Dongeng Bintang Auriga yang Mengikat Cerita dalam Tujuh Tahun Cinta Karya Zam Alano

0
122

Mitos keinginan yang terkabul saat melafalkannya berbarengan dengan melihat bintang jatuh, tampaknya masih sangat lekat di masyarakat kita. Bintang jatuh, meski sebenarnya itu bukan bintang ya, tapi selalu menjadi misteri. Uniknya, orang percaya itu dan menyebutkan inginnya saat melihatnya. Padahal, yang unik itu justru peristiwa jatuhnya bintang itu, tak bisa diprediksi, langka, dan ada kejutannya. Entah bagaimana awal mula mitos itu berkembang di masyarakat.

Cerpen Tujuh Tahun Cinta karya Zam Alano ini menjadi menarik karena adanya dongeng ini di dalamnya. Ibaratnya tali, rasi bintang Auriga menjadi pengikat cerita sehingga cerpen ini menjadi utuh dan enak dinikmati. Tentu saja selain faktor-faktor lainnya yang akan saya uraikan berikut ini.

Tema Cinta dan Impresi

Tema cinta sebenarnya biasa ya, sudah banyak yang menulisnya jadi tema cerpen. Namun, sesuatu yang biasa bukan berarti tak istimewa. Tinggal bagaimana mengolahnya. Zam melekatkan cinta yang tanpa tapi pada tokoh suami Nurmala. Deskripsinya tentang laki-laki itu membuat pembaca merasa jatuh hati pada sosok suami Nur yang sangat sabar menghadapi tabiat buruk istrinya. Jangan protes “nggak mungkin ada laki-laki begitu di dunia ini!”, ya karena ini memang fiksi. Tokoh suami Nur itu mewakili cinta yang setia.

Sementara Nurmala, adalah simbol perlawanan, pemberontakan, ketidaksukaan pada cinta yang tulus itu. Dia selalu mencari celah agar cinta itu goyah dan membenci dirinya, agar sama-sama melawan, dan kemudian terjadi perpisahan. Itu yang diinginkan Nur karena harga dirinya yang sejak awal dikoyak. Dia punya pria pilihan lain yang karena beda keyakinan tak direstui ortunya. Nur menikah terpaksa dan dia ‘balas dendam’ dengan membangkang pada suaminya itu.

Kesan mendalam setelah membaca cerpen, menjadi salah satu ukuran bahwa cerpen itu berhasil. Misal cerpen Seno Gumira Ajidarma “Pelajaran Mengarang” meninggalkan jejak yang lekat tentang anak yang besar di lingkungan prostitusi ibunya. Tafsir demi tafsir muncul dari pembaca usai membaca cerpen itu. Pun cerpen Seno lainnya, “Penembak Misterius”, “Clara”, “Sepotong Senja untuk Pacarku”. Impresi atas cerpen itu kemudian mewujud dalam peristiwa-peristiwa sosial yang bersentuhan dengan kita—pembaca.

Setelah selesai membaca utuh cerpen, saya menangkap bahwa Zam ingin mengatakan bahwa cinta itu yang menang. Meski pemilik cinta itu telah berpulang, cintanya itu tetap hidup dalam jiwa tokoh utama. Kematian yang dibuat penulisnya ini membuat cerpen semakin mengharu-biru di hati pembaca. Mati tapi menang, cintanya pindah ke diri tokoh utama.

Impresi ini yang perlu diperhatikan para penulis, agar cerpennya itu melekat di benak pembaca, tak berjarak. Biasanya, mau sudah berapa lama cerpen itu kita baca, kita akan tetap bisa mengingatnya. Ingat bukan dalam kalimat per kalimat, tapi pada impresi yang ditinggalkannya pada benak kita.

Sudut pandang pencerita dan setting waktu

Cerpen diawali dari Fahimah, anak dari si tokoh utama (Nurmala), yang akan menikah dan resah curhat pada bundanya. Penulisan fiksi yang menggunakan POV (point of view) alias sudut pandang orang yang berganti-ganti, tak mudah dilakukan. Namun bukan berarti tak bisa. Sudah banyak contohnya tapi memang dilakukan oleh penulis-penulis yang sudah punya jam terbang tinggi. Katakanlah seperti Ayu Utami dalam novel Saman. “Aku” dalam novel Saman itu kadang Laila, Shakuntala, atau bahkan tokoh lainnya.

Zam tampaknya cukup lihai menggunakan POV yang berbeda, ingin menunjukkan ‘perasaan’ tokoh secara lebih leluasa. Dengan menggunakan POV Fahimah dan Nurmala, kesan kejadian atau peristiwa itu menjadi lebih hidup dan mengena.

Begitu juga dengan penggunaan setting waktu yang mundur-maju. Pembaca secara imajinatif ikut kembali ke masa lalu saat Nurmala menerima sekaligus membenci suaminya. Secara emosi ikut terlibat saat Nurmala menunjukkan sikap buruknya pada suaminya. Sementara saat setting waktunya sekarang dan POV tokoh Fahimah, pembaca diajak menerima pada kenyataan kenangan yang membuat perubahan pada diri Nurmala.

Teknik bercerita seperti itu bisa dilakukan untuk membuat cerita utuh, terbingkai. Apalagi Zam menambahnya dengan dongeng Bintang Auriga yang mengikat keseluruhan. Di ending cerita bahkan dongeng itu disebut lagi, meski hanya sekilas saat Nurmala ingin mengisahkannya pada anak-anaknya yang beranjak dewasa.

Gaya Bahasa/stilistika

Diksi yang menarik, dinamis dan tidak membosankan. Itu yang saya tangkap dari cerpen ini. Zam lihai memilih kata-kata yang mampu mendeskripsikan sesuatu tapi tidak bertele-tele. Singkat tapi padat dan imajinatif. Makanya cerpen ini pendek tapi mampu menggambarkan banyak hal. Metafora yang dipilih juga pas. Misalnya dalam beberapa kalimat ini.

Aku menabung genderang perang.

Mendapatiku serupa batu.

Aku membenci pria itu. Tidak peduli betapa dia mencintaiku dengan kesabaran bertumpuk tiada batas.

Bicara cinta, aku telah mengkhatamkan pada suamiku. Tepat di saat dia gegas pergi.

Coba baca cerpen itu sekali lagi kalau tak percaya. Zam tampaknya sudah terbiasa bermain dengan kata-kata, diksi, metafora, dan kalimat-kalimat yang tidak sekadar indah, tapi juga menyampaikan banyak hal. Bagi penulis pemula, bisa berlatih menulis dengan berulang kali membaca cerpen ini. Pakai rumus copy the master, gunakan pola yang sama untuk ide cerita yang berbeda. Saya pikir ini bermanfaat untuk teman-teman yang sedang semangat belajar menulis cerpen. Selain itu, bisa juga membaca cerpen-cerpen yang lahir di media massa besar semacam Kompas dan Republika sebagai sarana belajar menulis. Ada kurator cerpen di media itu sehingga yang terbit pastilah sudah melalui pembacaan redaksi. Bahkan biasanya ada pembedahannya juga di setiap tahun dalam kumpulan cerpen terbaik. Baca dan ‘kunyah’ untuk mengasah pena kita.

Kekurangan/kritik

Tak ada gading yang tak retak. Tak ada yang sempurna di dunia ini. Karya sastra peraih nobel pun tetap mendapat kritikan. Jadi jika ada yang memberikan kritik atas cerpen ini, justru itu jadi bukti bahwa cerpen ini dibaca dan diapresiasi. Bagi penulis, karya yang dibaca tentu menjadi kebahagiaan yang sangat. Lepas dari keistimewaan Tujuh Tahun Cinta, ada beberapa hal yang sekilas jika dicermati mendalam, meninggalkan pertanyaan.

Mitos bintang Auriga dan doa Nurmala yang ‘dikabulkan’ menjadi semacam pembenaran. Mungkin Zam tidak bermaksud menyinggung sisi akidah, tapi kadang tafsir pembaca melebihi batas pikiran penulis. Jadi benar melihat bintang jatuh berarti inginnya terwujud? Kadang yang fiksi dianggap nyata, atau dibawa ke dunia nyata.

Selain itu, kesempurnaan tokoh suami Nurmala membuat pembaca bertanya-tanya, sesabar itukah? Bagaimana bisa seorang istri sangat abai terhadap kebutuhan suaminya dan justru melakukan perlawanan-perlawanan selama tujuh tahun tanpa marah suami sedikitpun? Atau paling tidak, ada upaya-upaya nasihat dan pelurusan suami terhadap sikap Nurmala.

Yaaa, namanya juga fiksi. Kadangkala memang penulis sengaja membuatnya begitu agar pembaca ‘gemas’ dan muncullah interaksi. Termasuk acara bedah cerpen ini adalah contoh interaksi pembaca dengan penulis. Apapun, Tujuh Tahun Cinta punya hikmah yang layak kita petik. Bahwa cinta dan kesetiaan akan tetap ‘menang’ dalam kondisi apapun dan sampai kapanpun. Selamat menjaga cinta!

Surakarta, 17 Januari 2023


Previous articleResensi Buku: Rahasia Pemikat Nabi Muhammad Saw
Next articleDijemput Bidadari
Rianna Wati
Rianna Wati, lahir di Wonogiri 5 November 1980, saat ini tinggal di Surakarta bersama keluarga kecilnya. Aktivitas menulis dilakukannya sejak SMA dan bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) sejak kuliah di Fakultas Sastra UNS. Saat ini menjadi staf pengajar di Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UNS. Gelar S2 diraihnya dari prodi Ilmu Sastra UGM dan saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di Kajian Budaya UNSBuku-buku fiksi yang pernah terbit diantaranya Elegi Cinta di Karimunjawa, Jatuh Cinta Pada Bunga, Ramai-Ramai Masuk Surga, Biar Cinta Bicara, Cinta adalah Luka, Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf, Arvayuna, Romansa, Petrichor, Salju Sungai Seine, Simfoni Hati dan beberapa buku kolaborasi hasil penelitian dan pengabdian masyarakat. Bisa dihubungi di email: riannawati@staff.uns.ac.id, FB Rianna Wati, Twitter @riannawati dan IG Rianna Wati.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here