Ibu membekaliku dengan banyak oleh-oleh khas Tegal, katanya untuk teman-teman kantor. Sampai aku menginjak pedal gas, Yanwar tak menampakkan dirinya. Memang, aku tak mengirimkan pesan barang satu-dua kalimat. Tapi, rasanya aku jadi meragukan keminatannya padaku.
Mobilku sudah hampir keluar dari Kecamatan Bojong ketika pikiranku menilai diriku ini terlalu sulit bagi pria sebaik Yanwar. Aku tidak terima dengan tuduhan itu hingga aku harus meminggirkan mobil dan berhenti menyetir karena ingin membungkam suara dalam kepalaku.
Sejenak aku menghela napas untuk menjernihkan pikiran. Apakah aku benar-benar tidak akan mempertimbangkan Yanwar? Sebegitu takutnya aku terhadap pernikahan? Apakah pernikahan benar-benar akan merusak karierku? Apakah aku akan menemukan pria sebaik Yanwar? Atau yang lebih baik dari Yanwar?
Baru kali ini aku meragukan masa depan. Rasanya seperti mencopot kacamata kuda. Aku jadi bingung harus memilih jalan yang mana. Aku rindu kacamata kudaku. Selama ini, meski aku kerap pulang barang sekali-dua tiap tahunnya, aku tak pernah sebingung ini. Aku memang selalu bertemu Yanwar tiap mudik ke Tegal, tapi baru kali ini aku hilang arah dibuatnya. Apakah karena aku telah kehilangan impian yang harus kukejar? Ah, tidak juga. Masih ada program spesialis internis yang harus aku kejar. Tapi, Yanwar…
Yanwar!
Ya, Yanwar dan kondisi karierku. Pekerjaanku sebagai dokter yang membuatku merasa mapan, dan keadaan Yanwar yang juga sudah mapan. Kesetaraan ini membuat pikiranku mengevaluasi ulang perihal perasaan dan minatku pada Yanwar dan pernikahan. Beda dengan saat aku masih mengejar gelar sarjana dan kelulusan koas, program pendidikan dokter spesialis tak lagi menempati prioritas tunggalku. Tentu saja, ada prioritas lain yang harus aku kejar: kinerjaku di rumah sakit. Sementara, dua kesibukan utamaku itu sampai detik ini tak membuat hidupku menjadi sempit. Aku masih memiliki banyak waktu untuk diriku sendiri.
Aku masih memandangi jalanan yang mulai ramai saat aku akhirnya menyerah dan berpihak pada hati kecilku: aku punya kesempatan untuk memulai kembali untuk mencintai Yanwar, bila aku mau. Sebagaimana ia selalu menjaga cintanya padaku.
Simpulan ini, dengan cara yang aneh, membuat dadaku hangat. Di depan sana, kulihat bayangan senyum Yanwar yang ramah. Aku ingin bisa menikmati senyum itu lebih lama, langsung dari pemiliknya. Lalu, apa yang harus aku lakukan?
Dengan sedikit ragu, aku memutar balik dan kembali ke Kecamatan Bojong. Aku akan menemui Yanwar, berpamitan, dan mengatakan padanya agar hubungan kami bisa diaktivasi kembali. Seperti dulu, selepas SMA, saat kami sempat akan menikah.
Namun, hal yang ganjil aku dapati di pelataran depan rumah Yanwar. Pria itu tengah membukakan pintu pada seorang gadis manis yang melangkah semringah. Di sekitar mereka, banyak anggota keluarga Yanwar, termasuk ibu dan bapaknya, yang melangkah hendak menumpangi mobil yang sama. Yanwar terlihat peduli pada gadis itu, meski ia tak secerah wajah para anggota keluarganya.
Karena aku memarkir mobilku di pelataran rumah mereka, tentu saja perhatian mereka teralihkan. Semua menoleh ke arahku yang masih setengah kaget dengan apa yang kuhadapi. Aku tak ingin membuat banyak orang bertanya, maka aku segera keluar dari mobil, berharap Yanwar atau orang tuanya akan menghampiriku. Tapi yang mereka lakukan hanyalah menatapku dengan pandangan ragu bercampur kaget.
“Rahmi…?” sapa Yanwar dengan memaksakan senyum.
“Mas Yanwar, mau ada acara keluarga?” tanyaku.
“Dia siapa, Mas?” gadis manis itu menghampiri Yanwar.
Yanwar menoleh ke arahnya, namun tak segera menjawab pertanyaannya.
Aku pun dapat meraba apa yang terjadi.