Sewaktu bertemu dengan teman, saya memberitahunya bahwa saya sekarang jadi penulis. Dia sempat ragu, tatapannya tidak menggambarkan keyakinan. Dalam hatinya mungkin, “Ah, orang ini sedang bergurau.”
Seakan mengerti arah pikirannya, spontan saya katakan, “Saya tidak sedang bercanda.” Kemudian, dia dengan penasaran menanyakan, apa buktinya kalo kamu penulis. Lantas saya menyuruhnya untuk membuka Google dan mengetik nama saya. Alangkah terkejutnya dia, ketika tahu bahwa temannya–yang ketika SD dan SMP selalu mendapat nilai jelek dalam pelajaran Bahasa Indonesia–menjadi penulis.
Seperti belum puas, dia kemudian bertanya, sejak kapan kamu menulis? Kujawab, sejak SMA. Kemudian dia menimpali, “Kamu dulu itu gak kelihatan ada bakat nulis, loh kok bisa jadi penulis, apalagi nilai harian Bahasa Indonesiamu itu loh, enggak pernah dapet 80.”
Yap, cerita di atas adalah fakta. Fakta bahwa saya adalah pembenci pelajaran Bahasa Indonesia ketika Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Salah satu alasannya adalah karena nilai tugas-tugas saya selalu di bawah 7 atau paling hanya 7. Sangat sulit bagi saya mendapatkan nilai 8 apalagi 9. Dan sepertinya memang ketika itu saya sama sekali tidak berbakat di bidang Bahasa Indonesia, apalagi menjadi seorang penulis.
Tapi, kita sepakat, bahwa bakat yang baik adalah bakat yang dikembangkan, bukan diendapkan seperti ampas kopi. Dan bakat juga dapat ditumbuhkan layaknya tanaman. Asal ada benih sebesar tanda titik, kita bisa menumbuhkan pohon sebesar tanda seru, eh lebih besar lagi mungkin. Lalu bagaimana jika kita tidak berbakat?
Dalam hemat saya, bakat bisa ditemukan melalui kecintaan. Ketika SMAa, saya mulai menemukan kecintaan itu. Kecintaan terhadap puisi dan bahasa. Saya mulai membaca dan menemukan bakat itu di dalam bacaan-bacaan saya. Menulis adalah bagaimana kita setuju untuk membaca dan menyelami bacaan itu.
Mungkin ada orang-orang yang terlahir dengan bakat alami menulis. Mereka terlahir dengan ketertarikan kepada kegiatan menulis atau membaca. Tetapi ada pula orang yang tidak punya bakat alami namun bisa menciptakannya sendiri, seperti saya. Meskipun sebenarnya saya adalah orang yang tidak percaya pada bakat. Menurut saya, bakat adalah omong kosong kalau tidak dilatih. Itulah kenapa saya menulis tulisan ini.
Suatu hari saya sedang berbincang dengan teman kampus, dia berpendapat bahwa enak jadi saya yang punya bakat menulis. Lantas saja saya memberi tahunya bahwa saya bisa menulis dan menjadi penulis bukan karena bakat, tapi karena berlatih. Saya percaya bahwa proses latihan akan mengalahkan bakat apapun. Analoginya, seberbakat apa pun Lionel Messi, jika dia tidak latihan, maka Pep Guardiola tidak akan pernah menyaksikan dirinya. Begitu pun ketika menulis, seberbakat apa pun seorang penulis dia tidak akan secara tiba-tiba menulis buku best seller. Proses latihan akan membuat tulisan kita lebih matang. Ide-ide akan jauh lebih mudah kita eksekusi. Dan sensitivitas kita terhadap sesuatu menjadi lebih terasah.
Menulis bukan bakat, tapi latihan. Bakat bisa kita ciptakan dengan berlatih, tetapi kemauan berlatih tidak berasal dari bakat. Penulis yang mau berdarah-darah menyelami proses kreatif, dari menemukan ide hingga membaca ulang dan mengulangnya berkali-kali sebagai latihan akan lebih matang.
Faktanya, orang-orang akan beranggapan bahwa dia diciptakan dengan bakat yang tidak bisa dirubahnya. Misalnya seorang anak yang mempunyai bakat melukis. Sejak kecil dia tertarik dengan lukisan. Namun ketika dewasa dia gagal menjadi pelukis hebat dan tidak mau mencoba hal lain di luar melukis. Maka selamanya dia akan berkutat pada fakta bahwa dirinya berbakat melukis dan tidak berbakat di bidang lain. Pandangan, stigma, dan stereotip itulah yang kemudian harus kita kikis sedikit demi sedikit. Bahwa bakat bukan hal mutlak, tetapi latihan adalah sebuah kewajiban.
Menulis mungkin ada karena sebuah bakat, tetapi menjadi penulis adalah murni berkat dari latihan. Kembali ke pembahasan bahwa saya bukan penulis berbakat. Saya memulai menulis murni karena kecintaan. Tulisan saya dipupuk dengan latihan-latihan. Disirami dengan berbagai bacaan. Ditempa dengan berbagai penolakan. Hingga suatu saat, ada media yang mau meneima tulisan saya dan memuatnya. Saya tidak puas dengan hasil itu, saya terus mencari bentuk terbaik dari tulisan saya. Menganalisa bacaan yang perlu saya jadikan pedoman. Waktu itu, Sapardi, Subagio, Rendra, Chairil dan juga GM serta Aan Mansyur menjadi pilihan bacaan puisi saya.
Selain berlatih, menulis juga butuh membaca. Tanpa membaca, ide tidak bisa kita jabarkan. Tanpa membaca, sudut pandang kita terhadap sesuatu menjadi sempit. Tanpa membaca kita akan kehilangan cita rasa. Gabungan antara latihan menulis dan istiqomah membaca adalah kombinasi yang cocok sebagai bekal menjadi penulis hebat. Lalu apakah saya sudah hebat?
Tentu tidak, saya masih berusaha berlatih menulis, dan saya masih belajar membaca. Jadi, mari kita terus berlatih dan berlatih, semoga suatu saat Anda pun bisa menjadi penulis.